SOAL korupsi jadi buah bibir lagi. Jaksa Agung Sukarton Marmosudjono berusaha menangani penyakit kronis ini dengan cara menumbuhkan "budaya malu" di kalangan masyarakat. Dia menayangkan sosok koruptor di layar TV dan berharap penyakit itu pelan-pelan bisa dibasmi. Dalam hal ini, tampaknya apa yang disebut "budaya malu" masih dianggap ampuh sebagai faktor eksternal yang bisa menekan hasrat seseorang untuk melakukan korupsi. Namun, ada juga pihak-pihak yang ragu akan keberhasilan gebrakan Sukarton. Setidaknya, dua peneliti dari Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Djamaludin Ancok dan Faturochman, melihat bahwa motivasi kerja pada kelompok tertentu masyarakat kita masih rendah. "Mereka bekerja asal jadi. Dan tak peduli dengan mutu hasil kerjanya," kata Ancok. Rendahnya motivasi, menurut psikolog ini, bisa terlihat pada kasus komersialisasi jabatan yang dilakukan oleh pegawai negeri, yang seharusnya bekerja melayani masyarakat dengan sebaik-baiknya. Tapi, "Banyak pegawai negeri yang justru mempersulit segala macam urusan, hanya demi mendapatkan uang semir," ujar Ancok lagi. Kemudian Ancok menunjuk pada sejumlah bangunan SD Inpres yang kualitasnya begitu buruk, hingga sering ambruk. Ini lagi-lagi menunjukkan bahwa masih ada orang Indonesia yang tak peduli dengan hasil dan mutu pekerjaannya. Faturochman kemudian menambahkan, kualitas kerja seseorang merupakan cerminan dari motivasinya. Jadi, "Motivasi merupakan kunci untuk mewujudkan kualitas pekerjaan yang baik," katanya. Apa yang diungkapkan oleh kedua psikolog itu didasarkan pada penelitian tentang motivasi dan hasil kerja dari empat jenis profesi di masyarakat suku Sunda (Jawa Barat) dan Jawa (Jawa Tengah) -- yaitu pegawai negeri, pedagang, buruh pabrik, dan petani. Keseluruhan respondennya berjumlah 648 orang -- 166 pegawai negeri, 165 pedagang, 153 buruh pabrik, dan 164 petani. Penelitian yang dilakukan hampir sepanjang tahun 1987 itu mengambil sampel kelompok pegawai negeri dari kantor Kabupaten Bandung dan Kabupaten Semarang. Para pedagang yang diteliti adalah pedagang di Pasar Kiara Condong dan Cicadas Baru di Bandung, dan dari Pasar Ungaran, Jatingaleh, Banyumanik, dan Johar Baru di Jawa Tengah. Buruh yang diteliti adalah pekerja di pabrik tekstil dan garmen. Sedangkan petani yang diteliti bermukim di Kecamatan Ujungberung dan Rancaekek di Kabupaten Bandung, dan petani Desa Gedung Anak dan Gedang Anak di Kabupaten Semarang. Sebagai tolok ukur atas motivasi mereka untuk berprestasi, Ancok dan Faturochman menggunakan teknik penghitungan Mehrabian Achievement Motivation Scale. Data yang dikumpulkan berasal dari angket yang diisi lewat serangkaian wawancara. Yang digali, antara lain, latar belakang responden secara umum, persepsi mereka terhadap kualitas kerja dan motivasi kerja. Penelitian ini berdasarkan teori kuno dari David C. McCleland, yang sudah terkenal sejak 1960-an itu. McCleland mengajukan suatu konsep yang disebutnya sebagai virus "n-Ach", kependekan dari need for achievement. Virus kepribadian inilah yang menyebabkan seseorang ingin selalu meningkatkan prestasinya, sekaligus berusaha mencapai kualitas kerja yang sebaik-baiknya. Malah, McCleland melihat bahwa pertumbuhan ekonomi suatu bangsa punya korelasi positif dengan besarnya virus "n-Ach" yang dimiliki bangsa tersebut. Hasil penelitian Ancok menunjukkan bahwa responden nyaris tak memiliki virus "n-Ach" tadi. "Skor rata-rata yang diperoleh hanya 104,4. Padahal, skor maksimumnya adalah 164," ujar Ancok. Ini berarti, "Motivasi berpresti mereka tergolong rendah," kata staf pada Pusat Penelitian Kependudukan UGM ini. Ancok juga melihat, dorongan untuk menyelesaikan pekerjaan dengan cepat memang ada, tapi semata-mata karena ingin lebih cepat mendapatkan uang. Bahkan, kalau perlu, makin singkat bekerja, makin banyak pula uang yang bisa diraup. Hal itu tampak pada sekitar 80% responden. Hasil angket menunjukkan bahwa pegawai negeri memiliki kepuasan kerja yang cukup tinggi, disusul kelompok petani, pedagang, dan buruh. Tingginya tingkat kepuasan pegawai negeri karena, bagi mereka, pekerjaannya itulah idaman mereka. Karena itu, pegawai negeri hampir tak punya minat untuk berganti pekerjaan. Sebaliknya, buruh pabrik justru sangat ingin berganti profesi. Dalam hal jam kerja, kelompok pedagang mencatat waktu kerja rata-rata lebih dari 11 jam/hari, buruh pabrik 8-9 jam/hari, pegawai negeri 6-7 jam/hari, dan petani hanya 5,5 jam/hari. Hasil penelitian itu memang tak bisa dijadikan palu untuk memvonis kondisi masyarakat Indonesia. Apalagi belakangan tersembut rasa optimistis, setelah berlangsungnya simposium Pola Pembinaan dan Pengembangan Anak Indonesia, Oktober lalu. Tema "Anak Unggul Indonesia" yang diulas majalah Femina edisi minggu pertama Desember 1989 ini menjurus pada upaya menciptakan anak-anak berkualitas. "Secara gampangnya, bisa dikatakan bahwa meningkatkan kualitas manusia itu harus melalui proses... untuk itu perlu suatu usaha sedini mungkin, yaitu sejak dari masa kanak-kanak," begitu dikemukakan oleh Femina, sejajar dengan pendapat Prof.Dr. Utami Munandar. Berdasar telaah psikologi, pendidikan anak pada usia lima tahun pertama dianggap sangat penting buat perkembangan mereka. Karena itu, pada masa balita ini, setidaknya harus ada tiga ciri yang perlu ditumbuhkan, yakni tanggung jawab, kemandirian, dan kepekaan. Baru sesudah itu, barangkali, masyarakat Indonesia bakal kejangkitan virus "n-Ach". Dan akhirnya, seperti yang diharapkan oleh Sukarton, korupsi tak lagi jadi momok. Ahmed Kurnia Soeriawidjaja dan Slamet Subagyo (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini