PEREMPUAN itu memotret apa saja: Bayang-bayang daun yang jatuh di lantai, kursi, lelaki bertelanjang dada, anak-anak, cakrawala, jalanan, rumah kunci yang berkarat. Semuanya. Dia memotret dengan sudut-sudut bidik yang kuat, benda dan peristiwa sehari-hari yang direkam dalam gambar-gambar yang lirih. Puitis: serangkaian foto hitam putih yang bercerita tentang banyak hal. Hampir tanpa tepi.
Pameran 37 foto karya Iin Rinasari di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, dengan judul "Selarik Rasa, Sekejap Mata" pekan lalu itu memang mengesankan foto yang terserak. Ada kesan, fotografer yang masih mengenyam pendidikan di Institut Kesenian Jakarta itu ingin membuka wilayah interpretasi terhadap karya fotografi seluas-luasnya. Setiap hal yang ingin dipotret segera direkamnya tanpa beban dan karena itu ia menghasilkan sebuah karya yang terasa mengalir.
Tapi inilah konsekuensi sebuah karya yang dilakukan seperti orang bergumam. Karyanya tidak menyediakan referensi yang cukup bagi khalayak untuk berinteraksi dengan sang fotografer. Foto-foto tak diberi judul atau sekadar keterangan lokasi pemotretan. Beberapa frame yang dibiarkan kosong melompong tanpa gambar juga mempertegas bahwa foto-foto yang dipamerkan kali ini sungguh sebuah karya yang terpencil. Jauh.
Akhirnya, tafsir khalayak terhadap karya Iin diserahkan sepenuhnya kepada pengalaman individual terhadap realitas visual yang ditangkap Iin. Seperti sebuah puisi, karya ini ingin memiliki peluang untuk diinterpretasi ulang terus-menerus. Setiap kali dipandang, setiap kali muncul tafsir baru.
Sampai di sini tidak ada karya Iin yang bermasalah. Persoalannya, bagaimanapun, foto—sebagaimana puisi—tetap membutuhkan "bingkai" untuk menandakan "wilayah" yang sedang digambarkan. "Tanda-tanda" itulah yang akan membimbing orang lain di luar fotografer, atau penyair, untuk mengeksplorasi saraf interpretasinya dalam memberi tafsir terhadap sebuah karya. Tanpa itu, khalayak seperti melihat padang tak bertepi.
Sebuah karya yang telah diberi "garis pinggir" tidak otomatis menjadi karya yang tertutup atau karya yang sempit. Puisi-puisi yang diberi embel-embel dedikasi (untuk HJ, dalam puisik Goenawan Mohamad atau seperti sering kita lihat dalam puisi Indonesia modern) tidak kemudian menjadi puisi yang personal. Dedikasi itu pun tetap mampu membuka peluang untuk diinterpretasi pula secara lapang. Bukankah sebuah puisi yang paling "gelap" pun tetap membutuhkan judul?
Apa boleh buat, pameran foto ini, meski menarik dan tajam secara teknis, ia kehilangan fokus perhatian. Ia telah menjadi foto-foto tak berbingkai.
Arif Zulkifli
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini