Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Endang Wijaya Dan Laksusda & 'Mafia'

Latar belakang tindakan laksusda terhadap penangkapan & penahanan endang wijaya. laksusda menyebut soal "mafia peradilan" dan tindakan laksusda anas malik untuk mengopstib badan peradilan.

10 Mei 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ENDANG WIJAYA ditangkap kembali. Ini berpangkal dari semacam "tuntutan keadilan" dari seseorang melalui sebuah surat kaleng. Dan setelah "info gelap" tersebut dikembangkan terungkaplah kisah penahanan luar tertuduh perkara Pluit itu. Berdiri dari kursi-terdakwa selesai sidang lanjutan perkara itu 24 April lalu, Endang Wijaya meninggalkan ruang pengadilan tanpa pengawalan yang menyolok, tidak seperti lazimnya seorang tertuduh perkara subversi & korupsi yang diancam hukuman mati. Begitu pula waktu ia meninggalkan gedung pengadilan di Jalan Gajahmada Jakarta dengan mobil pribadi. Merasa ada yang memata-matai perjalanannya dikiranya ada wartawan yang iseng mengikutinya, katanya kemudian kepada petugas Laksusda Jaya -- EW memerintahkan sopir mobilnya mengambil jalan putar. Melalui Senayan, Kuningan kemudian ke sebuah rumah kontrakan di Jalan Kusumaatmadja 79, Jakarta Pusat. Di situlah pesakitan yang kini nampak kurus dan lemah itu tinggal. Penyuap Besar Sorenya Laksusda mengerahkan Operasi Sabet menjemputnya. Pengawal, petugas dari Kejaksaan Agung yang menjaga rumah itu mencoba mempertahankan EW sambil menunjukkan sebuah surat penetapan pengadilan yang mengizinkan tertuduh itu tinggal di situ. Terjadi ketegangan. Tapi tak lama kemudian perintah Panglima Mayjen. Norman Sasono mengatasi semuanya: Endang Wijaya dengan pengawalnya harus dibawa ke Laksusda. Bereslah. Tinggal lagi Laksusda menghadapi kecaman: tindakan Laksusda itu mencampuri wewenang pengadilan dan melanggar hukum. Sebab EW sepenuhnya sedang di bawah kekuasaan pengadilan. Untuk mengutiknya harus seizin pengadilan. Sedangkan penahanan dan penempatannya -- seperti di rumah kontrakan Jalan Kusumaatmadja itu -- sepenuhnya juga tanggungjawab pengadilan. Laksusda Jaya bukannya tak paham peraturan itu. Secara yuridis, diakui Anas Malik, Kepala Penerangan Laksusda Jaya, tindakan Laksusda memang salah. Tapi apa boleh buat, pertimbangan "keamanan" dan upaya "menyelamatkan citra penegak hukum" dalam kasus itu lebih penting, kata Anas. Ada sesuatu yang tak beres? Anas Malik hanya bisa mengatakan Endang Wijaya penyuap besar --tanpa menyebutkan siapa-siapa yang kena sogok. Namun sumber TEMPO yang lain di Laksusda menyebutkan: tindakan Laksus adalah untuk "mengopstib" badan peradilan. Sebab, katanya, "yang namanya mafia-peradilan itu bukan sekedar omong-kosong". Dan selama ini Opstib sulit menembus hal itu. "Kelonggaran" dari pengadilan terhadap EW mula-mula seperti ditutupi. Mulanya ia diizinkan tinggal di rumahsakit untuk perawatan sakit lever yang kronis. Akibatnya peradilannya berjalan seret. Begitu pula tak ada persidangan yang mengumumkan perihal "penahanan rumah" dan di mana Endang Wijaya menjalani masa penahanannya. Barulah, hampir pada sidang ke 75 -- setelah EW, yang dituntut hukuman penjara 17 tahun dan denda Rp 30 juta (untuk kejahatan subversi & korupsi), Operasi Sabet menemukannya di Jalan Kusumaatmadja 79. Kelonggaran demikianlah, menurut sumber di Laksusda, yang dianggap tak wajar. Apalagi kasus Pluit terungkap di mulai ketika Kopkamtib menangkap EW Desember 1977, yang dituduh menyembunyikan seorang buronan PKI. Dari buronan itulah Kopkamtib menemukan ketidakberesan usaha EW dalam menangani proyek pembangunan di Pluit (Jakarta Utara) yang merugikan keuangan negara sekitar Rp Z3 milyar dan "membobrokkan" beberapa pejabat pemerintah dengan berbagai macam penyuapan. Untuk semuanya itu Kopkamtib menggarap perkara EW menjadi perkara subversi dan korupsi. Di-Sabet Lagi? Itulah sebabnya Anas Malik, atas nama Laksusda, sekarang embira. "Sebagai tahanan kelas kakap." katanya, "EW sudah berada di tempat semestinya." Tapi setelah 4 hari berada dalam tahanan Laksusda, 29 April lalu EW diserahkan kembali ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, di Jalan Gajahmada. Dari situ, oleh petugas kejaksaan, tertuduh diantar ke rumahsakit (RSPAD Gatot Subroto) untuk kembali dirawat dokter. Setelah itu? Hakim Loudoe, salah seorang anggota majelis hakim yang mengadili Perkara Pluit, menyatakan tetap pada penetapannya: Endang Wijaya adalah tahanan pengadilan yang ditempatkan di Jalan Kusumaatmadja 79 di Jakarta Pusat. Walaupun Anas Malik "mengancam" akan men-Sabet-nya kembali bila ternyata EW ditahan di tempat yang tidak semestinya. Jaksa Agung Ali Said, yang bertanggungjawab terhadap tahanan pengadilan seperti EW itu, cuma angkat bahu: "Mau diubah tempatnya terserah, mau ditahan di tempat semula terserah, mau disabet lagi juga terserah . . . ! "

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus