Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Puisi Yona Primadesi

Yona Primadesi adalah akademikus serta praktisi bidang literasi dan literatur anak dan remaja. Menetap di Yogyakarta.

24 Juli 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Imam Yunni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yona Primadesi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEMORIAL DOM, 1991-2003

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

/1/ Rumoh Geudong, Pidie

 

Mimpi itu

adalah satu-satunya rumah

yang masih menuntunmu kembali

untuk menemukan suara ibumu,

yang tak pernah ada di sampingmu

setiap kali kau terbangun,

bertahun-tahun

masa silam itu hanya dipenuhi

semak belukar di bekas lantainya,

dinding yang hening,

bahkan anak-anak tangga di sana

sunyi seperti amnesia,

siapa mau menyebut itu sejarah?

 

Pada kalender tak akan pernah

ditandai sebuah himne untuk ibumu

atau di sebuah katalog wisata

untuk menziarahi orang-orang

yang menggali ajalnya sendiri

hingga kuku terkelupas dari jari

atau di saat-saat terakhir

dijejalkan ke lubang sumur

disertai rajaman peluru.

 

Rumah itu

adalah satu-satunya mimpi

yang selalu menunggumu pulang

seperti hari-hari sekolah dulu,

namun saat malam itu menjemput,

kau menatap halaman masa kanakmu

bersama ibumu dari bak truk,

semakin mengecil dan lenyap.

 

Berhari-hari kau disekap firasat buruk

dan rasa mual,

di hadapanmu ibumu digantung

seperti seekor kelelawar di langit-langit gua,

dan bau busuk menguar dari timbunan tubuh

yang telah kehabisan erangan,

 

hanya air mata dan napas letih yang tersisa

saat mereka berdiri di antara kedua pahamu,

bergantian seperti ritme pompa air,

menguras impianmu, hingga kau

memalingkan muka

bahkan untuk membayangkan

seorang bayi menyusu di pangkuanmu

itu hanya mengingatkanmu

pada decak-mulut-gunting,

 

siapa mau membacakan trauma itu?

bahkan di tugu di luar pagar sana

sejumlah nama telah memudar

seperti halnya nasib ibumu,

kecuali itu adalah gema

yang tertinggal di dasar mimpi.

 

 

/2/ Tragedi KNPI, Pusong

Sampai kini

halaman kisahmu

masih tertimbun

dalam ingatan negeri ini,

siapa mau peduli trauma

dua dekade lalu,

kecuali sebuah buku bekas.

 

Tentu itu juga bukan sejarah

bagi anak-anak di sekolah,

mereka tak boleh dibayangi

perihal yang mengerikan;

bekas sayat di kantung matamu,

genangan darah di lantai,

hingga berkas tuduhan

untuk sisa hidupmu

sebagai cuak yang membuat

kau berpaling dari kampungmu,

sebab orang-orang tak ingin

ada nasib buruk

di sekitar mereka.

 

Hingga kini

hanya ingatanmu

yang masih bertahan

mengenang seluruhnya,

siapa mau tahu

soal kemanusiaan

soal seorang remaja

yang gemetar ketakutan

karena sebutir peluru di kakinya,

atau erangan orang-orang

yang setiap hari kau dengar

karena kepalan tangan yang bengis,

sengatan listrik, hingga napas

tersumbat darah—dan mereka,

parasit berseragam itu,

cukup berkata telah keliru,

dan diam-diam membisikkan

teror ke seluruh telinga

agar perihal yang kejam ini

dibungkam, disensor

hingga sampai kini tak pernah

ada himne di bawah bendera

untuk masa silam yang telah

mengasingkanmu.

 

 

/3/ Jembatan Arakundo, Aceh Timur

 

Semua tertinggal

di bawah sana,

sungai bergegas,

seakan ke dalam telinga berbisik

kata-kata selamat tinggal,

lupakan,

tak akan kita temukan

harapan di bawah sana,

kecuali kesedihan

telah terbawa arus,

meski duka itu

masih termuat dalam ingatan,

seperti karung menyungkupi tubuh

orang-orang dari kampung kita,

itu hanyalah kesunyian

yang dibuang di bawah sana

bersama batu pemberat

yang menenggelamkan

masa silam itu,

tak akan pernah kita dengar

jawaban dari bawah sana,

sebab bagi mereka—

para sambar nyawa itu,

adalah pembalasan,

juga jejak darah

di jembatan

meski hadir sebagai bukti

hanya akan berakhir

pada lembaran arsip.

 

 

/4/ Jambo Keupok, Bakongan

 

Hancurkan desa-desa,

kumpulkan nama-nama dan amarahmu,

pistol yang kau pegang

telah resmi diperintah untuk hal ini,

wajah kami akan patuh menunduk

dan tatapan telah menyerah.

Kami hanya tentara

dan harus melakukannya!

Meski beberapa dari kami

bukan dari daftar hitammu,

itu pun jika sempat kau catat,

atau tak benar-benar ada di antara kami,

tapi kau hanguskan rumah dan hari esok

ke dalam rasa takut hingga jeritan lepas

dan hitam kayu bakar,

semua ini harus menyisakan

trauma saat kau pergi,

hanguskan harapan dan masa kecil

anak-anak kami dengan peluru

jika itu membuatmu ragu

agar tak ada pikiran

yang bertanya suatu hari

bagaimana letihnya

seorang perempuan berduka

bertahun-tahun setelah memeluk

suaminya yang serupa arang,

bukankah ini adalah sejarah

yang telah kau terima

sebagai atribut di masa tua?

 

 

2020-2022

 

Yona Primadesi lahir pada 26 Februari. Menulis puisi, prosa, dan esai. Bukunya, Dongeng Panjang Literasi Indonesia (2018) dan Ingatan Masa Kecil (2022). Ia pendiri komunitas Sahabat Gorga, Yogyakarta. 

 

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus