Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Rakyat, sebelum hilang

Jenis-jenis teater bertutur di pertunjukan di tim atas prakarsa proyek pengembangan kesenian jakarta ditjen kebudayaan al: templing/kentrung (ja-tim), bakaba (minang), sinrili (makasar), jemblung (ja-teng). (ter)

13 Desember 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA empat laki-perempuan ihl menarik suara, terkembang sebuah dunia dari lapisan yang paling bawah dunia pasar-pasar yang miskin, dunia jalanjalan kampung dan aspal yang panas di pinggir kota. tempiling (dibaca dengan t menurut lidah Bali atau Aceh) yang sering juga disebut kentrung, memang satu bentuk hiburan yang melata di kalangan rendah penduduk Jawa Timur dan Tengah. Mengejutkan ketika ia ditampilkan di Teater Arena TIM Jakarta -- 3 Desember, atas prakarsa Proyek Pengembangan Kesenian Jakarta Ditjen Kebudayaan P & K. Di antara empat jenis yang dipertunjukkan dua malam secara bergiliran, templing terasa sebagai yang paling profesional orang-orang yang memang kelihatan diangkat dari jalanan dan diberi pakaian agak bagus. Mereka bersuara spontan -- tak sadar bahwa mereka "menyanyi". Jangan tangkap nada mereka dalam pengertian yang diatonis atau yang pentatonis: itu jenis suara sumbang yang serempak, agaknya tak ada di dalam not, sebuah milik yang asli yang hanya diikat dalam harmoni oleh persamaan 'rasa'. Melodi bagi mereka hanyalah sesuatu yang melengkung rendah di bagian ujung. Ditembangkan berulang-ulang, monoton dan panjang-panjang, pantun-pantun Jawa Timuran itu anehnya melengkingkan nasib yang kasar, rasa pasrah yang tak disadari, dan usaha keras untuk mencari nasi . Padahal mereka sebenarnya sedang menuturkan kisah tentang raja yang ajaib -- dengan kalimat prosais oleh si dalang yang duduk menghadap gendang, plus dialog dan komentar oleh semua di tengah pukulan sebuah rebana besar dan dua rebana kecil yang mengalir tak putus-putus. Sesuai untuk pertunjukan klas pinggir jalanan, bahasa mereka pun mudah dan langsung. Sedang lelucon seperti "wonten dawuh?" (ada perintah?) yang diganti dengan "wonten lawuh?" (ada lauk?), boleh menunjukkan betapa mewahnya sudah sepiring nasi plus tempe ataupun ikan asin bagi lingkungan yang mereka wakili. Sahibul Hikayat Jenis templing yang berombongan ini merupakan hasil perkembangan pendek dari kentrung, yang dibawakan hanya oleh si dalang seorang dengan bantuan rebana alias kentrung itu. Dan penuturan kisah secara tunggal memang bentuk yang paling awal - ketika kebiasaan mendengarkan belum digeser oleh kebudyaan membaca atau menonton. Macapat, yang bahkan sama sekali tanpa instrumen--di Jawa, Bali (mebasan) atau Lombok misalnya -- adalah wakil paling tegas "kebudayaan telinga" itu. Di tanah Minang juga orang mendengarkan hikayat dari tambo alam maurun adat--lewat bakaba yang bisa dilaksanakan sampai belasan malam untuk sebuah tema, dengan iringan rebab maupun adok alias alat pengatur ritme. Di Makasar orang mengenal sinrili -- yang tumbuh dari kebiasaan raja untuk mendengarkan kisah lewat suara seorangpasinrili yang menggesek rebab. Jenis ini diketengahkan di TIM di malam pertama. Dan semua itu sejalan belaka dengan tradisi barzanji, yang juga berasal dari dunia lama --pembacaan riwayat Nabi secara tunggal diselang-seling nyanyian bersama, di hampir seluruh pelosok. Tapi sebagaimana bakaba -- seperti disebut dalam makalah Chairul Harun, dalam sarasehan pagi harinya di tempat ang sama - makin disingkirkan oleh ra1dai (vang justru merupakan hasil perkembangannya), oleh dendang saluang maupun lebih-lebih oleh kaset bakaba sendiri, demikian juga acara nacapat makin sulit didapat. Bahkan juga acara sahibul bikayat di Betawi,agaknya --meskipun dari semuanya ia terhitung yang paling akrab oleh sifatnya yang pop dan tidak angker. Dalang Edan Tapi sementara itu tumbuh pula suara bertutur yang lain. Di Yogya, Banyumas, Purworejo, atau daerah-daerah sekitar, sejak awal abad muncul dalang gemblung alias jemblung (gemblung = edan, jemblung = buncit). Ini mula-mula permainan seorang dalang yang menuturkan kisah bukan langsung dari hikayat seperti halnya macapat. Melainkan dengan menirukan pertunjukan --baik wayang kulit maupun ketoprak atau wayang orang. Perkembangan lebih lanjut, bisa ditebak, pertunjukan itu "dituturkan" oleh beberapa orang. Seperti di TIM di malam kedua oleh rombongan lima orang, campuran dari Banyumas dan Yogya --yang disuguhkan adalah semacam latihan drama atau pelaksanaan sandiwara radio. Tiga lelaki (salah seorang dalang, yang membawakan kerangka cerita di samping memegang peran) plus seorang wanita sebagai sinden dan tentu juga pemegang peran, mempersembahkan -lewat mulut, tanpa instrumen apa pun -- seluruh jalan cerita, lengkap dengan dialog dan seluruh bunyi gamelan. Bahkan gema sebuah gong ditirukan oleh seseorang --ngung, ngung, ngung -- setiap ia habis "dipukul". Tidak urung, mereka yang duduk melingkr ini mempertunjukkan akting--lengkap dengan cara-cara "perkelahian " yang tampaknya menjadi khas jemblung. Peran berubah-ubah dengan cepat, dan lokasi berpindah-pindah dengan tangkas dan segar tanpa diumumkan. Orang Indonesia memang kreatif, oan "berjiwa eksperimen" -- berbeda dari omongan sebagian intelektual mandul yang tidak tahu lingkungan. Dan seperti ada perjanjian --padahal tidak-cara yang sama bisa tumbuh di daerah-daerah berbeda. Malam pertama itu diakhiri dengan permainan cepung Lombok -- yang di Bali dikenal sebagai cekepung. Berbeda dari Jawa, rombongan pria ini semula bisa disangka grup musik. Tembang-tembang dengan pakem sinom, maskumambang, dangdang, pangkur, durma, semarandana, dalam khazanah budaya Sasak (suku Islam di Lombok) dikembangkan dengan penuh energi dan menjadi terasa "lain" -- ditambah gerak tangan (kadang mimik) yang menirukan tarian Bali. Satu rangkaian dinamik terdiri dari banyak penggalan, seluruh acara itu sebenarnya sebuah pembawaan Lontar Monyeh, sebuah hikayat lama gubahan Jro Mehram, Lombok Timur, 1937. Ini cepung yang bukan main kocak, lengkap dengan seorang dalang dan seorang badut -- seperti juga pada jemblung maupun templing -- memang lahir dari pantun, dan bukan kisah. Bahkan satu-satunya pustaka untuk cepug yang bertutur (jadi banyak yang tidak) hanyalah Lontar Monyeh itu -- yang ternyata juga punya versi lain buat keperluan macapat Cepung sendiri konon lahir dari beberapa orang iseng yang mendendangkan pantun bersama-sama -- bahkan ada yang bilang: dari permainan orang mabuk. Tak heran bila seperti juga jemblung di Jawa, berbagai bunyi instrumen mereka lahirkan serentak dengan mulut -- meski ada juga kendang dan rebab. Serbuan TV Umar Kayam, di hari sarasehan itu, menyatakan betapa teater bertutur umumnya merupakan bagian yang segera akan hilang. Memudarnya masyaraKat tradisi yang merupakan lingkungan tempat hidupnya, dan makin bertambahnya pengaruh budaya kota ke pedesaan, di samping "serbuan" radio dan terutama tv yang sekaligus makin mengukuhkan status kenasionalan kita, boleh menjadi penyebab. Mungkin kecepatan menghilangnya akan berbeda-beda -- di samping yang bisa bertahan, setidak-tidaknya dengan bentuk baru yang lebih visual, agaknya. Namun rasanya memang tak lama lagi rakyat kita akan masih bisa menjumpai rombongan pengamen seperti templing atau kentrung itu: sebuah keluarga, terdiri dari bapak, emak dan anak-anak berjalan sepanjang deretan toko di hari panas, berhenti untuk membawakan kisah panjang tentang putri yang ajaib sambil bermimpi. Orang akan tak sempat lagi. Dari toko-toko menyemprot bunyi elektronik -- dan mereka menghindar ke masa lampau.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus