Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kemarin cuma naik Rp 500, sekarang kok Rp 1.000,” semprot Lilis Suryani, 25 tahun, kepada sopir mikrolet M-26 rute Bekasi-Kampung Melayu, Jakarta. ”Sudahlah, Bu, semua sudah naik,” kata sopir tak kalah kerasnya. ”Ye..., jangan seenaknya dong naikin-nya,” umpat karyawati institusi pemerintah ini sambil ngeloyor. ”Masih bagus kagak mogok, Bu!” si sopir masih tak puas.
Sepekan kemarin, keributan antara penumpang dan pengemudi mikrolet seperti itu sudah menjadi menu sarapan pagi. Terkadang, penumpang menerima kenaikan ongkos yang diatur sendiri oleh sang sopir. Tapi umumnya penumpang dan sopir harus ngotot-ngototan.
Kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi yang diberlakukan pemerintah mulai Sabtu, 24 Mei, pukul 00.00, direspons pengusaha dan sopir angkutan umum seluruh Indonesia dengan cara berbeda-beda. Sebagian menaikkan ongkos seenak sendiri, sebagian yang lain memilih mogok, baik secara terbatas maupun massal, seperti yang terjadi Surabaya sepanjang Senin lalu.
Di Depok, Jawa Barat, puluhan sopir angkutan kota rute Terminal Depok-Bojong Gede memilih memarkir kendaraan mereka di tepi jalan Ratu Jaya dan Pondok Terong sebagai protes terhadap organisasi pengusaha angkutan yang belum juga menetapkan kenaikan tarif. ”Kerja Organda lambat,” keluh Daeng Fadilla, salah satu sopir angkutan kota.
Organda Surabaya justru mengkoordinasi pemogokan total sepanjang hari penuh, Senin pekan lalu. Tak satu pun dari 5.400 bemo, 6.250 taksi, 300 bus kota, dan 1.178 angguna (angkutan serbaguna) di Surabaya yang mau mengangkut penumpang. ”Kami sepakat mogok sehari,” ujar Wastomi Suhari, ketua organisasi tersebut, di Surabaya.
Aksi massal itu memang terbesar sepanjang sejarah Surabaya, termasuk jika dibandingkan dengan aksi serupa di kota lain. Menurut Wastomi, mereka terpaksa mogok karena para pemilik angkutan umum terancam bangkrut akibat pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak. Sedangkan para bos angkutan itu tak bisa menaikkan ongkos. ”Kami menuntut pemerintah kasih subsidi khusus,” ujarnya.
Meski tak seheboh di Surabaya, pemogokan juga hampir merata di kota lain seperti di sebagian Jakarta, Depok, Slawi, Ngawi, Jambi, Kendari, hingga Kupang. Tuntutan mereka pun sama, menolak kenaikan harga bahan bakar minyak untuk angkutan umum.
Di Slawi, Jawa Tengah, misalnya, aksi mogok dilancarkan 70 orang awak bus patas Coyo yang kemudian diikuti oleh semua awak bus di Tegal, Cirebon, dan Pekalongan, serta sebagian di Semarang. Menurut Azis, salah seorang pengemudi Coyo, aksi ini dipicu oleh tindakan perusahaan yang memotong uang pembelian solar sebanyak 10 liter.
Aksi mogok dan menaikkan tarif sesuka hati ini sejatinya tak perlu terjadi kalau saja pemerintah daerah dan Organda cepat mengantisipasi kenaikan harga minyak. Rencana kenaikan yang sudah diketahui jauh hari ini seharusnya direspons dengan menghitung dampak kenaikan terhadap ongkos produksi.
Tarif angkutan kota memang sepenuhnya ditentukan oleh kepala pemerintah daerah (gubernur) setelah bersepakat dengan Organda dan disetujui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Sedangkan tangan pemerintah pusat hanya sampai pada angkutan antarkota antarprovinsi.
Itu sebabnya, besar kenaikan tarif angkutan kota setiap daerah tidak sama. Yang pasti, umumnya tarif naik lebih dari kenaikan harga bahan bakar minyak. Kabupaten Jember, Jawa Timur, menetapkan kenaikan 38 persen mulai Rabu lalu. Sehingga, penumpang yang semula membayar angkutan kota Rp 1.800 kini menjadi Rp 2.500. ”Dasarnya kenaikan harga bahan bakar dan onderdil,” kata Edi Budi Susilo, Asisten II Pemerintah Kabupaten Jember.
Untuk provinsi yang berbentuk pulau seperti Lombok dan Sumbawa, Gubernur Nusa Tenggara Barat Lalu Serinata memberlakukan dua macam kenaikan. Untuk tarif dasar ekonomi trayek antarkota dalam provinsi di Lombok dan Sumbawa, kenaikannya rata-rata 17 persen. Sedangkan tarif penyeberangan kapal feri dari Labuan Kayangan Lombok menuju Poto Tano, Sumbawa naik 20-30 persen.
Pemerintah Kota Balikpapan termasuk kota yang menaikkan tarif angkutannya di bawah kenaikan harga minyak. Dengan penambahan hanya 20 persen, rata-rata ongkos di kota ini naik Rp 500. Sedangkan Organda Daerah Istimewa Yogyakarta menaikkan 25 persen. Mestinya, kata Johny Parmantya, Ketua Organda Yogyakarta, kenaikan yang layak adalah 30 persen. ”Kurang dari itu, enggak nutup,” ujarnya.
Kenaikan sepihak yang terjadi itu dinilai Organda sebagai penyesuaian atas kenaikan harga minyak dan suku cadang yang makin mahal. Namun Organda sebetulnya menolak kenaikan harga bahan bakar minyak untuk angkutan umum. Selain itu, Organda juga menuntut agar pemerintah menertibkan pungutan liar, angkutan umum pelat hitam, serta retribusi pemerintah daerah.
Jika pemerintah mengabaikan seruan itu, Organda mengancam akan mogok massal. ”Mogok massal nasional ini berlangsung sampai jangka waktu tidak terbatas,” tutur Murphy Hutagalung, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Organda, setelah memimpin rapat pleno pekan lalu.
Murphy mengklaim, gara-gara pemerintah menaikkan harga minyak bersubsidi, beban biaya bahan bakar angkutan naik dari 35 persen menjadi 45 persen dari total biaya operasional. Harga komponen kendaraan juga terdongkrak naik. ”Total biaya operasional naik jadi 55 persen,” ujar dia.
Organda mengkalkulasi, kenaikan tarif angkutan umum yang pantas adalah 30 persen. Murphy mafhum bahwa kenaikan tarif angkutan baik penumpang maupun barang akan makin menyengsarakan masyarakat. Dampak lanjutannya, daya beli masyarakat pun bakal semakin rendah dan pertumbuhan ekonomi melambat. ”Karena itu, kami menawarkan solusi,” katanya.
Solusi itu adalah pemerintah menaikkan subsidi 100 persen dari kebutuhan bahan bakar angkutan umum. Kalau selama ini dengan harga yang lama angkutan umum menikmati subsidi Rp 1.500 per liter, setelah kenaikan, subsidinya jadi Rp 3.000 per liter. Dengan kebutuhan minyak angkutan umum 9,7 juta kiloliter per tahun, pemerintah harus menyediakan Rp 29,1 triliun.
Lucunya, kalaupun pemerintah akan memenuhi tuntutan Organda itu, Murphy mengatakan, ongkos transportasi masih tetap harus naik meski tak lagi 30 persen. ”Komponen biaya kan tidak cuma harga minyak,” kata dia beralasan.
Pemerintah menilai tawaran itu tidak mungkin diterima. ”Tetapkan saja tarif baru,” kata Iskandar Abubakar, Direktur Jenderal Perhubungan Darat Departemen Perhubungan.
Tapi terhadap tuntutan Organda yang lain, Iskandar tidak mempersoalkannya. Dia sepakat, ada banyak pungutan liar termasuk retribusi atau biaya pelayanan yang harus dihapuskan. Apalagi tak jarang pungutan dilakukan tanpa ada dasar hukumnya. ”Yang begini harus dibersihkan.”
Problemnya, tak mudah menghapus pungutan liar ataupun retribusi tersebut. Seperti dituturkan Sabirin Sanusi Siregar, Sekretaris Jenderal Organda Kota Bekasi, ”setoran wajib” itu melibatkan baik preman maupun oknum berseragam. Uang yang ditariknya pun tak sedikit. Sekitar 3.000 angkutan kota itu harus membayar Rp 2.500. ”Bayangkan, setiap bulan mengalir Rp 225 juta ke tempat yang tidak jelas,” tuturnya kepada Hamluddin dari Tempo.
Itu baru di Kota Bekasi. Murphy mengklaim, untuk seluruh Indonesia, pungutan liar yang ditarik oknum aparat terhadap angkutan umum mencapai Rp 18 triliun per tahun. Pungutan liar ini begitu marak lantaran didukung peraturan daerah yang diterbitkan sejak berlakunya otonomi daerah. ”Pelakunya pun melibatkan aparat pemerintah,” katanya.
Mendengar laporan Organda ini, Wakil Presiden Jusuf Kalla segera memerintahkan Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal segera berkoordinasi dengan kepolisian dan Departemen Dalam Negeri guna menindak aparat pemerintah yang melakukan pungutan liar. Namun, Kalla membantah, angkutan umum tidak menikmati subsidi.
Justru, kata Kalla, subsidi transportasi rakyat ini cukup besar. Ini bisa dilihat dari harga minyak yang masih disubsidi pemerintah sebesar 50 persen. ”Enggak benar angkutan umum tidak disubsidi.” Dia juga menilai usul Organda menaikkan tarif angkutan kota 30 persen terlalu tinggi. Dari kalkulasinya, biaya bahan bakar hanya 16 persen dari biaya operasional. Artinya, kalau mau naik, 5 persen pun cukup. ”Tapi kami berilah toleransi hingga 15 persen.”
Kenaikan tarif dengan toleransi 15 persen itu, kata Jusman, sudah sangat ideal. Sebab, kalau menghitung kontribusi bahan bakar minyak dalam biaya produksi, kenaikannya cukup 6,5 persen. Sesuai dengan perhitungan Departemen Perhubungan, kenaikan harga bahan bakar minyak mendongkrak biaya operasi 10 persen, lalu ditambah inflasi 1,7 persen akibat kenaikan minyak dan inflasi sejak kenaikan tarif terakhir sebesar 3,3 persen, sehingga totalnya 15 persen.
”Itu sih perhitungan yang di atas,” ujar Pakde, sopir mikrolet rute Kebayoran Lama-Ciputat, saat dijelaskan hitung-hitungan pemerintah. Seharusnya, kata dia, pejabat pemerintah turun langsung ke lapangan dan menghitung berapa kenaikan beban yang sebenarnya terjadi. ”Enggak ngrasain sih, tiap hari setoran kurang terus.”
Penerapan kartu kendali minyak atau smart card sebenarnya bisa menjadi salah satu solusi menekan biaya bahan bakar angkutan umum. Sayangnya, hingga kini sistem baru ini masih dalam taraf pengkajian. Jusman pun tak bisa menjamin implementasi kartu canggih ini bisa dipercepat dari rencana September. ”Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral belum siap,” katanya.
Yang jelas, pemerintah tak mudah menggelontorkan subsidi bahan bakar langsung kepada angkutan umum. Masalahnya, manajemen angkutan umum di negeri ini lebih banyak bersifat pribadi. Tentu sulit mengawasi penggunaan minyak subsidinya.
Anne L. Handayani, Munawwaroh, Rohman Taufiq (Surabaya), Pito A. Rudiana (Solo), Edi Faisol (Slawi)
Bahan Bakar Minyak Angkutan Umum Kebutuhan: 9,7 juta kiloliter/tahun Subsidi lama: Rp 1.500/liter Tuntutan subsidi baru: Rp 3.000/liter
Tuntutan Organda kepada Pemerintah
- Menolak kenaikan harga bahan bakar minyak bagi angkutan umum.
- Penghapusan pungutan liar.
- Keringanan retribusi.
- Sanksi tegas bagi kendaraan angkutan pelat hitam.
- Perbaikan infrastruktur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo