ISLAM INDONESIA, MENATAP MASA DEPAN Pengantar: M. Dawam Rahardjo Penerbit: P3M, Jakarta, 1989, 267 halaman ADA pendapat, bertiupnya angin "kebangkitan Islam" pada lima belas tahunan terakhir ini, yang ditandai dengan mencuatnya kekayaan negara-negara Arab, Revolusi Islam di Iran, dan berbagai program "Islamisasi" yang diperkenalkan dari Maroko hingga Malaysia, mendorong gerakan ini ke masa depan yang tidak terkontrol. Menurut Ziauddin Sardar, kebangkitan ini hanya memberi rasa puas di bidang intelektual dan impian kosong di bidang politik. Lewat bukunya Masa Depan Peradaban Islam, futurulog muslim ini mengajak umat Islam merencanakan sebuah masa depan dalam perspektif Islam. Ajakan ini, setidak-tidaknya, dapat sambutan dari Dawam Rahardjo dkk. dengan terbitnya buku Islam Indonesia Menatap Masa Depan ini. Buku yang antara lain berisi tulisan Nurcholish Madjid, Ali Yafie, Abdurrahman Wahid, dan Adi Sasono ini tercakup dalam lima tema sentral. Kelimanya adalah gagasan-gagasan yang, dewasa ini, muncul di kalangan intelektual muslim, dalam upayanya mengatasi keterbelakangan umat Islam di dunia, termasuk Indonesia. Tema pertama adalah "interpretasi kembali al-Quran", yang bertolak pada asumsi bahwa paham-paham yang ada tidak relevan lagi. Maka, perlu ada pembaruan dalam pemahaman keagamaan. Umpamanya, merekonstruksi ajaran-ajaran Islam sebagai dasar pembinaan masyarakat modern dengan menggali nilai-nilai fundamental dari Quran. Lalu, bertolak dari situ, disusun konsep-konsep baru tentang masyarakat, negara, ekonomi, pendidikan, dan sebagainya. Seperti yang pernah dilakukan Fazlur Rahman lewat karyanya Tema Pokok Quran (1980). Selama ini, soal pembaruan dikaitkan dengan fikih. Tapi, karena menyangkut pemahaman agama menyeluruh, oleh Nurcholish Madjid, soal fikih ini dimasukkan ke dalam soal teologi, permasalahan yang mesti dipecahkan oleh kalangan intelektual muslim, dewasa ini. Langkah awal ke arah ini dimulai dengan sebuah seminar di Yogyakarta pada 1988, yang menawarkan teologi pembangunan, sebagai teologi alternatif masa kini. Yang menitikberatkan ke soal keadilan dari ketimpangan sosial saat ini. Karena hal ini dianggap penyebab ketidakmampuan umat manusia untuk mengekpresikan harkat dan martabatnya. Berbeda dengan tema pertama, yang seolah-olah membuang warisan masa lalu, pada tema kedua, "aktualisasi tradisi", justru mengesankan sebaliknya. Di Indonesia, ada dua kelompok yang berbeda paham dalam soal ini. Kaum muslim modernis, misalnya, cenderung membuang kitab klasik, yang berakibat terjadinya proses pemiskinan kultural yang, akhirnya, melahirkan sikap beragama yang sangat reaksioner. Sebaliknya, kalangan yang kukuh dengan kitab klasik, tampaknya, enggan lebih tinggi dari raksasa yang diinjaknya itu, sehingga tidak pernah maju. Sikap yang tepat, tulis Nurcholish, adalah menghargai warisan masa lalu dan sekaligus dihadapi dengan sikap kritis. Artinya, "membuang unsur-unsur yang buruk dan memelihara unsur-unsur yang baik". Pada al-Asyari, misalnya. Teolog ini dianggap penyebab kemunduran Islam karena konsep kasab-nya yang jabari itu. Tapi sebaliknya, ia layak dihargai, sebab, tanpa kehadirannya Islam akan seperti agama lain yang pernah mengalami hellenisasi total. Sebuah contoh dari masa lalu yang relevan untuk masa kini adalah kelahiran Ahlus Sunnah wal Jamaah, paham yang banyak dianut oleh muslim Indonesia. Dari situ, Nurcholish menarik konsep inklusivisme, nonsektarianisme, pluralisme, dan sebagainya yang, menurut dia, dapat dijadikan basis demokrasi. Andai kata konsep ini selesai di kalangan intern umat Islam yan mayoritas ini, ia akan merupakan sumbangan besar bagi negara Indonesia, yang terdiri dari berbagai agama, suku, dan paham. Kedua tema di atas, tulis Dawam Rahardjo dalam pengantarnya, baru merupakan kerja awal untuk meletakkan dasar tema ketiga, yakni "Islamisasi ilmu pengetahuan dan teknologi", yang pernah dilontarkan Ismail Faruqi di Islamabad pada 1982. Gagasan ini lahir setelah melihat dampak negatif dari ilmu pengetahuan Barat, yang didasarkan pada filsafat yang tidak sejalan dengan Islam. Ilmu pengetahuan alam, misalnya, berkembang dalam pandangan kosmologi yang mungkin mengabaikan asumsi adanya Tuhan. Berbagai pendapat muncul dalam soal ini. Kesimpulannya: Ilmuwan muslim menganggap ilmu pengetahuan apa pun tidak netral. Maka, perlu disusun epistemologi baru yang berdasarkan Islam. Gagasan keempat adalah "pribumisasi Islam", yang lahir dari keinginan mengembangkan budaya Islam dalam corak setempat. Tema inilah yang membedakan Islam di Indonesia dengan negeri lainnya. Gagasan ini dipopulerkan oleh Abdurrahman Wahid, sekitar dua tahun lalu. Salah satu contohnya adalah menggantikan assalamualaikum dengan selamat pagi atau siang, yang sempat mengundang heboh. Sebetulnya, pandangan Abdurrahman Wahid terhadap soal ini tidak sesederhana itu. Seperti yang ditulisnya di buku ini: "Pribumisasi Islam bukanlah proses 'jawanisasi' atau sinkretisme. Ia hanya mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal dalam merumuskan hukum-hukum agama, tanpa mengubah hukum itu sendiri. Dan bukan pula upaya meninggalkan norma demi budaya." Ini ada benarnya, sejarah telah membuktikannya. Julizar Kasiri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini