Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Rehal-budiman s. hartoyo

Jakarta: inti idayu, 1984. (bk)

9 Februari 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MANUSIA SUNDA Oleh: Ayip Rosidi Penerbit: Inti Idayu Press, Jakarta, l984, 136 halaman INILAH sebuah telaah mengenai Sunda. Sayang, buku ini terlalu banyak merujuk pada buku Manusia Jawa karangan Marbangun Hardjowirogo yang notabene juga tidak terlalu mendalam. Ayip Rosidi mengakui menghadapi beberapa hambatan penulisannya, antara lain, karena tidak adaya center of excellenee kebudayaan Sunda, seperti halnya Solo dan Yogya bagi kebudayaan Jawa. Meskipun yang disebut "pusat kebudayaan Jawa" (yang cenderung dijadikan ukuran oleh orang-orang Jawa di daerah lain) itu masih perlu diperdebatkan kebenarannya. Tapi persamaan kebudayaan antara Sunda dan Jawa memang cukup banyak. Sebab, kawasan Pasundan pernah berada di bawah pengaruh Majapahit pada awal abad ke-16, dan pengaruh Mataram hampir seabad kemudian. Misalnya, roman-roman Sunda yang penting, seperti Manri Jero karangan Raden Memed Sastrahadiprawira dan Purnama Alam tulisan R. Suriadireja, menyampaikan pesan-pesan ajaran moral asal Jawa. Antara lain berbakti kepada guru, ratu, wong atuwo karo (guru, raja, kedua orangtua). Dalam sastra Sunda lama memang dikenal, misalnya, pupuh asmaradana asli Sunda) bcrjudul Pepeling (nasihat) ciptaan Patih Mangunreja Raden Arya Bratadiwijaya pada abad ke- 19. Namun, Ayip menyangsikan pengaruh Pepeling itu di kalangan orang Sunda, terutama generasi masa kini (halaman 9). Cuma yang jadi soal, sementara Wulangreh, Wedhotomo, Tripomo (karangan Paku Buwono IV dan Mangkunegara IV yang diilhami sastra kuno Ramayana dan Mahabarata), yang memuat dasar falsafah hidup yang utama, menawarkan ajaran moral ideal, seperti bersikap ksatria, mementingkan kepentingan umum (ngalah), tidak individualistis, dan tidak materialistis (cageur jeung bageur alias "sehat lahir batin dan berbudi luhur", kata orang Sunda), tapi sikap hidup orang Jawa sendiri ternyata tidak sesuai dengan gambaran tentang diri mereka itu. Tidak hanya di kota-kota, bahkan sekarang sifat guyub-rukun (gotong-royong) juga sudah mulai menipis di pedesaan. Gambaran yang ideal dan kenyataan di lapangan memang amat jarang yang klop. Barangkali demikian pula orang Sunda. Barangkali juga demikian golongan etnis lain. Seperti ditulis Ayip, "Alam pikiran manusia Sunda sekarang sudah dirasuki oleh berbagai paham dan ajaran yang beraneka ragam dalam kehidupan Indonesia merdeka, yang agaknya tidak lagi selalu cocok dengan nasihat-nasihat yang disampaikan oleh Bratadiwijaya" (halaman 9). Lantas apa pentingnya buku ini? Karena identitas manusia Sunda ditelaah bukan dari sudut pandang sosiologis-antropologis melainkan dengan mengambil tokoh-tokoh sastra lama dan baru, tampaknya buku ini tak lebih sebagai pelengkap studi mengenai masyarakat dan kebudayaan Sunda saja. Budiman S. Hartoyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus