PENDIDIKAN SEBAGAI PRAKTEK PEMBEBASAN Oleh: Prof. Dr. Pauolo Freire Penerbit: PT Gramedia, Jakarta, 1984, 157 halaman SEBUAH kursus kelompok belajar Paket A diselenggarakan untuk pembantu rumah tangga dan tukang kebun di Menteng, Jakarta. Konon, untuk meningkatkan harga diri para peserta kursu (TEMPO II Desember 1982, Pendidikan). Maka itu, buah pikiran Pauolo Freire dalam buku ini tak sepenuhnya barang baru di Indonesia. Tapi baru dia yang secara eksplisit merumuskan kohsep praktek pendidikan yang dllakukannya. Pemberantasan buta huruf bagi Freire, 63 tak hanya membuat peserta melek huruf. Tapi, lebih jauh dari itu, membuat mereka mampu "berkomunikasi secara tertulis". Tugas seorang guru pemberantasan buta huruf, menurut Frcire, yakni: "Memasuki dialog dengan orang-orang buta huruf mengenai situasi mereka yang kongkret dan menyediakan perangkat bagi mereka agar mereka dapat mengajar diri sendiri . . ." (halaman 48). Titik tolak pandangan Freire sebenarnya memberikan kail, bukan ikan. Dan "kail" di situ bukan cuma untuk memancing bagaimana "membaca dan menulis", tapi juga buat hidup, untuk Iebih menyadarkan siapa sebenarnya mereka sebagai warga sebuah negara. Atau, dalam kata-kata Freire, pendidikan buta huruf sebenarnya untuk menyadarkan para peserta sebagai "pencipta kebudayaan dengan menyimgkapkan diri sebagai sederajat dengan orang-orang yang tidak buta huruf". Hasil yang dicatat Freire, doktor sejarah dan falsafah pendidikan asal Brazil, para pembuat belanga tanah liat di desa-desa Brazil - yang sebelumnya selalu merasa rendah diri bila berhadapan dengan orang kota kemudian merasa bahwa mereka berkarya sederajat dengan pematung atau penulis terkenal senegaranya. Tentu kata-kata itu kedengaran berlebihan. Tapi apakah hakikat pendidikan untuk orang dewasa yang buta huruf dan pendidikan formal di sekolah-sekolah tidak seperti itu? Bukankah pendidikan tak hanya membuat seseorang terampil melakukan sesuatu, melainkan luga membuat seseorang sadar akan harga dirinya? Kelas kemudian bukanlah kelas dalam arti tradisional, yakni seorang guru menjejalkan apa yang diketahuinya kepada para siswanya. Tapi, kata Freire, sebuah kelas tempat guru dan mund mencari pengetahuan bersama-sama. Sesuatu yang kira-kira sudah berjalan di SD-SD di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat (TEMPO 8 September). Bagaimanapun, kehadiran buku ini yang merupakan terjemahan dua tulisan Freire - bermanfaat untuk lebih meyakinkan perlunya pendidikan yang bukan sekadar pengalihan fakta, data, dan pengetahuan teknis. Tapi, perlu dicatat, Freire mendapat nama bukan karena dua tulisan ini (yang dipublikasikan pertama kali pada 1967 dan 1969). Karya Freire yang lebih penting adalah Pedagogy of the Oppressed (Pendidikan dari si Tertindas), yang dipublikasikan beberapa tahun sebelumnya. Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini