KEADAAN Sengkon dan Karta baik-baik saja --mereka kini
hidup tenang bersama keluarga di sebuah dusun, di Bekasi, Jawa
Barat, tak jauh dari ibukota. Bagi Sengkon, yang belum lama ini
selesai menjalani perawatan di rumah sakit, tak begitu repot
memikirkan masa lalu. Bebas dari penjara, yang telah menyekapnya
selama 6 tahun, dianggapnya sudah merupakan sesuatu yang harus
disyukuri.
Dalam hati kawap senasibnya, Karta, memang ada sedikit
ganjalan: Seandainya ia boleh mendapat ganti rugi bagi
penderitaan selama beberapa tahun di penjara--tanpa dosa seperti
pernah di tuduhkan itu jaksa? Tidak begitu sederhana, memang.
Bagi para ahli dan pejabat tinggi hukum, persoalan yang
muncul dari kasus kedua penduduk Bojongsari tersebut, memang
dianggap tidak sederhana. Segala macam upaya hukum dipikirkan
setelah belakangan ketahuan ada ssuatu yang kurang bagi pencari
keadilan. Sampai akhirnya ditemukan (kembali jalan hukum bagi
orang yang bernasib seperti Sengkon dan Karta.
Bagaimana? Karta, yang bisa bacatulis, dapat mengajukan
permohonan tertulis kepada Mahkamah Agung yang disampaikan
melalui kepaniteraan di pengadilan di daerahnya (Pengadilan
Negeri)--agar berkenan meninjau kembali perkaranya. Karta harus
membeberkan betapa kelirunya pengadilan yang pernah menghukumnya
7 tahun penjara. Seperti terbukti belakangan, ternyata adalah
Gunel dan kawan-kawannyalah yang merampok dan membunuh
suamiistri Sulaiman (TEMPO, 1 dan 15 November).
Sedangkan Sengkon, yang dihukum 12 tahun, karena buta
huruf, bolehlah mengajukan permohonan secara lisan. Ketua
Pengadilan atau hakim lain yang berwenang akan mencatat
permohonannya.
Pengadilan selekas-lekasnya akan meneruskan permohonan
keduanya ke Mahkamah Agung. Badan pengadilan negara tertinggi
kemudian akan memmbang-nimbang. Adakah pengakuan Gunel--bila
diketahui pada waktu perkara Sengkon dan Karta masih
berlangsung-dapat membuat putusan pengadilan berlainan dari yang
sudah? Jawabnya: keduanya boleh jadi akan mendapat keringanan
atau bahkan bebas sama sekali.
Jika "keadaan baru" yang diajukan Sengkon dan Karta
meyakinkan, Mahkamah Agung dapat meninjau kembali putusan pidana
terhadap mereka. Caranya, Mahkamah Agung membatalkan putusan
pidana yang terdahulu, dan selanjutnya akan memutus sendiri.
Bila perlu Sengkon, Karta dan para saksi akan dipanggil untuk
didengar keterangannya. Tapi, bila permohonan Sengkon dan Karta
tak cukup meyakinkan, Mahkamah Agung akan menolaknya dengan
disertai pertimbangan yang layak.
Itulah upaya hukum baru. Mahkamah Agung memang mengeluarkan
peraturan tentang Peninjauan Kembali Putusan Yang Telah
Memperoleh Kekuatan (Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 1980)
yang mulai berlaku 1 Desember. Peraturan tersebut oleh Ketua
Mahkamah Agung RI Prof. H. Oemar Seno Adji SH diantar dengan
sebuah Surat Edaran (SE No. 7/1980) kepada ktua-ketua pengadilan
bawahan.
Dalam SE tersebut tentu tidak disebut-sebut perihal Karta
dan Sengkon. Hanya "merupakan pelaksanaan pasal 21 UU No. 14
tahun 1970, tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman." Juga, ditambahkan, "merupakan upaya hukum yang
sangat diperlukan dalam kehidupan hukum, walaupun merupakan
upaya hukum yang luar biasa sifatnya."
Ada yang bertanya Apakah peraturan tersebut juga berlaku
bagi perkara yang diputus pengadilan pada aman Belanda dan
pendudukan Jepang? Tak jelas, hal itu memang tak diatur. Yang
pasti, lembaga peninjauan kembali tersebut berlaku bagi perkara
pidana dan perdata .
Para ahli hukum memang mengharapkan berlakunya lembaga
peninjauan kembali putusan pengadilan yang sudah memperoleh
kekuatan tetap. Yaitu sebagai "upaya hukum keempat"--setelah
putusan pengadilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri, banding
di Pengadilan Tinggi dan kasasi oleh Mahkamah Agung. Tapi, bahwa
ketentuan tersebut berupa peraturan Mahkamah Agung, ternyata tak
begitu diharapkan. Ahli hukum memang tak mudah terbujuk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini