Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Wafatnya Kubrick, Sutradara Pemalu

Stanley Kubrick meninggal dunia Minggu pekan lalu. Sutradara yang melahirkan banyak film dengan menanggalkan tabu.

15 Maret 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LELAKI itu menatap layar film di hadapannya dengan mata terbelalak. Bukan karena ia kagum, tetapi karena ada dua batang lidi yang ditancapkan di antara kedua kelopak matanya. Meski itu sebuah hukuman baginya, dia merasakan sebuah tantangan untuk dilarang berkedip. Adegan yang membuat mual itu adalah salah satu adegan legendaris dalam film Clockwork Orange, yang dengan satiris menggambarkan sebuah masyarakat lengkap dengan sistem penghargaan dan hukuman yang sungguh di luar kemanusiaan. Film karya sutradara Stanley Kubrick yang menggemparkan ini adalah produksi tahun 1971, yang hingga kini masih dianggap sebuah karya sinematik yang kontroversial. Bukan hanya karena sosok utama (diperankan dengan cemerlang oleh Malcolm McDowell) yang menampilkan sikap sadistis kepada manusia lain, tetapi juga kemampuan Kubrick mengangkat novel karya Anthony Burgess yang sangat kompleks itu. Pada usianya yang ke-70 tahun, sutradara besar itu meninggal dalam tidurnya hari Minggu dua pekan silam. Istrinya menemukan lelaki pemalu itu dengan nadi yang tak lagi berdenyut di rumahnya di Hertfordshire, dekat kota London, Inggris. Bagi dunia film, kematian Stanley Kubrick, sutradara belasan film kelahiran New York 26 Juli 1928, itu adalah sebuah kehilangan yang besar. "Kubrick adalah grandmaster dari para pembuat film," tutur Steven Spielberg. "Ia tidak pernah meniru gaya siapa pun, sementara kami, sutradara-sutradara lain, berlomba meniru apa yang pernah dia lakukan." Kubrick tidak dibesarkan dalam dunia film. Ayahnya adalah seorang dokter. Sejak kecil Kubrick lebih suka menyendiri dan menanjak remaja ia banyak menghabiskan waktu luangnya dengan memotret dan menonton film, bermodalkan kamera Graflex pinjaman dari ayahnya. Pada 1951, Kubrick nekat meminjam uang kepada ayahnya untuk membuat film Fear and Desire, sebuah film yang berkisah tentang tentara yang tertangkap di belakang garis pertahanan musuh. Inilah film yang sepenuhnya ditangani Kubrick sendiri: dari penulisan naskah, produksi, penyutradaraan, editing, bahkan sampai pada pengambilan gambar. Meski ditolak beberapa studio film besar, film ini dipuji kritikus film sebagai film simbolis yang memikat. Dua tahun berikutnya, Kubrick mulai masuk pada film-film semikomersial seperti Killer's Kiss, The Killing, dan Path of Glory (1957), yang lagi-lagi dipuji kritikus karena mampu mengangkat cerita tentang depresi seorang korban perang dunia ke dalam pita seluloid dengan subtil. Tak semua film adalah karya puncak. Ini disadari para sutradara besar. Namun, hampir setiap karya Kubrick adalah karya puncak. Paling tidak, kontroversial. Film Lolita yang dibuat berdasarkan novel Vladimir Nabokov menandakan sebuah ciri penting dari karya-karya Kubrick: ia selalu menanggalkan tabu di dalam masyarakat. Lolita yang dibuatnya pada 1962 itu mengetengahkan kisah roman yang tragis antara seorang profesor dan anak perempuan kekasihnya. Tokoh Profesor Mason (diperankan Peter Sellers), yang berhubungan cinta (dan seks) dengan gadis di bawah umur, itu kemudian menimbulkan kontroversi karena film ini sama sekali tidak mempersoalkan moralitas percintaan tak lazim itu. Karya terakhirnya, Eyes Wide Shut—yang dibuat berdasarkan novel karya Arthur Schnitzler—yang rencananya baru akan dipasarkan pada 16 Juli mendatang, mengundang banyak pujian, juga debat. Film ini berkisah tentang pasangan psikiater—diperankan oleh suami-istri Tom Cruise dan Nicole Kidman—yang terlibat relasi seksual dengan pasien masing-masing. Dan, Kubrick menggarap film psikoseksual ini dengan gaya suspense yang memikat. Pandangan-pandangan Kubrick tentang dunia film memang tidak banyak dilansir media massa. Sebagai orang film, ia termasuk tokoh yang jarang mau diwawancarai dan enggan bersosialisasi dengan teman-temannya sesama orang film. Orang mungkin menduganya sebagai lelaki yang sombong, tapi sesungguhnya ia pemalu. Namun, dari tangan seorang pemalu itulah karya-karya besar telah lahir. Dunia memang telah kehilangan seorang tokoh besar dengan karya-karya besar. Leila S. Chudori dan Arif Zulkifli

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus