Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Panggung dengan penataan seadanya itu dalam sekejap berubah laksana lantai dansa. Satu per satu, penonton beranjak dari tempat duduk ikut membaur dengan para penari dalam satu kegairahan. Mereka tenggelam dalam gerakan ritmis, tangan melenggang gemulai dengan kaki bergerak dalam tempo cepat dan riang seakan terbius dendang dan musik khas Melayu yang berasal dari paduan bebunyian akordeon, biola, timpani, gambus, kendi, hingga banzi.
Menikmati Panggung Melayu Serantau, yang dipentaskan di Teater Luwes, Institut Kesenian Jakarta, 9-10 April 2010, tidak ubahnya melakukan perjalanan dengan mesin waktu ke masa-masa awal 1960an hingga 1970an, ketika tari Melayu kerap dipentaskan di mana-mana. Tak kurang dari enam tarian ditampilkan, diselipi dendang, alunan musik, dan balas berbalas pantun. ”Melihat pertunjukan ini, saya bagai bernostalgia ke masa kecil dulu. Karena 40 tahun lalu tari Melayu sering muncul di layar kaca,” kata Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta Arie Budhiman, yang hadir dalam acara yang digelar sebagai hasil kerja sama Fakultas Seni Pertunjukan Institut Kesenian Jakarta dan PT HM Sampoerna itu.
Tak bisa dimungkiri, tarian Melayu mulai meredup. Tari Melayu umumnya digambarkan hanya sebagai tari pergaulan. Ini membuat banyak koreografer enggan mengembangkan tari Melayu. Padahal salah satu cara yang efektif untuk tetap menghidupkan tari Melayu adalah usaha eksplorasi terhadap tari Melayu sendiri. Inilah yang mendorong Institut Kesenian Jakarta menggelar pentas itu.
Digarap oleh koreografer Ariston Tom Ibnur, Panggung Melayu Serantau seolah menepis anggapan bahwa pertunjukan tradisional tak menarik ditonton lantaran membosankan. Sepanjang satu jam, Tom tak membiarkan penonton diam terpaku di tempat duduknya. Selalu ada komunikasi dengan penonton, termasuk mengajak penonton berdendang dan menari bersama.
Tom adalah satu dari sedikit koreografer yang kerap mengeksplorasi tari Melayu. Salah satu karya lulusan Jurusan Tari Fakultas Seni Pertunjukan Institut Kesenian Jakarta ini adalah tari Sembah Makan Sirih, yang kini menjadi tari persembahan di Riau dan Kepulauan Riau. Tarian yang menyimbolkan rasa hormat bagi para tamu dalam sebuah perhelatan itu menjadi pembuka pertunjukan.
Sebagai sebuah pertunjukan tari Melayu, koreografer kelahiran Padang, 15 Mei 1952, itu tak lupa menampilkan tari Serampang Dua Belas, tari tradisional Melayu yang berkembang di bawah Kesultanan Serdang. Mengisahkan perjalanan cinta sepasang muda-mudi, mulanya tari ini bernama tari Pulau Sari, sesuai dengan judul lagu yang mengiringinya. Nama Serampang Dua Belas merujuk pada 12 ragam geraknya, yang menggambarkan pertemuan pertama, cinta meresap, memendam cinta, menggila mabuk kepayang, isyarat tanda cinta, balasan isyarat, menduga, masih belum percaya, jawaban, pinang-meminang, mengantar pengantin, dan pertemuan kasih. Diciptakan oleh Sauti pada 1940an dan digubah ulang oleh penciptanya pada 1950-1960, Serampang Dua Belas sempat menjadi tari nasional atas permintaan Bung Karno.
Dalam tari Melayu, rentak adalah nama lain dari tariannya, antara lain rentak zapin, rentak senandung, rentak mainang, rentak lagu dua atau joged, rentak cik minah sayang, dan rentak pulau sari. Ada latar belakang penamaan dan sejarah singkat untuk setiap rentak.
Ini pula yang terkandung dalam Zapin Dana Bedana, yang ditarikan secara gemilang oleh Tom dan para penarinya. Zapin berasal dari bahasa Arab, alzafn, yang berarti langkah kaki. Hal ini terlihat dari gerakannya yang banyak bertumpu dan bervariasi pada kaki. Menurut sejarah, tarian zapin pada mulanya merupakan tarian hiburan di kalangan raja-raja di istana setelah dibawa dari Yaman oleh para pedagang di awal abad ke-16.
Dalam pakem lama, penari dituntut tampil lebih santun. Meski bergerak mengikuti pola lantai, gerakan tangan dan kaki masih tetap rapat. Kaki tidak boleh mengangkang, tangan tak bisa diangkat tinggi-tinggi. Di tangan Tom, zapin tampil segar, dengan sentuhan-sentuhan kontemporer yang memikat. Sebuah paduan gerak dinamis yang tak hanya rentak, melainkan juga gemulai balet hingga kelincahan cha-cha-cha. ”Dulu, perempuan tidak boleh menari zapin. Saya coba perempuan menari zapin tapi masih dalam tata krama dan sopan santun Melayu,” Tom menjelaskan.
Diciptakan oleh Tom pada 1987, Zapin Dana Bedana merupakan ramuan dari berbagai zapin, diolah menjadi paduan dalam koreografi yang harmonis. Tarian dibuka dengan gerakan sepasang penari laki-laki salah satunya Tom di atas sebentang permadani. Permadani menjadi ruang batas gerakan mereka. Kepiawaian seorang penari ditentukan oleh kemampuan mereka menari di atas permadani tanpa membuatnya bergeser dan terlipat. Selanjutnya, dua belas penari, perempuan dan laki-laki, turut bergabung.
Di pentas nasional, zapin jadi sumber inspirasi untuk mengembangkan seni tari dan musik yang lebih segar. Di bidang tari, Tom sendiri sudah menjelajahi zapin tradisional di pelosok Nusantara. Dia menciptakan tari zapin baru yang diramu dengan tari etnis lain atau modern. Selain Zapin Dana Bedana, Tom, yang jatuh cinta pada tarian yang mengandalkan gerakan kaki dan ayunan tangan sejak 1960, juga menciptakan Zapin Neo Zapin, yang pernah ditampilkan pada Semarak Zapin Serantau di Bengkalis pada 2003.
Tapi Zapin Dana Bedana bukan puncak pementasan malam itu. Tom kembali memukau penonton lewat kreasinya, Ronggeng Melayu. Melalui karyanya ini, Tom ingin menepis kesan negatif tentang ronggeng dengan lontaran pantun yang terkadang jenaka. Dendang dan musik itu penting dalam kehidupan Melayu. ”Dalam dendang, biasanya mereka memberikan pantun-pantun. Bisa tentang kasih, cinta, ataupun sedih, gembira. Lalu berbalas pantun,” katanya.
Melalui pementasan itu, Tom sekaligus juga ingin menampilkan perbendaharaan karya Melayu, bahwa Melayu juga memiliki khazanah filosofi seperti halnya tarian-tarian Jawa.
Nunuy Nurhayati, Ismi Wahid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo