MAJELIS hakim tak ragu sedikit pun bahwa bekas kapolres Aceh Tenggara dan tujuh anak buahnya serta seorang informan telah bermain api: memperdagangkan ganja. Pekan lalu, sidang koneksitas hakim ketuanya sipil, anggotanya militer di Pengadilan Negeri Medan itu menghukum Mayor Asril Azis, bekas kapolres Aceh Tenggara, 18 tahun penjara. Wakilnya, Mayor Suntoyo, kena 15 tahun, sama dengan yang diterima anggotanya, Lettu Zamzami Bakar. Lima anak buah Asril yang lain kena 10 tahun penjara. Hukuman untuk para anggota polisi itu masih ditambah denda Rp 5 juta per orang, subsider 6 bulan kurungan. Juga, mereka dipecat sebagai polisi. Adapun sang informan, Hamidan Pinem, diganjar 13 tahun penjara. Para terdakwa, menurut majelis hakim yang diketuai Hartomo, terbukti melanggar UU No 9/1976 tentang narkotik. Asril dan Suntoyo, kata Majelis, masuk kategori intellectuele dader - penggerak - dalam kasus itu. Sedangkan Zamzami dan lainnya adalah orang yang secara langsung membawa dan menawarkan ganja kepada calon pembeli di Medan. Ganja sebanyak 50 kg, kata Majelis lagi, sengaja dibawa dari Aceh Tenggara dan ditawarkan Rp 120 ribu per kg. Oleh Zamzami dan kawan-kawan, transaksi daun terlarang itu diatur rapi. Tempatnya ditentukan di guest house di Jalan Pattimura, Medan. Calon pembeli, seorang Cina dari Singapura yang bermiat menukar ganja dengan jenis morfin dan heroin, menyanggupi untuk datang pada dinihari 17 Februari 1984 lalu. Begitu transaksi terjadi, Zamzami dan kawan-kawan disergap. Sebabnya, tak lain cukong Cina yang berniat membeli ganja itu ternyata ... Letkol Sukardi, kepala Seksi Intelpam Polda Sumatera Utara. Polisi menangkap polisi. Zamzami, ketika itu, mengeluarkan sepucuk surat tugas yang ditandatangani Mayor Suntoyo, yang menyebutkan bahwa ganja yang dibawanya itu bukan untuk dijual, melainkan untuk kepentingan tugas. Ganja sebanyak setengah kuintal itu, kata Zamzami waktu diperiksa, sengaja dibawa karena mereka hendak memancing dan sekaligus menggulung sindikat narkotik di Medan. Kepada TEMPO, Mayor Asril, yang kini bertugas di Polda Aceh, menyatakan bahwa operasi anak buahnya sampai ke Medan sudah dilaporkan ke Polda Aceh. "Ini, saya masih menyimpan resi pengiriman interlokal pemberitahuan itu," katanya. Operasi semacam itu, kata Asril, merupakan kelanjutan operasi menumpas ladang ganja liar di pedalaman Aceh. Mabes Polri sendiri, katanya, yang memerintahkan agar jenis operasi dialihkan. Ibaratnya, karena buntut sudah dikuasai, maka perlu tindak lanjut menjangkau kepalanya. Pada akhir 1983, yang dilanjutkan tahun berikutnya, operasi ladang ganja di Aceh Tenggara memang berhasil. Ketika itu, lewat Operasi Taruna IV dan Taruna IV A, kata Asril, polisi Aceh Tenggara berhasil menemukan dan memusnahkan 60 hektar ladang ganja. Sebanyak 19 tersangka penanam ganja juga bisa diringkus. Saat menjadi kapolres, Asril memang dikenal sebagai perwira yang gigih memerangi narkotik. Maka, mendengar vonis hakim atas dirinya dan anak buahnya, Asril hanya bisa tersenyum hambar. Juga pembelanya, Letkol Zainal Arifin, tak kalah kecewa. Selain tak yakin kliennya mampu berbuat "gila", ia mempersoalkan pertimbangan putusan hakim yang menyitir UU No 9/1976, antara lain, bahwa berdasarkan UU itu narkotik hanya bisa dibeli, dibawa, atau dimiliki untuk keperluan pengobatan atau penelitian. Itu pun harus seizin menteri kesehatan. Zainal tak mengerti mengapa lembaga kepolisian - Polres Aceh Tenggara - harus dipersamakan dengan lembaga penelitian. "Klien saya membawa ganja untuk memancing sindikat narkotik. Bukan untuk tujuan ilmu pengetahuan," katanya. Zainal menyatakan bahwa Asril berpedoman kepada juklap (petunjuk lapangan) kapolri tentang "penyerahan narkotik yang dikendalikan". Tapi sumber TEMPO di Mabes Polri tak sependapat. Asril, katanya, bisa jadi memang berniat menggulung sindikat narkotik. Ketika itu, katanya, Asril sempat melaporkan rencananya ke Mabes Polri, dan disetujui. Syaratnya, operasi harus dengan cara undercover buy: petugas membawa sejumlah uang dan berpura-pura membeli - bukan menjual - narkotik. Setelah dilakukan pengetesan, dan narkotik yang disodorkan ternyata positif, si penjual langsung bisa ditangkap. Kalaupun mau barter - ganja ditukar morfin - Mabes Polri menyarankan untuk membawa ganja sedikit saja - taruhlah lima kilogram. Ternyata, "Saya kaget waktu yang dibawa petugas Aceh Tenggara itu sampai 50 kg. Lagi pula lokasinya kok di Medan," kata sumber itu. Dan untuk operasi di luar wilayah sendlri itu, mestinya meminta izin lebih dahulu yang ternyata tak dilakukan. Yang juga mengherankan, karena Zamzami, menurut sumber itu, bukan untuk pertama kali itu kepergok membawa ganja. "Tiga kali sudah ia kedapatan petugas di Medan membawa ganja," katanya lagi. Tentang juklap kapolri, sumber yang lain di Mabes Polri menyatakan, memang benar diatur soal penyerahan narkotik di bawah pengendalian. Tapi pengertiannya bukan seperti yang dilakukan petugas Aceh Tenggara. "Juklap itu hanya membenarkan petugas membawa narkotik milik si penjual yang akan disergap, dengan cara pura-pura menawarkan jasa untuk membawanya sampai ke tangan pembeli," katanya. Jadi, si polisi itu bukannya membawa ganja atau narkotik milik sendiri. Apa yang sesungguhnya terjadi dalam kasus "polisi menangkap polisi" itu, entahlah. Cerita mungkin masih bakal panjang karena para terdakwa langsung mengajukan banding begitu vonis dijatuhkan. Surasono Laporan Bersinar Lubis (Medan) dan Bunga Surawijaya (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini