Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Han Kang, peraih Nobel Sastra 2024, tidak hanya melahirkan novel dan prosa, tapi juga puisi.
Puisi Han Kang menggambarkan kerapuhan manusia dan trauma.
Sastrawan Dedy Tri Riyadi membedah puisi “Tanpa Judul” karya Han Kang.
HAN Kang, peraih Nobel Sastra asal Korea Selatan, dikenal luas melalui karya fiksinya, seperti The Vegetarian. Dia juga memiliki sensitivitas mendalam dalam puisi-puisinya. Salah satu karyanya yang paling kuat dan emosional adalah puisi yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Tanpa Judul. Sajak ini menggambarkan pengalaman manusia terhadap trauma, ketidakmampuan untuk melepaskan diri dari kenangan kelam, dan kerapuhan eksistensial. Menggunakan bahasa yang padat dan penuh simbolisme, Han Kang membawa kita pada refleksi mendalam tentang bagaimana trauma membentuk dan menetap dalam kehidupan seseorang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Puisi ini merupakan representasi puitis dari pergulatan manusia dengan rasa sakit yang tidak bisa diungkapkan sepenuhnya, tapi terus-menerus menghantui. Lewat penggunaan imaji yang halus dan menciptakan rasa ketidakberdayaan, Han Kang menciptakan dunia dengan trauma adalah entitas yang selalu hadir, bergerak bersama subyek puisi, dan menolak untuk diusir. Analisis ini akan mengeksplorasi bagaimana Tanpa Judul menggambarkan trauma sebagai sesuatu yang samar tapi nyata, serta kaitannya dengan kerapuhan manusia, yang pada akhirnya mencari bentuk penerimaan dan kedamaian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Puisi berbahasa Korea karya Han Kang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menggunakan teknologi kecerdasan buatan sebagai berikut:
Tanpa Judul
Sesuatu yang samar-samar melayang.
Ia berjalan bersamaku, mengalir, tak terhapuskan.
Hampir tidak pernah, tak bisa kuusir.
Ia adalah sosok yang gigih, tak bisa diajak bicara.
Tak peduli seberapa jauh aku pergi, ia tak pernah pergi.
Aku lari, sampai aku tak bisa lari lebih jauh lagi.
Saat aku tak bisa lari lebih jauh,
aku berbalik dan mencoba menggenggamnya.
Namun, tak bisa kugenggam.
Aku mengayunkan kedua lenganku,
tapi tetap tak bisa kugenggam.
Namun terkadang,
ketika aku menangis sendirian,
ia, dengan tenang,
gemetar,
menggenang di sepanjang garis tanganku.
Dari bait pembuka, puisi ini mengungkapkan citra yang samar: "Sesuatu yang samar-samar melayang." Dalam kalimat tersebut, "sesuatu" itu tidak diberi nama, tapi kehadirannya jelas terasa. Trauma sering kali bekerja seperti ini—ia tidak selalu mudah diidentifikasi atau diberi nama, tapi ia ada dan pengaruhnya terhadap seseorang sangat nyata. Trauma adalah kekuatan tak terlihat yang terus menghantui, meskipun tak selalu mudah dijelaskan.
Dalam kehidupan sehari-hari, trauma kadang kala sulit diungkapkan secara verbal. Pengalaman traumatis, entah itu berasal dari kejadian menyakitkan di masa lalu, kehilangan, atau penderitaan emosional yang mendalam, sering kali hadir dalam bentuk yang tidak terdefinisi dan tak terkatakan. Inilah yang digambarkan Han Kang dalam puisinya. Trauma yang dialami oleh subyek puisi tidak bisa didefinisikan secara jelas, tapi ia selalu ada di sana, mengalir bersama mereka, "berjalan bersamaku, mengalir, tak terhapuskan."
Perasaan ini mengingatkan kita pada sifat trauma yang gigih—bahwa meskipun seseorang mencoba melupakannya, menghindarinya, atau melarikan diri darinya, trauma tetap tinggal. "Hampir tidak pernah, tak bisa kuusir" menggarisbawahi bagaimana trauma bisa bertahan dalam pikiran dan tubuh seseorang, seperti bayangan samar yang tak bisa disingkirkan. Kata "samar" di sini memberikan konotasi bahwa trauma tidak selalu hadir secara frontal, tapi tetap memiliki kehadiran yang berat dan mendalam.
Han Kang saat peluncuran buku di Korea Selatan, 2016. Yonhap via REUTERS
Ketidakberdayaan dan Pelarian yang Sia-sia
Salah satu elemen terkuat dalam puisi ini adalah ketidakberdayaan yang dirasakan oleh subyek lirik dalam menghadapi trauma tersebut. Setelah memperkenalkan trauma sebagai sesuatu yang tak bisa dihindari, Han Kang menggambarkan upaya subyek untuk melarikan diri: "Aku lari, sampai aku tak bisa lari lebih jauh lagi." Ini adalah gambaran yang sangat manusiawi tentang reaksi terhadap trauma—usaha untuk menjauh sejauh mungkin dari rasa sakit, meskipun pada akhirnya pelarian ini selalu terbatas.
Pelarian dalam puisi ini bisa ditafsirkan secara metaforis sebagai upaya manusia untuk menghindari rasa sakit emosional yang mendalam. Seseorang yang telah mengalami trauma sering kali merasa terdorong untuk lari dari ingatan atau perasaan tersebut, mencoba menguburnya sedalam mungkin di dalam benak mereka. Namun, seperti yang diungkapkan dalam puisi, trauma adalah sesuatu yang tidak bisa dihilangkan hanya dengan jarak atau waktu. Tidak peduli seberapa jauh seseorang berlari, trauma tetap mengikuti, “Tak bisa diajak bicara, tak pernah pergi.”
Penggunaan kata "lari" di sini juga mencerminkan kebutuhan manusia untuk mencari pelarian dari kenyataan. Ini bisa berarti pelarian fisik, tapi juga mencakup pelarian emosional atau psikologis—usaha untuk menutupi rasa sakit melalui pengalihan perhatian atau bahkan mengasingkan diri dari perasaan tersebut. Namun Han Kang mengingatkan kita bahwa trauma bersifat persisten; ia akan tetap ada, menunggu di sudut-sudut pikiran paling dalam.
Di titik ini, puisi mengungkapkan kebenaran pahit yang dialami oleh mereka yang hidup dengan trauma: pelarian adalah usaha yang sia-sia. Subyek lirik dalam puisi akhirnya mencapai titik di saat "aku tak bisa lari lebih jauh", sebuah pengakuan yang penuh keputusasaan bahwa tidak ada tempat yang cukup jauh untuk melarikan diri dari trauma yang menetap.
Upaya untuk Menggenggam Trauma
Setelah lari yang tak berujung, subyek puisi akhirnya berhenti dan mencoba menghadapi apa yang telah menghantuinya selama ini. "Aku berbalik dan mencoba menggenggamnya" adalah ungkapan yang penuh simbolisme. Ini bukan hanya tindakan fisik, tapi juga mewakili keinginan untuk memahami atau mengendalikan trauma. Dalam banyak kasus, ketika seseorang tidak lagi bisa melarikan diri dari kenangan yang menyakitkan, mereka mencoba menghadapi atau memegangnya, mencoba memberi bentuk pada sesuatu yang sebelumnya tampak kabur.
Namun usaha ini pun berakhir dengan frustrasi: “Tak bisa kugenggam.” Di sini, Han Kang menyampaikan ketidakmampuan manusia untuk sepenuhnya memahami atau memegang trauma mereka. Meskipun kita mencoba menaklukkan rasa sakit atau trauma melalui pemahaman intelektual atau emosional, sering kali upaya ini gagal. Trauma tetap berada di luar jangkauan kita, seperti sesuatu yang licin dan tak bisa disentuh. Ini menggambarkan betapa kompleks dan tak terdefinisikannya trauma; meskipun seseorang mencoba menggenggamnya, ia tetap lepas, tetap hadir, tapi tak bisa dikuasai.
Pada akhirnya, puisi ini mengarah ke momen penerimaan. Setelah subyek puisi menyadari bahwa mereka tidak bisa lari dari trauma atau menggenggamnya, muncul momen kedamaian yang sunyi: "Namun terkadang, ketika aku menangis sendirian, ia, dengan tenang, gemetar, menggenang di sepanjang garis tanganku." Di sini, trauma digambarkan bukan lagi sebagai ancaman atau bayangan yang menakutkan, melainkan sebagai sesuatu yang melekat pada subyek dengan cara yang lebih halus dan intim.
Bagian ini mencerminkan penerimaan penuh kegetiran terhadap kenyataan bahwa trauma tidak akan pernah benar-benar hilang. Sebaliknya, ia menjadi bagian dari diri, berdiam dengan tenang dalam "garis tangan", yang bisa diinterpretasikan sebagai simbol nasib atau perjalanan hidup seseorang. Trauma bukan lagi sesuatu yang harus dilawan atau dihindari, melainkan sesuatu yang harus diterima sebagai bagian dari keberadaan manusia. Penerimaan ini adalah bentuk kedamaian yang sulit dicapai, tapi juga penuh dengan kelegaan.
Gambar trauma yang “gemetar” dan “menggenang” menegaskan bahwa meskipun trauma telah diterima, ia tetap rapuh, penuh dengan ketidakpastian dan kerentanan. Dalam momen-momen kesedihan atau keheningan, trauma ini tetap hadir, tapi dengan cara yang lebih tenang. Ini adalah pengakuan bahwa trauma tidak akan pernah sepenuhnya pergi. Tapi, dalam kediamannya, ada semacam penerimaan yang mendamaikan.
Melalui bahasa yang penuh kehalusan, Han Kang menggambarkan trauma sebagai sesuatu yang tak bisa dihindari atau dilupakan, tapi juga tak bisa sepenuhnya dipahami atau diatasi. Melalui pelarian yang sia-sia dan upaya untuk menggenggam, subyek puisi akhirnya menemukan bahwa trauma adalah bagian dari diri yang harus diterima, meskipun itu berarti hidup dengan luka yang terus gemetar di garis tangan mereka.
Kerapuhan manusia saat menghadapi trauma tampak jelas dalam ketidakberdayaan untuk mengendalikannya. Namun Han Kang juga menawarkan jalan menuju kedamaian—bukan melalui penaklukan trauma, melainkan melalui penerimaan bahwa trauma itu ada, bahwa ia adalah bagian dari identitas seseorang. Puisi ini memberikan pandangan yang penuh kepekaan dan humanis tentang kehidupan yang diliputi oleh kenangan yang sulit, tapi dalam penerimaan dan keheningan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo