Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Penelitian Universitas Airlangga mendapati pemerintah menggambarkan Papua dengan penuh stereotipe dan prasangka yang cenderung rasisme dalam buku teks sekolah dasar.
Dalam buku teks Tematik Terpadu kelas 3, misalnya, Edo dari Papua digambarkan sebagai anak yang malas, kotor, dan lebih mengandalkan kekuatan fisik.
Buku teks pelajaran termasuk alat ideologisasi negara atau Ideological State Apparatus.
SALAH satu persoalan penting di Papua adalah pendidikan. Banyak tulisan menunjukkan bagaimana Papua masih menghadapi tingginya angka buta huruf, minimnya inovasi pembelajaran, rendahnya kualitas guru, kurangnya sarana-prasarana pendukung, dan lemahnya pengelolaan beasiswa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain menjumpai persoalan di atas, Papua menghadapi minimnya usaha negara untuk memahami budaya dan kondisi sosial masyarakat Papua. Buktinya, penggambaran Papua dalam buku teks di sekolah dasar masih didominasi cara pandang yang tidak lengkap dan abai terhadap konteks sosial.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Riset kami pada 2024 menunjukkan bagaimana negara menggambarkan Papua dengan penuh stereotipe dan prasangka, sehingga cenderung rasis, dalam gambar dan tulisan di buku teks sekolah dasar tematik terpadu kurikulum 2013.
Representasi Etnis dalam Buku Teks
Dibanding buku teks sebelumnya, buku teks kurikulum 2013 lebih memperhatikan aspek representasi kedaerahan. Nama-nama yang digunakan, contohnya, bukan lagi Budi dan Ani seperti buku pada masa Orde Baru. Munculnya figur Udin (Sumatera), Edo (Papua), Lani (Tionghoa), Siti (Jawa), Dayu (Bali), dan lainnya adalah contoh bahwa negara mulai sadar akan representasi Indonesia yang beragam. Hal ini dikonfirmasi langsung oleh pemerintah, tak lama setelah buku tersebut diterbitkan.
Karakteristik biologis dan atribut kultural yang menempel pada nama sering menjadi penanda etnis. Contohnya nama Edo yang diasosiasikan dengan nama Papua.
Masalahnya, buku ajar di sekolah adalah Ideological State Apparatus (ISA), yaitu alat ideologisasi negara yang bekerja secara kuat dan masif. Dalam konteks tulisan ini, negara menggunakan buku sebagai alat ideologisasi (menanamkan dan memperkuat identitas tertentu)
Melalui buku teks sekolah, praktik ideologisasi oleh negara menyebar. Cara pandang ideal menurut negara diwujudkan melalui isi buku. Negara, melalui kementerian yang menangani pendidikan, mempunyai otoritas untuk mengontrol hingga menyensor konten dan sebaran buku teks sekolah.
Ketika buku tersebut menyebar dan diajarkan kepada siswa, proses ideologisasi berjalan. Praktik ini bekerja secara personal, cenderung halus, dan bahkan simbolik sehingga tidak disadari.
Siswa sekolah dasar di Jayapura, Papua. Antara/HO-Dok. Sakti
Penggambaran atas Papua yang Stereotipikal
Dalam konteks identitas Papua, cara negara memposisikan Papua dalam buku teks masih diskriminatif. Hasil studi kami menunjukkan bahwa representasi Papua masih penuh stereotipe, baik itu dalam hal visual maupun narasi.
Ambil contoh sosok Edo. Ia digambarkan sebagai pribadi yang malas, kotor, dan lebih mengandalkan kekuatan fisik. Ini berbeda dengan figur Udin—sebagai representasi orang Sumatera—yang digambarkan lebih rajin dan cenderung menjaga kebersihan.
Selain representasi Papua yang penuh stereotipe, cara pandang Papua terhadap negara digambarkan dari sudut pandang pemerintah yang penuh prasangka. Beberapa teks menunjukkan bahwa pemerintah menganggap orang Papua kurang memiliki jiwa nasionalisme.
“Edo harus mencintai negaranya. Edo belum banyak tahu tentang Indonesia. Ia berusaha mengenal Indonesia. Ia banyak membaca buku tentang Indonesia. Ia berwisata ke berbagai tempat. Ia mengunjungi museum. Ia menggunakan barang buatan Indonesia. Edo sangat bangga menjadi orang Indonesia.” (Dalam buku kelas III, halaman 174)
Narasi di atas menggambarkan bagaimana Edo tidak mempunyai pengetahuan yang cukup tentang Indonesia. Ini menegaskan prasangka negara atas Papua yang dianggap, seolah-olah, tidak mempunyai jiwa nasionalisme.
Selain persoalan nasionalisme, anggapan bahwa orang Papua masih terbelakang begitu kuat. Beberapa visual dan teks menggambarkan bahwa mereka memiliki tingkat pengetahuan minim dan terbelakang. Penggambaran ini merupakan salah satu bentuk rasisme.
Siswa sekolah dasar membaca buku di pustaka mini Bale Buku Meleduk 75, Kramat Jati, Jakarta, Januari 2022. Dok. Tempo/Hilman Fathurrahman W
Sejarah Panjang Papua
Representasi ras dalam buku teks sekolah merupakan hasil dari proses sejarah dan konstruksi politik yang panjang.
Dalam buku teks kurikulum 2013, Jawa dan beberapa ras lain digambarkan memegang kendali dalam menafsirkan suatu peristiwa. Sedangkan Papua digambarkan lebih rendah posisinya atau sebagai "liyan"—konsep yang menempatkan Papua secara berbeda dan tidak berhubungan dengan etnis dominan. Liyan cenderung mengalami diskriminasi dan peminggiran (dikucilkan).
Kondisi tersebut tidak lepas dari rekam sejarah yang terjadi di Papua. Relasi Papua dan Jawa terkait erat dengan pola kolonialisme. Kolonialisme yang saya maksud adalah sebuah praktik kuasa antarwilayah atau kolonialisme internal.
Ini adalah kondisi ketika kelompok-kelompok dan kelas-kelas dominan di negara-negara berkembang memainkan peran yang sama dengan yang dimainkan oleh negara-negara kolonial sebelumnya. Kolonialisme internal adalah efek dari tidak meratanya pembangunan ekonomi pada basis regional dengan eksploitasi kelompok mayoritas kepada minoritas dalam masyarakat yang lebih luas dan mengarah pada ketidaksetaraan politik serta ekonomi antardaerah dalam suatu negara.
Dalam sejarah Indonesia, Papua adalah wilayah yang sering kali menghadapi persoalan kekerasan, ketidakadilan, dan diskriminasi. Papua, yang dianggap terbelakang tapi mempunyai sumber daya alam yang melimpah, kerap menjadi medan konflik yang pelik, rumit, dan tidak berkesudahan.
Parahnya, kita kadang tidak menyadari bahwa ada yang salah dengan cara negara memposisikan Papua, termasuk dalam buku teks. Kita tidak pernah merasa bahwa teks keseharian yang kita lihat penuh dengan stereotipe dan prasangka. Pendidikan yang seharusnya menjadi arena yang memperjuangkan kesetaraan justru menormalkan pola pikir diskriminatif.
Persoalan representasi buku ajar sekolah yang rasis dan diskriminatif adalah masalah serius bagi pendidikan kita. Sebab, Indonesia adalah rumah bagi semua etnis, agama, ras, suku, dan identitas lain. Negara harus meninjau kembali teks buku ajar yang beredar dan memastikan bahwa bacaan anak Indonesia penuh dengan nilai-nilai toleransi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Artikel ini sebelumnya terbit di The Conversation Indonesia dengan judul "Riset: Buku Teks Sekolah Dasar Terbitan Pemerintah Cenderung Rasis dan Penuh Stereotipe".