HITCHCOCK bukanlah makhluk Hollywood. Tapi bukan pula bagian
aneh dari kerajaan film itu.
Sutradara yang dilahirkan di pinggiran London di tahun 1889 dan
meninggal di Hollywood pekan lalu ini pada mulanya hanya nampak
unik karena satu hal: dialah satu-satunya sutradara Amerika yang
wajahnya dikenal (dan bisa dikenang) jutaan penonton. Serba
bulat bak manusia telur dalam cerita khayal Mandrake, tampang
itu suka lewat sebentar dalam film yang disutradarainya. Salah
satu selingan waktu menonton film Hitchcock adalah menebak di
adegan mana sang sutradara tadi lewat.
Itu mungkin keisengan Hitchcock. Tapi mungkin juga cerminan
kehendaknya untuk meletakkan stempel diri. Sutradara-sutradara
Hollywood umumnya tak dikenal sebagai ego yang mau nongol,
betapa pun dia seorang diktatur di tepi set. Sebab bagi
khalayak pejabat ini bukanlah orang penting, setidaknya tak
sepenting Marilyn Monroe atau pun Rock Hudson. Dan bagi studio,
terutama di Hollywood beberapa puluh tahun yang lalu, sutradara
hanyalah pengarah. "Sayalah yang membikin Wuthering Heights, "
teriak cukong Samuel Goldwyn, "[William] Wyler hanya
menyutradarainya."
Tapi Alfred Hitchcock tidak bisa dibilang hanya menyutradarai,
dalam arti sekedar "mengarahkan". Ia secara terus terang selalu
memperlakukan para bintang sebagai ternak -- biarpun ternak itu
terdiri dari antara lain Grace Kelly (kini permaisuri Raja
Monaco). Ia juga seorang yang ingin mengatur film sejak mula,
sejak skenario ditulis.
"Mengerjakan skrip adalah pembuatan film itu sebenarnya,"
katanya. Jika skenario yang direncanakan secara terperinci
selesai, "filmnya berarti sudah rampung dalam kepala saya."
Tak banyak kritisi menganggap penting ucapan Hitchcock ini,
meskipun kalimat itu sudah muncul di tahun 1937. Para kritisi
--kebanyakan para penulis -- cenderung mengira bahwa para
sutradara hanyalah dekorator bagi karya orang lain. Hanya di
Prancis, kritisi seperti Andre Bazin menyebut sutradara bukan
sebagai pengarah (director), tapi pengarang (auteur).
"Gelombang Baru"
Maka bukan kebetulan bila kritisi Prancis pula yang kemudian
menghormat Hitchcock. Francois Truffaut, mula-mula kritikus,
kemudian sutradara juga, datang kepadanya seperti murid datang
kepada sang guru. Para komentator film Amerika, yang mulai
berbicara tentang film dengan gaya tinggi dan "ilmiah", lazimnya
menerima Hitchcock sebagai sekedar penghibur yang pintar. Tapi
pengaruh orang seperti Truffau t serta para sineas awal tahun
1960-an agaknya besar dalam menilai Hitchcock kembali. Dengan
lebih hormat.
Tak heran bila kini, seperti dikatakan Andrew Sarris, "sudah
mungkin untuk berbicara tentang Alfred Hitchcock dan
Michelangelo Antonioni dalam satu napas, dan dengan peristilahan
kritisi yang sama." Tapi kenapa justru Hitchcock? Adakah karena
orang lebih ingat Vertigo sebagai filmnya dan bukan film Kim
Novak, Rear Window dan The Man Who Knew Too Much sebagai
filmnya dan bukan film James Stewart?
Truffaut, dengan politique des auteurs-nya, mengatakan bahwa tak
ada film buruk dan film baik yang ada adalah sutradara buruk dan
sutradara baik.
Mungkin ini dalah ungkapan yang agak berlebihan. Tapi agaknya
kita akan setuju bila Hitchcock membuat film yang jelek itu
hanyalah karena kebetulan: filmnya Topaz, berdasarkan novel Leon
Uris, yang tak layak diingat, bisa dilupakan. Lalu sebut
karyanya yang lain -- North By Northwest? To Catch A Thief? The
Birds? --maka kita akan tahu bahwa dalam hal Hitchcock tak ada
film yang buruk. Yang ada hanyalah sutradara yang baik.
Bukan karena dia tampil sebagai seorang seniman atau
intelektual. Bukan karena dia datang dengan semangat "pembaru"
dan karena itu mencoba mengejutkan khalayak tapi minta didiamkan
bila ada kecerobohan teknis.
Hitchcock pernah mengatakan bahwa dalam filmnya seperti Vertigo
plot hanyalah soal kedua. Tapi ia mengatakan itu hanya hendak
mengecam kritisi yang mendesakkan logika. "Saya selalu
mengatakan logika itu membosankan," katanya. Maka ia pun kembali
kepada film sebagai bagian dari ilusi, sebagian dari fantasi --
dan untuk bisa meyakinkan, kuncinya adalah. teknik.
Tapi "teknik" tak berarti kepintaran set, ketrampilan kamera,
kehebatan pemrosesan. Di atas semua itu, teknik, seperti
dikatakannya, adalah "teknik mengisahkan cerita". Dan siapa pun
yang pernah mencoba menulis atau memfilmkan cerita detektif,
siapa pun yang ingin memelihara dan mengatur suspens, keahlian
berkisah adalah ujian utama. Yang lain soal berikutnya.
Banyak seniman dan intelektual mungkin mencemoohkan ini. Mereka
lebih menyukai cerita "berbobot" tapi sebenarnya tak menarik
atau ruwet. Tapi jika anda menyukai film-film Hitchcock, yang
berhasil membuat ketegangan secara mengesankan terus-menerus,
(sejak 1929, dengan Blackmail), anda pasti setuju bahwa sebuah
film boleh saja membawa pesan, tapi jelas tak boleh mencapekkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini