ENDANG WIJAYA ditangkap kembali. Ini berpangkal dari semacam
"tuntutan keadilan" dari seseorang melalui sebuah surat kaleng.
Dan setelah "info gelap" tersebut dikembangkan terungkaplah
kisah penahanan luar tertuduh perkara Pluit itu.
Berdiri dari kursi-terdakwa selesai sidang lanjutan perkara itu
24 April lalu, Endang Wijaya meninggalkan ruang pengadilan tanpa
pengawalan yang menyolok, tidak seperti lazimnya seorang
tertuduh perkara subversi & korupsi yang diancam hukuman mati.
Begitu pula waktu ia meninggalkan gedung pengadilan di Jalan
Gajahmada Jakarta dengan mobil pribadi. Merasa ada yang
memata-matai perjalanannya dikiranya ada wartawan yang iseng
mengikutinya, katanya kemudian kepada petugas Laksusda Jaya --
EW memerintahkan sopir mobilnya mengambil jalan putar. Melalui
Senayan, Kuningan kemudian ke sebuah rumah kontrakan di Jalan
Kusumaatmadja 79, Jakarta Pusat. Di situlah pesakitan yang kini
nampak kurus dan lemah itu tinggal.
Penyuap Besar
Sorenya Laksusda mengerahkan Operasi Sabet menjemputnya.
Pengawal, petugas dari Kejaksaan Agung yang menjaga rumah itu
mencoba mempertahankan EW sambil menunjukkan sebuah surat
penetapan pengadilan yang mengizinkan tertuduh itu tinggal di
situ. Terjadi ketegangan. Tapi tak lama kemudian perintah
Panglima Mayjen. Norman Sasono mengatasi semuanya: Endang Wijaya
dengan pengawalnya harus dibawa ke Laksusda.
Bereslah. Tinggal lagi Laksusda menghadapi kecaman: tindakan
Laksusda itu mencampuri wewenang pengadilan dan melanggar hukum.
Sebab EW sepenuhnya sedang di bawah kekuasaan pengadilan. Untuk
mengutiknya harus seizin pengadilan. Sedangkan penahanan dan
penempatannya -- seperti di rumah kontrakan Jalan Kusumaatmadja
itu -- sepenuhnya juga tanggungjawab pengadilan.
Laksusda Jaya bukannya tak paham peraturan itu. Secara yuridis,
diakui Anas Malik, Kepala Penerangan Laksusda Jaya, tindakan
Laksusda memang salah. Tapi apa boleh buat, pertimbangan
"keamanan" dan upaya "menyelamatkan citra penegak hukum" dalam
kasus itu lebih penting, kata Anas.
Ada sesuatu yang tak beres?
Anas Malik hanya bisa mengatakan Endang Wijaya penyuap besar
--tanpa menyebutkan siapa-siapa yang kena sogok. Namun sumber
TEMPO yang lain di Laksusda menyebutkan: tindakan Laksus adalah
untuk "mengopstib" badan peradilan. Sebab, katanya, "yang
namanya mafia-peradilan itu bukan sekedar omong-kosong". Dan
selama ini Opstib sulit menembus hal itu.
"Kelonggaran" dari pengadilan terhadap EW mula-mula seperti
ditutupi. Mulanya ia diizinkan tinggal di rumahsakit untuk
perawatan sakit lever yang kronis. Akibatnya peradilannya
berjalan seret. Begitu pula tak ada persidangan yang mengumumkan
perihal "penahanan rumah" dan di mana Endang Wijaya menjalani
masa penahanannya. Barulah, hampir pada sidang ke 75 -- setelah
EW, yang dituntut hukuman penjara 17 tahun dan denda Rp 30 juta
(untuk kejahatan subversi & korupsi), Operasi Sabet menemukannya
di Jalan Kusumaatmadja 79.
Kelonggaran demikianlah, menurut sumber di Laksusda, yang
dianggap tak wajar. Apalagi kasus Pluit terungkap di mulai
ketika Kopkamtib menangkap EW Desember 1977, yang dituduh
menyembunyikan seorang buronan PKI. Dari buronan itulah
Kopkamtib menemukan ketidakberesan usaha EW dalam menangani
proyek pembangunan di Pluit (Jakarta Utara) yang merugikan
keuangan negara sekitar Rp Z3 milyar dan "membobrokkan" beberapa
pejabat pemerintah dengan berbagai macam penyuapan. Untuk
semuanya itu Kopkamtib menggarap perkara EW menjadi perkara
subversi dan korupsi.
Di-Sabet Lagi?
Itulah sebabnya Anas Malik, atas nama Laksusda, sekarang
embira. "Sebagai tahanan kelas kakap." katanya, "EW sudah
berada di tempat semestinya." Tapi setelah 4 hari berada dalam
tahanan Laksusda, 29 April lalu EW diserahkan kembali ke
Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, di Jalan Gajahmada. Dari situ,
oleh petugas kejaksaan, tertuduh diantar ke rumahsakit (RSPAD
Gatot Subroto) untuk kembali dirawat dokter.
Setelah itu? Hakim Loudoe, salah seorang anggota majelis hakim
yang mengadili Perkara Pluit, menyatakan tetap pada
penetapannya: Endang Wijaya adalah tahanan pengadilan yang
ditempatkan di Jalan Kusumaatmadja 79 di Jakarta Pusat. Walaupun
Anas Malik "mengancam" akan men-Sabet-nya kembali bila ternyata
EW ditahan di tempat yang tidak semestinya.
Jaksa Agung Ali Said, yang bertanggungjawab terhadap tahanan
pengadilan seperti EW itu, cuma angkat bahu: "Mau diubah
tempatnya terserah, mau ditahan di tempat semula terserah, mau
disabet lagi juga terserah . . . ! "
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini