REMBULAN DAN MATAHARI
Sutradara/Skenario: Slamet Rahardjo
Pemain: Christine Sukandar, Djago Sasongko, Hasan Sanusi dan
Nungki Kusumastuti.
MITOS yang berkembang di Ponorogo, tempat para tokoh bermain,
mengilhami judul film itu. Konon Ponorogo berasal dari dua kata:
pramono yang dalam bahasa Jawa berarti matahari -- sumber cahaya
bagi rembulan dan seluruh kehidupan di bumi -- dan rogo yang
berarti badan wadag.
Film Rembulan dan Matahari diawali suara sayup orang mengaji,
lalu sebuah kompleks pelacuran di Jakarta hadir di layar.
Penggambarannya realistis. Lengkap dengan orang tawar-menawar,
lalulalang para calo, lagu Rhoma Irama dan sejumlah orang
berjoged.
Beberapa pelacur malam itu sedang berkemas untuk berlebaran di
kampung masing-masing. Di tengah kesibukan itu, seseorang
berkerudung sarung menyikat kalung Paitun (Christine Sukandar).
Pelacur itu berteriak. Si maling tertangkap. Ternyata ia
datang dari kalangan mereka sendiri.
Di tangan Slamet Rahardjo, si maling diselamatkan dan dibiarkan
tetap tinggal menjadi bagia dari masyarakatnya. Bahkan maling
itu sempat diberi uang, ditraktir minum dan tertawa-tawa. Sikap
semacam itu mewarnai keseluruhan film Slamet yang pertama ini.
Di desa, seorang ila (Kies Slamet) dibiarkan menjadi milik
masyarakatnya. Ia menjadi semacam tokoh Petruk dalam pewayangan
yang sering memberikan citra hidup yang luhur dengan cara
sederhana.
Pelacur Paitun menyusul Wong Bagus (Djago Sasongko) pacarnya,
ke desa itu. Seolah ia tidak mengacaukan nilai moral yang
berlaku. Justru Wong Bagus sendiri yang malu. Padahal ia sendiri
tak bersih.
Wong Bagus penah menghamili Wong Ayu (Nungki Kusumastuti) yang
dicintainya. Guru kebatinannya (Sardono W. Kusumo) menanggap
hal itu sebagai pelanggaran Si Guru menggasak muridnya dan
menyuruhnya minggat.
Tujuh tahun lamanya Wong Bagus mengembara sampai akhirnya ia
jadi centeng di kompleks pelacuran dan mengenal Paitun. Ketika
ia kembali, desanya sudah banyak berubah. Wong Ayu sudah kawin
dengan lelaki lain. Gombloh -- benih Wong Bagus -- sudah menjadi
anak yang cukup bengal. Gurunya sudah mati. Sengkuni (Henky
Solaiman) dan komplotannya makin mencekik kehidupan di desa itu.
Wong Bagus diangkat menjadi Jagabaya (petugas keamanan) desa,
lalu menggasak komplotan Sengkuni. Di akhir film, dengan long
shot beberapa mobil colt memasuki desa itu lagi dan anak-anak
kecil berlari bersorak-sorai.
Dewan Juri FFI '80 yang telah memberikan 3 Citra untuk film ini
(tata artistik, pemeran pembantu wanita dan pria), sempat
mempertanyakan akhiran yang kurang memberi penegasan itu. Apakah
Slamet menyetujui modernisasi sebagai jalan keluar atau tidak?
Tapi pada banyak hal, sebetulnya Slamet juga kurang tegas
bersikap. Ia bisa membiarkan maling, pelacur, penindas, menjadi
bagian dari kehidupan masyarakat. Tapi ia tidak bisa menerima
perbuatan Wong Bagus bercintaan dengan Wong Ayu.
Kejelasan, dalam banyak hal, sulit ditangkap dalam film ini.
Sehingga penonton, yang ingin mencari ceritanya, cukup sulit
merangkai-rangkaikan adegan demi adegan yang lewat di layar.
Namun secara sendiri-sendiri, secara fragmentaris, adegan-adegan
itu berhasil dihidupkan dengan baik. Masyarakat desa, alam
kanak-kanak, suasana-suasana, muncul dengan kuat. Setidaknya
untuk hal ini Slamet boleh dipuji.
Yudhistira A.N.M. Massardi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini