Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yona Primadesi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEMORIAL DOM, 1991-2003
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
/1/ Rumoh Geudong, Pidie
Mimpi itu
adalah satu-satunya rumah
yang masih menuntunmu kembali
untuk menemukan suara ibumu,
yang tak pernah ada di sampingmu
setiap kali kau terbangun,
bertahun-tahun
masa silam itu hanya dipenuhi
semak belukar di bekas lantainya,
dinding yang hening,
bahkan anak-anak tangga di sana
sunyi seperti amnesia,
siapa mau menyebut itu sejarah?
Pada kalender tak akan pernah
ditandai sebuah himne untuk ibumu
atau di sebuah katalog wisata
untuk menziarahi orang-orang
yang menggali ajalnya sendiri
hingga kuku terkelupas dari jari
atau di saat-saat terakhir
dijejalkan ke lubang sumur
disertai rajaman peluru.
Rumah itu
adalah satu-satunya mimpi
yang selalu menunggumu pulang
seperti hari-hari sekolah dulu,
namun saat malam itu menjemput,
kau menatap halaman masa kanakmu
bersama ibumu dari bak truk,
semakin mengecil dan lenyap.
Berhari-hari kau disekap firasat buruk
dan rasa mual,
di hadapanmu ibumu digantung
seperti seekor kelelawar di langit-langit gua,
dan bau busuk menguar dari timbunan tubuh
yang telah kehabisan erangan,
hanya air mata dan napas letih yang tersisa
saat mereka berdiri di antara kedua pahamu,
bergantian seperti ritme pompa air,
menguras impianmu, hingga kau
memalingkan muka
bahkan untuk membayangkan
seorang bayi menyusu di pangkuanmu
itu hanya mengingatkanmu
pada decak-mulut-gunting,
siapa mau membacakan trauma itu?
bahkan di tugu di luar pagar sana
sejumlah nama telah memudar
seperti halnya nasib ibumu,
kecuali itu adalah gema
yang tertinggal di dasar mimpi.
/2/ Tragedi KNPI, Pusong
Sampai kini
halaman kisahmu
masih tertimbun
dalam ingatan negeri ini,
siapa mau peduli trauma
dua dekade lalu,
kecuali sebuah buku bekas.
Tentu itu juga bukan sejarah
bagi anak-anak di sekolah,
mereka tak boleh dibayangi
perihal yang mengerikan;
bekas sayat di kantung matamu,
genangan darah di lantai,
hingga berkas tuduhan
untuk sisa hidupmu
sebagai cuak yang membuat
kau berpaling dari kampungmu,
sebab orang-orang tak ingin
ada nasib buruk
di sekitar mereka.
Hingga kini
hanya ingatanmu
yang masih bertahan
mengenang seluruhnya,
siapa mau tahu
soal kemanusiaan
soal seorang remaja
yang gemetar ketakutan
karena sebutir peluru di kakinya,
atau erangan orang-orang
yang setiap hari kau dengar
karena kepalan tangan yang bengis,
sengatan listrik, hingga napas
tersumbat darah—dan mereka,
parasit berseragam itu,
cukup berkata telah keliru,
dan diam-diam membisikkan
teror ke seluruh telinga
agar perihal yang kejam ini
dibungkam, disensor
hingga sampai kini tak pernah
ada himne di bawah bendera
untuk masa silam yang telah
mengasingkanmu.
/3/ Jembatan Arakundo, Aceh Timur
Semua tertinggal
di bawah sana,
sungai bergegas,
seakan ke dalam telinga berbisik
kata-kata selamat tinggal,
lupakan,
tak akan kita temukan
harapan di bawah sana,
kecuali kesedihan
telah terbawa arus,
meski duka itu
masih termuat dalam ingatan,
seperti karung menyungkupi tubuh
orang-orang dari kampung kita,
itu hanyalah kesunyian
yang dibuang di bawah sana
bersama batu pemberat
yang menenggelamkan
masa silam itu,
tak akan pernah kita dengar
jawaban dari bawah sana,
sebab bagi mereka—
para sambar nyawa itu,
adalah pembalasan,
juga jejak darah
di jembatan
meski hadir sebagai bukti
hanya akan berakhir
pada lembaran arsip.
/4/ Jambo Keupok, Bakongan
Hancurkan desa-desa,
kumpulkan nama-nama dan amarahmu,
pistol yang kau pegang
telah resmi diperintah untuk hal ini,
wajah kami akan patuh menunduk
dan tatapan telah menyerah.
Kami hanya tentara
dan harus melakukannya!
Meski beberapa dari kami
bukan dari daftar hitammu,
itu pun jika sempat kau catat,
atau tak benar-benar ada di antara kami,
tapi kau hanguskan rumah dan hari esok
ke dalam rasa takut hingga jeritan lepas
dan hitam kayu bakar,
semua ini harus menyisakan
trauma saat kau pergi,
hanguskan harapan dan masa kecil
anak-anak kami dengan peluru
jika itu membuatmu ragu
agar tak ada pikiran
yang bertanya suatu hari
bagaimana letihnya
seorang perempuan berduka
bertahun-tahun setelah memeluk
suaminya yang serupa arang,
bukankah ini adalah sejarah
yang telah kau terima
sebagai atribut di masa tua?
2020-2022
Yona Primadesi lahir pada 26 Februari. Menulis puisi, prosa, dan esai. Bukunya, Dongeng Panjang Literasi Indonesia (2018) dan Ingatan Masa Kecil (2022). Ia pendiri komunitas Sahabat Gorga, Yogyakarta.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo