KETIKA empat laki-perempuan ihl menarik suara, terkembang
sebuah dunia dari lapisan yang paling bawah dunia pasar-pasar
yang miskin, dunia jalanjalan kampung dan aspal yang panas di
pinggir kota. tempiling (dibaca dengan t menurut lidah Bali atau
Aceh) yang sering juga disebut kentrung, memang satu bentuk
hiburan yang melata di kalangan rendah penduduk Jawa Timur dan
Tengah.
Mengejutkan ketika ia ditampilkan di Teater Arena TIM
Jakarta -- 3 Desember, atas prakarsa Proyek Pengembangan
Kesenian Jakarta Ditjen Kebudayaan P & K. Di antara empat jenis
yang dipertunjukkan dua malam secara bergiliran, templing terasa
sebagai yang paling profesional orang-orang yang memang
kelihatan diangkat dari jalanan dan diberi pakaian agak bagus.
Mereka bersuara spontan -- tak sadar bahwa mereka
"menyanyi". Jangan tangkap nada mereka dalam pengertian yang
diatonis atau yang pentatonis: itu jenis suara sumbang yang
serempak, agaknya tak ada di dalam not, sebuah milik yang asli
yang hanya diikat dalam harmoni oleh persamaan 'rasa'. Melodi
bagi mereka hanyalah sesuatu yang melengkung rendah di bagian
ujung. Ditembangkan berulang-ulang, monoton dan panjang-panjang,
pantun-pantun Jawa Timuran itu anehnya melengkingkan nasib yang
kasar, rasa pasrah yang tak disadari, dan usaha keras untuk
mencari nasi .
Padahal mereka sebenarnya sedang menuturkan kisah tentang
raja yang ajaib -- dengan kalimat prosais oleh si dalang yang
duduk menghadap gendang, plus dialog dan komentar oleh semua di
tengah pukulan sebuah rebana besar dan dua rebana kecil yang
mengalir tak putus-putus. Sesuai untuk pertunjukan klas pinggir
jalanan, bahasa mereka pun mudah dan langsung. Sedang lelucon
seperti "wonten dawuh?" (ada perintah?) yang diganti dengan
"wonten lawuh?" (ada lauk?), boleh menunjukkan betapa mewahnya
sudah sepiring nasi plus tempe ataupun ikan asin bagi lingkungan
yang mereka wakili.
Sahibul Hikayat
Jenis templing yang berombongan ini merupakan hasil
perkembangan pendek dari kentrung, yang dibawakan hanya oleh si
dalang seorang dengan bantuan rebana alias kentrung itu. Dan
penuturan kisah secara tunggal memang bentuk yang paling awal -
ketika kebiasaan mendengarkan belum digeser oleh kebudyaan
membaca atau menonton. Macapat, yang bahkan sama sekali tanpa
instrumen--di Jawa, Bali (mebasan) atau Lombok misalnya --
adalah wakil paling tegas "kebudayaan telinga" itu.
Di tanah Minang juga orang mendengarkan hikayat dari tambo
alam maurun adat--lewat bakaba yang bisa dilaksanakan sampai
belasan malam untuk sebuah tema, dengan iringan rebab maupun
adok alias alat pengatur ritme. Di Makasar orang mengenal
sinrili -- yang tumbuh dari kebiasaan raja untuk mendengarkan
kisah lewat suara seorangpasinrili yang menggesek rebab. Jenis
ini diketengahkan di TIM di malam pertama. Dan semua itu sejalan
belaka dengan tradisi barzanji, yang juga berasal dari dunia
lama --pembacaan riwayat Nabi secara tunggal diselang-seling
nyanyian bersama, di hampir seluruh pelosok.
Tapi sebagaimana bakaba -- seperti disebut dalam makalah
Chairul Harun, dalam sarasehan pagi harinya di tempat ang sama -
makin disingkirkan oleh ra1dai (vang justru merupakan hasil
perkembangannya), oleh dendang saluang maupun lebih-lebih oleh
kaset bakaba sendiri, demikian juga acara nacapat makin sulit
didapat. Bahkan juga acara sahibul bikayat di Betawi,agaknya
--meskipun dari semuanya ia terhitung yang paling akrab oleh
sifatnya yang pop dan tidak angker.
Dalang Edan
Tapi sementara itu tumbuh pula suara bertutur yang lain. Di
Yogya, Banyumas, Purworejo, atau daerah-daerah sekitar, sejak
awal abad muncul dalang gemblung alias jemblung (gemblung =
edan, jemblung = buncit). Ini mula-mula permainan seorang dalang
yang menuturkan kisah bukan langsung dari hikayat seperti halnya
macapat. Melainkan dengan menirukan pertunjukan --baik wayang
kulit maupun ketoprak atau wayang orang. Perkembangan lebih
lanjut, bisa ditebak, pertunjukan itu "dituturkan" oleh beberapa
orang.
Seperti di TIM di malam kedua oleh rombongan lima orang,
campuran dari Banyumas dan Yogya --yang disuguhkan adalah
semacam latihan drama atau pelaksanaan sandiwara radio. Tiga
lelaki (salah seorang dalang, yang membawakan kerangka cerita di
samping memegang peran) plus seorang wanita sebagai sinden dan
tentu juga pemegang peran, mempersembahkan -lewat mulut, tanpa
instrumen apa pun -- seluruh jalan cerita, lengkap dengan dialog
dan seluruh bunyi gamelan.
Bahkan gema sebuah gong ditirukan oleh seseorang --ngung,
ngung, ngung -- setiap ia habis "dipukul". Tidak urung, mereka
yang duduk melingkr ini mempertunjukkan akting--lengkap dengan
cara-cara "perkelahian " yang tampaknya menjadi khas jemblung.
Peran berubah-ubah dengan cepat, dan lokasi berpindah-pindah
dengan tangkas dan segar tanpa diumumkan.
Orang Indonesia memang kreatif, oan "berjiwa eksperimen" --
berbeda dari omongan sebagian intelektual mandul yang tidak tahu
lingkungan. Dan seperti ada perjanjian --padahal tidak-cara yang
sama bisa tumbuh di daerah-daerah berbeda. Malam pertama itu
diakhiri dengan permainan cepung Lombok -- yang di Bali dikenal
sebagai cekepung.
Berbeda dari Jawa, rombongan pria ini semula bisa disangka
grup musik. Tembang-tembang dengan pakem sinom, maskumambang,
dangdang, pangkur, durma, semarandana, dalam khazanah budaya
Sasak (suku Islam di Lombok) dikembangkan dengan penuh energi
dan menjadi terasa "lain" -- ditambah gerak tangan (kadang mimik)
yang menirukan tarian Bali. Satu rangkaian dinamik terdiri dari
banyak penggalan, seluruh acara itu sebenarnya sebuah pembawaan
Lontar Monyeh, sebuah hikayat lama gubahan Jro Mehram, Lombok
Timur, 1937.
Ini cepung yang bukan main kocak, lengkap dengan seorang
dalang dan seorang badut -- seperti juga pada jemblung maupun
templing -- memang lahir dari pantun, dan bukan kisah. Bahkan
satu-satunya pustaka untuk cepug yang bertutur (jadi banyak
yang tidak) hanyalah Lontar Monyeh itu -- yang ternyata juga punya
versi lain buat keperluan macapat Cepung sendiri konon lahir
dari beberapa orang iseng yang mendendangkan pantun bersama-sama
-- bahkan ada yang bilang: dari permainan orang mabuk. Tak heran
bila seperti juga jemblung di Jawa, berbagai bunyi instrumen
mereka lahirkan serentak dengan mulut -- meski ada juga kendang
dan rebab.
Serbuan TV
Umar Kayam, di hari sarasehan itu, menyatakan betapa teater
bertutur umumnya merupakan bagian yang segera akan hilang.
Memudarnya masyaraKat tradisi yang merupakan lingkungan tempat
hidupnya, dan makin bertambahnya pengaruh budaya kota ke
pedesaan, di samping "serbuan" radio dan terutama tv yang
sekaligus makin mengukuhkan status kenasionalan kita, boleh
menjadi penyebab.
Mungkin kecepatan menghilangnya akan berbeda-beda -- di
samping yang bisa bertahan, setidak-tidaknya dengan bentuk baru
yang lebih visual, agaknya. Namun rasanya memang tak lama lagi
rakyat kita akan masih bisa menjumpai rombongan pengamen seperti
templing atau kentrung itu: sebuah keluarga, terdiri dari bapak,
emak dan anak-anak berjalan sepanjang deretan toko di hari
panas, berhenti untuk membawakan kisah panjang tentang putri yang
ajaib sambil bermimpi.
Orang akan tak sempat lagi. Dari toko-toko menyemprot bunyi
elektronik -- dan mereka menghindar ke masa lampau.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini