DI zaman landraad, pengadilan bagi Bumiputra dan Timur
Asing, heriening atau peninjauan kembali putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap telah dikenal. Tapi,
seperti kata Prof. Oemar Seno Adji, peraturannya memang tak ada.
Pengadilan begitu saja menerima permohonan peninjauan kembali
sebagai upaya hukum terakhir.
Adalah Prof. Soebekti, Ketua Mahkamah Agung sebelum Seno
Adji, yang kemudian mencoba melembagakan ketentuan tersebut.
Soalnya, pada waktu itu, 1969, ada kasus Ada seseorang dihukum
karena dituduh rnenjual tanpa izin, mobil yang sedang dalam
pengawasan pemerintah. Si terhukum mengajukan permohonan
peninjauan kembali. Soalnya, tak disangka-sangka ia menemukan
surat izin, yang pernah dinyatakan hilang waktu ia diadili.
Sebenarnya habislah sudah upaya bagi si terhukum tersebut
untuk memperoleh keadilan. Untuk menampung keinginan pencari
keadilan tersebut, Mahkamah Agung memberlakukan herziening
(Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 1969). Tapi, peraturan
tersebut kemudian disusuli dengan Surat Edaran No. 18/1969),
yang menangguhkan pelaksanaannya.
Alasannya semata-mata soal teknis saja. Misalnya: masih
diperlukan semacam peraturan peralihan dan ketentuan biaya
perkara. Namun ketentuan berikutnya tak kunjung muncul. Bahkan,
sekitar dua tahun kemudian, Mahkamah Agung mencabut peraturannya
sendiri -- sebelum sempat dimanfaatkan pencari keadilan.
Memang ada anggota DPR yang menentang. Lagi pula ada sebuah
rancangan undang-undang (RUU) tentang Mahkamah Agung, yang konon
memuat ketentuan herziening. Tapi, itulah, hingga Karta dan
Sengkon membutuhkan, ternyau lembaga seperti itu masih juga
belum ada.
Cemberut
Nah, salahkah bila Mahkamah Agung yang sekarang kemudian
menerbitkan peraturan -- yang disebutnya "merupakan suatu
penyesuaian" dari peraturan tentang hal yang sama yang pernah
dicabut? Ternyata, mengutip beberapa pendapat ahli hukum, itu
adalah "salah".
Menurut V.B. da Costa, anggota Komisi III/DPR, ketentuan
hukum seperti herziening harus diatur dengan undang-undang,
bukan dengan sekedar peraturan. Begitu juga pendapat Hakim
Loudoe dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat "Peraturan Mahkamah
Agung seperti itu tak punya dasar "hukum."
Seharusnya, menurut Loudoe, "Mahkamah Agung lebih baik
membuat suatu keputusan terhadap kasus tertentu yang dimintakan
peninjauan kembali." Dengan begitu, katanya, Mahkamah Agung
membuat juriprudensi, yang sama mengikatnya dengan
undang-undang.
Kritik beberapa ahli, cukup membuat Seno Adji cemberut.
Yang penting, katanya, peraturan tersebut "berlaku untuk kasus
yang menguntungkan terhukum." Lembaga peninjauan kembali,
katanya lagi, sengaja dikeluarkan "karena kebutuhan yang mutlak
dan mendesak." Lagi pula, katanya, "sifatnya juga
sementara--sambil menunggu hukum acara."
Hukum Acara Pidana yang baru, menurut Menteri Kehakiman
Mudjono, rencananya akan diundangkan sebagai hadiah peringatan
Hari Proklamasi 17 Agustus 1981.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini