Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Prajurit Perempuan Jawa, Kesaksian Ihwal Istana dan Politik Jawa Akhir Abad Ke-18 Penulis: Ann Kumar Penerbit: Komunitas Bambu. Tebal: 196 + xiv
anulya pangran dipatya ginarebeg ingkang prajurit pawestri tan ana papadanya angler dewa tedak saking langit ginarebeg putri saking cina lir mangkana upamane
Catatan harian seorang prajurit Jawa di akhir abad ke-18 itu terkubur sejarah sepanjang dua setengah abad. Ann Kumar, sejarawan Australian National University, menyodorkannya ke dunia kontemporer kita. Ia menafsirkannya ke dalam bahasa yang dapat kita mengerti, kemudian membukukannya dengan judul Prajurit Perempuan Jawa.
Pangeran Dipati, begitu bunyi bait dalam bahasa Jawa di atas, dikawal secara resmi oleh prajurit perempuan, tak ada bandingannya, seperti dewa yang turun dari kayangan, didampingi putri-putri dari Cina, hanya itulah bandingannya.
Prajurit Perempuan Jawa adalah buku pertama yang mengungkap keberadaan prajurit perempuan ini di tanah Jawa. Mereka melakukan banyak hal yang bahkan jauh lebih maju daripada perempuan di dunia Barat pada saat itu: menunggang kuda dengan pakaian laki-laki dan menembak salvo dengan tata cara militer. ”Budaya basa-basi, malu-malu, dan bakti tanpa pamrih bukan bagian dari kehidupan mereka,” tulis Kumar.
Sumber buku ini berasal dari manuskrip bertulisan tangan di atas kertas kulit kayu. Tulisan di dalamnya mencakup kurun waktu cukup panjang, persis sepuluh tahun: 1781-1791. Saat Kanjeng Gusti Pangeran Aryo Adipati Mangkunegara VII (1896-1944) menyerahkan manuskrip ini kepada ahli kesusastraan Jawa, Dr Th. G. Thomas Pigeaud—yang membawanya ke Belanda—bentuknya masih berantakan. Halaman yang lepas kemudian diurutkan dan dijilid jadi satu menjadi buku dengan total 606 halaman. Kini buku itu menjadi koleksi Koninklijk Institut voor Taal, Land-en Volkenkunde Oriental Ms. (KITLV), Universitas Leiden.
Manuskrip ini miskin keterangan tentang sang penulis. Satu-satunya yang ada hanya penjelasan di awal tulisan bahwa penulisnya adalah seorang prajurit perempuan yang sebelumnya juga menulis kitab lain berjudul Babad Tutur. Semua tulisannya mencantumkan tanggal berdasarkan kalender Jawa Islam. Tulisan terakhir dibuat pada pertengahan pertama bulan Mulud 1718 AJ atau November 1791 Masehi. Seluruhnya berlokasi di Surakarta atau yang lebih sering dipakai di buku ini, Sala.
Korps prajurit pawestri, begitu Kumar menyebut pasukan khusus perempuan itu, bukan inovasi kerajaan Mangkunegara. Menurut dia, ada banyak kesaksian orang asing yang pernah berkunjung ke era kejayaan raja-raja Jawa sebelumnya. Di era Sultan Agung (1593-1645), misalnya, ada para ajudan perempuan di sekeliling raja.
Kumar mengutip catatan Rijklof van Goens, yang berkunjung ke Mataram (1648-1654), dua dekade sebelum ia diangkat menjadi gubernur jenderal di Hindia Belanda. Menurut Van Goens, para prajurit perempuan ini terdiri atas 150 wanita muda.
Tiga puluh mengawal raja di hadapan orang banyak. Sepuluh membawa perkakas raja—bejana air minum, tempat sirih, pipa, dan sebagainya. Dua puluh orang, lengkap dengan senjata tombak dan tulup (sumpit), mengawalnya di semua sisi. ”Tak hanya dilatih memainkan senjata, tapi juga menari, menyanyi, dan memainkan alat musik,” Kumar mengutip Van Goens.
Tak cuma di Jawa, para prajurit gemulai itu juga ditemukan di Aceh. Laksamana Prancis, Augustin de Beaulieu, yang datang ke Aceh pada 1620-1621, mencatat Sultan Aceh masa itu memiliki 3.000 prajurit perempuan yang bertugas mengawal istana dari dalam, tapi tak boleh keluar dari kompleks istana.
Penulis manuskrip ini memberikan kesaksian yang detail dan teliti tentang peran korpsnya di lingkungan Istana Mangkunegara I alias Pangeran Sambernyawa—dikenal juga dengan nama Pangeran Mas Said. Manuskrip ini ditulis lebih dari 26 tahun sejak ia melakukan gencatan senjata. Maksudnya, jauh setelah keriuhan perang saudara yang ditengahi Belanda usai. Melalui Perjanjian Giyanti, Belanda membelah dua Mataram menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta serta menuntut kepatuhan keduanya untuk berbagi kekuasaan.
Sang Pangeran Adipati—demikian si penulis menyebut rajanya—misalnya digambarkan memiliki karakter militeristik yang kuat. Ia yang sudah berperang sejak umur 14 tahun di usianya yang lebih dari separuh abad tetap turun tangan melatih sendiri prajuritnya. Berbagai seremoni militeristik juga diadakan secara berkala dalam keraton, seperti turnamen menunggang kuda dan kompetisi seni militer. Belum lagi arak-arakan yang mesti dilakukan dengan baju militer lengkap. Lalu ada pertunjukan teater dan tari-tarian dengan Mangkunegara sebagai pelatih para penari keraton.
Manuskrip ini juga bisa menjadi catatan pembanding bagi sejumlah literatur Belanda yang selama ini menjadi satu-satunya catatan peristiwa yang terjadi kala itu. Misalnya, si penulis mencatat peristiwa penyambutan Jan Greeve, Gubernur Belanda wilayah pesisir timur laut Jawa, pada 31 Juli 1789. Lokasinya di Loji (benteng) Belanda dan setelah itu berlanjut di kediaman Mangkunegara.
Penulis menggambarkan si Deler—sebutan untuk Gubernur, dari kata edelheer, gelar yang ia sandang sebagai anggota Dewan Gubernur Jenderal— terpesona (deler goyang kang nala kacaryan adulu) melihat adegan tembak senjata yang demikian tepat. Kita dapat menemukan kekaguman yang sama dalam catatan Greeve di masa itu, yakni di dokumen Kolonial Archief 3708 tahun 1789 tentang ”tiga tembakan salvo yang dilakukan dengan teratur dan tepat sehingga membuat kita kagum”.
Selain atmosfer masa silam yang militeristik dan penuh seremoni, pembaca buku ini bisa mendapat hiburan di sana-sini. Mangkunegara I, misalnya, digambarkan jarang melewatkan salat Jumat, tapi tak pernah absen dalam acara minum-minum dan menyabung ayam di pekarangan istana. Menurut Ann Kumar, si penulis juga memasukkan kehidupan istana, seperti tamasya raja, seorang putri yang kedapatan hamil meski belum menikah, perkelahian di pasar, hingga kebakaran keraton. Sayang, buku ini tak menulis hal-hal di atas lebih detail.
Ada sejumlah keterbatasan teknis dalam buku ini. Siapa Mangkunegara I tak disebutkan, konteks sejarah yang terjadi saat itu pun ditulis terlalu singkat. Tak ada peta Jawa dan pembagian kekuasaan saat itu. Tak ada indeks untuk memudahkan pembaca. Kumar pun lupa mengutip pasal-pasal Perjanjian Giyanti demi memberikan konteks politik. Cara penulisannya tumpang-tindih antara teks asli dan interpretasi Kumar. Karena itu, sungguh elok bila bagian kedua yang berisi perkembangan politik kerajaan dan Vereenigde Oost-Indische Compagnie atau perusahaan dagang Belanda (1784-1791) ditulis dengan lebih terstruktur seperti pada bab sebelumnya. Ini setidaknya bisa memberi jeda bernapas bagi pembaca.
Ruth Indiah Rahayu, peneliti Lingkar Tutur Perempuan, mengacungkan jempol untuk usaha Kumar membaca manuskrip tua dengan huruf Jawa kuno itu, sesuatu yang malas dilakukan banyak ilmuwan Indonesia.
Tapi ia mengingatkan, jangan lupakan konteks Mangkunegara I saat itu yang sudah ”masuk kotak”. Tak ada lagi perang, sang Pangeran Adipati takluk kepada Belanda dan sepakat dengan daerah kekuasaan yang sempit. Sepanjang sisa hidupnya, ia tinggal di dalam keraton dan mereplika kedigdayaan perang lengkap dengan berbagai aksesorinya. ”Di situlah fungsi prajurit perempuan untuk raja. Semata-mata pajangan. Ini bentuk atraksi turisme,” katanya.
Sungguhpun begitu, banyak yang bisa kita pelajari dari buku ini. Misalnya, saat penulis manuskrip bercerita tentang kas kerajaan yang terkuras setelah membayar gaji pegawai. Demikian bokek Mangkunegara I saat itu hingga mengirim surat kepada VOC pada 1792. Ia meminta agar diajari menanam lada dan nila yang panennya nanti bisa dijual ke VOC. ”Karena anak buah kami tak ada yang tahu,” Mangkunegara menulis.
Lalu, ini dia, ihwal korupsi. Ya, korupsi di masa itu bahkan sudah merajalela. Akibat para raja Jawa saat itu sepakat kompeni punya hak menyetujui pengangkatan pejabat lokal, residen Belanda sering mengantongi uang pelicin dari calon bupati. Sebut saja Residen Surakarta Rijck van Prehn, ”yang dipecat pada 1820 setelah menerima 2.000 real asal menyetujui penunjukan Secawikrama sebagai patih, 6.000 real untuk penunjukan Pangeran Purbanegara sebagai Bupati Kediri; dan total 14.500 real pembayaran seperti itu”.
Uniknya, ketika sogokan dari Jawa ini mulai terbongkar, seperti ditulis Kumar, arus uang lantas berbalik. ”Sekarang (Gubernur VOC untuk Jawa Utara) Hartsinck berusaha menyuap kawan-kawan Jawanya untuk menjamin kedudukannya sebagai residen.”
Dua setengah abad berlalu, tapi arus uang pelicin itu masih mondar-mandir hingga kini.
Kurie Suditomo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo