Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Refleksi aneka masalah

Penulis : kh ahmad azhar basyir bandung: mizan, 1993 resensi oleh : m dawam rahadjo

11 Desember 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SALAH satu perbedaan antara ulama NU dan Muhammadiyah adalah, yang pertama lebih banyak mengajar di pesantren dan kurang menulis, sedangkan yang kedua lebih banyak bertablig atau berceramah dan menulis. K.H. Ahmad Azhar Basyir, M.A. yang lulusan Universitas Kairo, Mesir, itu adalah salah seorang contoh kiai yang menulis. Sebelum terpilih menjadi Ketua PP Muhammadiyah 1990, ulama berusia 65 tahun itu telah banyak menghasilkan buku, termasuk Garis-Garis Besar Sistem Ekonomi Islam. Ia tak mengajar di pesantren, melainkan di UGM dan Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Buku Refleksi ini merupakan kumpulan makalahnya tentang aneka masalah. Sebagian, terutama tulisan mengenai filsafat, adalah bahan kuliah di UGM dan UII. Dari buku ini dapat diketahui pandangannya tentang filsafat, termasuk aliran Mu'tazilah, yang akhir-akhir ini dihujat oleh kalangan Dewan Da'wah Islam Indonesia. Sikap empati Azhar tercermin dalam karangannya yang pertama, ''Filsafat Islam: Sejarah, Persoalan, dan Urgensinya''. Dalam definisinya, filsafat Islam adalah ''pemikiran rasional, kritis, sistematis, dan radikal tentang aspek-aspek ajaran Islam''. Hanya saja, pada zaman Nabi Muhammad, ketika wahyu masih belum berhenti turun, penggunaan penalaran rasional dalam memahami ajaran Islam memang belum banyak dilakukan. Tapi kemudian banyak dijumpai masalah yang tak ada atau kurang jelas petunjuk nasnya. Terhadap inilah timbul upaya penalaran, misalnya tentang prinsip-prinsip pemilihan pemimpin dan kepemimpinan (imamah). Filsafat Islam dimulai dengan perdebatan di sekitar politik. Sejalan dengan pandangan dasarnya itu Azhar juga sangat menghargai kelompok Mu'tazilah sebagai ''aliran rasionalisme dalam filsafat Islam''. Azhar menonjolkan ciri-ciri positif aliran ini sebagai ''kaum pendukung keadilan dan ke-Esa-an Allah'' sekalipun banyak yang tak setuju. Azhar juga membahas berbagai paham Mu'tazilah seperti mengenai tauhid, keadilan, doktrin amar ma'ruf nahi munkar, filsafat politik, kosmologi, hukum alam, antropologi, epistimologi, dan etika yang agaknya sejalan dengan paham Muhammadiyah. Sungguhpun begitu, ia tak lupa menganjurkan sikap kritis terhadap pendapat berlebihan kaum Mu'tazilah, misalnya mendudukkan peranan akal yang sangat tinggi. Pendapatnya mengenai Negara Islam juga perlu disimak. Ia mengatakan bahwa tak ada satu ayat Quran dan Sunah Rasul pun yang dengan jelas memerintahkan didirikannya negara, apalagi dengan predikat ''negara Islam''. Pengertian ini adalah hasil pemikiran kaum fukaha (ahli fikih). Hasil pemikiran ini menyimpulkan bahwa syariat Islam menuntut adanya negara bagi umat Islam demi terlaksananya ajaran Islam dalam masyarakat. Umat Islam di Indonesia yang telah memiliki negara republik berdasar falsafah Pancasila dan UUD 1945, yang antara lain menganut sila Ketuhanan Yang Maha Esa, tak lagi memerlukan bentuk negara lain. Pelaksanaan ajaran Islam, seperti UU Perkawinan (1974), dan UU Peradilan Agama (1989), ternyata bisa diperjuangkan lewat proses demokrasi. Pandangannya mengenai negara dan negara Islam merupakan kunci ke arah pandangan yang lebih luas, umpamanya tentang kedudukan dan peranan hukum Islam. Sumber ajaran Islam, dalam pandangan Azhar, sudah tentu adalah Quran dan Sunah. Akal diperlukan untuk mendalaminya. Lebih tegasnya, menurut Azhar, ''hanya dengan nas-nas Quran dan Sunah saja, banyak persoalan yang tak mungkin terpecahkan''. Karena itu, hukum Islam itu tak hanya diperoleh melalui ketentuan nas, melainkan juga lewat ijtihad. Banyak metode ijtihad dikembangkan, misalnya qiyas (analogi), istishlah (pragmatis), istihsan (mempertimbangkan segi-segi kebaikannya yang lebih umum), dan istishad (pengukuhan terhadap adat atau 'urf). Dalam argumentasinya, Azhar meyakini adanya kaitan antara hukum dan realitas sosial pada saat nas diturunkan. Beberapa nas hukum mencerminkan realitas sosial di tempat dan pada saat nas ditetapkan. Karena itu, ''jika suatu ketentuan hukum berkaitan dengan realitas sosial yang tak merata dialami oleh umat manusia di tempat lain,'' katanya memberikan kesimpulan, ''maka berlakunya ketentuan hukum itu juga tak bersifat umum, meskipun tercantum dalam nas Quran dan Sunah.'' Beberapa kasus baru yang menimbulkan persoalan fikih yang dibahas dalam bukunya antara lain asuransi jiwa, transplantasi organ tubuh, operasi penegasan kelamin, dan aborsi. Ia juga membahas masalah ekonomi, bunga modal, laba usaha, kedudukan harta, serta upah. Buku ini diakhiri anjuran kerja sama antara NU yang mengutamakan tali persatuan dan Muhammadiyah yang lebih menekankan doktrin amar ma'ruf nahi munkar. M. Dawam Rarhadjo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus