ONS LAATSTE OORLOGJE Oleh: John Jansen van Galen Penerbit: Van Holkema & Warendorf, Weesp, I9J84, 301 halaman SUATU pagi dua puluh tahun lalu, duta besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Howard Jones, tampak bergegas ke Istana Merdeka. Hari itu hari pertama tahun 1963, dan bendera Merah Putih baru saja menggantikan bendera Belanda di Irian Barat (sekarang: Irian Jaya). "Presiden," seru Jones kepada Presiden Soekarno di serambi Istana. "Revolusi Anda telah selesai !" Tapi Soekarno justru termenung. Ia tak menyambut ucapan itu dengan bersemangat seperti semula diduga Jones. "Saya sadar, ia kehilangan masalah Irian Barat," kata Jones mengenang. "Soekarno merebut suatu kemenangan, tapi kehilangan suatu pokok pertikaian." Suasana "murung" itu ternyata tak lama. Kurang dari satu tahun Soekarno sudah punya pokok pertikaian baru, tulis John Jansen van Galen dalam bukunya Ons Laatste Oorlogje (Perang-perangan Kita yang Terakhir?. Soekarno membangkitkan rakyat Indonesia berkonfrontasi dengan Malaysia. Begitulah penilaian Barat terhadap aspirasi politik Indonesla atas Irian Barat. Betulkah kita mempertaruhkan segalanya sekadar mempunyai pokok pertikaian sebagai pengalih perhatian dari situasl ekonomi dan sosial yang memburuk? Entahlah. Buku Van Galen tidak mencoba menjawab itu. Tapi Van Galen, redaktur surat kabar Haagsehe Post, menyajikan kepada kita suatu pemandangan baru. Pemandangan atas politik Belanda yang mempertahankan sebagian wilayah Indonesia melampaui batas waktu satu tahun yang disepakati pada Konperensi Meja Bundar di Den Haag, 1949. Apa motivasi Belanda mengangkangi Irian Barat selama 13 tahun? Kepentingan strategis? Kepentingan ekonomis? Satu-satunya usaha yang berarti, pengeboran minyak oleh Shell di Sorong, pada 1960 dihentikan. Jadi, apa? Motivasi yang kuat agaknya mempertahankan rasa kehormatan sejumlah pribadi Belanda. Keengganan mereka mengakui kenyataan untuk tunduk pada tokoh seperti Soekarno. Van Galen tidak berkhayal dalam menulis buku ini. Ia mempelajari sejumlah besar buku, artikel, dan guntingan surat kabar tentang masalah itu. Tapi sumber paling berbobot ialah notulen dewan menteri di aman itu, serta telegram antara Den Haag, Washington, dan New York. Di samping itu, wawancara dengan tokoh-tokoh, yang jumlahnya sekitar 60 orang, yang langsung terlibat dalam masalah Irian Barat, dan dua puluhan tahun kemudian bisa menilai kembali kebijaksanaan yang mereka, atau rekan-rekan mereka, buat. Ia juga tidak hanya mengajak kita ke ruang rapat para menteri, atau sidang rahasia parlemen, tapi sekaligus memperkenalkan kita kepada tokoh nasionalis Papua, seperti Jouwe, Kaisiepo, atau Bonay. Dengan bahasa sederhana dan memukau, Van Galen memunculkan semua tokoh itu secara plastis. Ia juga berkisah tentang para politisi Belanda, seperti Drees, Luns, Romme, Van Roijen, Bot, Klompe, yang bisa mempertahankan impian kosong mereka, karena didukung rakyat yang diperbodoh dan tidak mengetahui keadaan sebenarnya. Mungkin Amerika menyadari hal itu hingga mau berperan mendesak Belanda ke meja perundingan. Tapi, apa pertimbangan negara adidaya itu mendukung Indonesia? Tampaknya, semata-mata demi alasan pragmatis politis seperti terungkap dari tulisan Presiden John Kennedy kepada perdana menteri Belanda De Quay. "Jika tentara Indonesia terlibat peperangan dengan Belanda, unsur moderat di tentara dan negara itu pasti cepat rontok. Dan wilayah itu terbuka bagi intervensi komunis. Kalau Indonesia sempat menjadi komunis ini membahayakan posisi nonkomunis di Vietnam, Muangthai, dan Malaysia, dan di wilayah itu Amerika Serikat mempunyai tanggung jawab dan kewajiban yang besar," tulis Kennedy. Kennedy kemudian mendesak pemerintah Belanda mengadakan perundingan berdasarkan formula itu. Tapi rencana tersebut bagi Belanda seperti tamparan di muka, dan diterima sebagai pengingkaran janji oleh Sekutu. Rencana itu, menurut menlu Belanda (waktu itu) Luns, merupakan suatu "tindak pengkhianatan". Kendati demikian, tanpa jaminan dukungan militer Amerika, Belanda tak berani mengambil risiko perang dengan Indonesia, betapapun mereka enggan meninggalkan Irian Barat. Bagaikan roman kriminal Agatha Christie, buku Van Galen menyelusuri segi intrik politik dan latar belakang masalah Irian Barat, yang bagi kita di Indonesia juga masih sangat asing. Sayangnya, buku ini baru bisa di nikmati oleh mereka yang lancar berbahasa Belanda. Keumalahayati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini