Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Lingkaran-lingkaran yang <font color=#FF0000>Rapi dan Pasti</font>

Sejumlah karya grafis mengambil bentuk ilmu ukur, disajikan dengan teknik arsir, rapi, dan pasti. Sebuah imaji alam raya, garis-garis peredaran planet, misalnya, yang memukau.

19 April 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gambarlah lingkaran. Mungkin itu menyimbolkan dunia, planet, atau sekadar sebuah topi bundar atau bentuk sebuah gong. Lantas coba tarik lingkaran-lingkaran di dalam dan di luar lingkaran itu, dengan jarak sama, sampai memenuhi bidang gambar. Yang kita lihat tak lagi sederhana. Tambahkan kemudian bentuk segitiga, bisa satu atau lebih. Terkesan kemudian seolah segitiga itu berpusar, dibawa oleh garis-garis lingkaran. Ya, garis-garis itu memberikan imaji gerak berpusar—dan pameran ini bertajuk Alun dan Pusaran.

Itulah yang terkesan dari pameran karya seni grafis A.T. Sitompul di Bentara Budaya Jakarta pekan lalu, yang hampir semua karya adalah garis-garis lingkaran atau mengandung bentuk lingkaran yang disusun dengan meng­ulang-ulang garis melingkar (arsir me­lingkar). Terasa sangat beralasan Sitompul mengambil bentuk lingkaran: bentuk yang mudah memberikan imaji gerak berpusar dan kita tahu roda kendaraan bukanlah berbentuk kotak, melainkan lingkaran.

Dari karya-karya itu, terasa bahwa perupa satu ini mempercayai bentuk ilmu ukur, bentuk yang pasti: lingkaran, segitiga, persegi, dan anak turunnya. Saya kira ia tak ”mempercayai” keterampilan tangannya sendiri, karena itu ia memerlukan alat bantu. Atau, dari sisi lain, ia tak ingin emosi sesaatnya mempengaruhi garis-garisnya. Ia ingin menggambarkan suatu bentuk yang pasti, yang bisa dipertanggungjawabkan secara eksakta.

Ini tepat dengan pilihan medianya: seni grafis teknik cukil, dan dalam pameran ini ia memilih papan keras (hardboard). Dengan cukil-mencukil itu ia bebas menggunakan alat bantu dan tak langsung tampak pada karya. Ini tidak berarti perupa yang menggambar langsung di kanvas tak bisa mencapai kepastian bentuk. Namun sepiawai apa pun tangan menggaris tak mengalahkan garis yang ditarik dengan bantuan penggaris. Lingkaran-lingkaran Sitompul saya duga dibuat dengan bantuan jangka atau sejenisnya. Lain dari­pada itu, melukis di kanvas langsung memerlukan waktu. Untuk menaruh kayu penggaris di kanvas, misalnya, karena ada garis yang tak direncanakan diperlukan, mesti menunggu gambar yang sudah ada kering lebih dulu.

Keeksakan Sitompul juga tecermin dari pilihannya mencetak matriks pada kanvas, bukan kertas. Pada karya-karya cukil kayu Jepang klasik, efek tak terduga karena sifat kertas yang menyerap cat yang dianggap sebagai ”seni”-nya cukil kayu (ukiyo-e, kata orang Jepang). Ditambah lagi sifat kertas yang mudah mengikuti lekuk-liku permukaan matriks, berbagai ketidak­terdugaan memang mudah muncul. Tapi itulah memang yang menjadikan karya seni grafis berbeda dengan karya lukis. Dalam hal Sitompul, rupanya ia ingin menghilangkan efek tak terduga itu semaksimal mungkin. Maka ia memilih kanvas dengan cat dasar khusus, yang menyerap cat bagaikan kertas, tapi terbatas efeknya.

Dengan kanvas ia pun bisa mengatur tebal-tipis cat, tanpa mengambil banyak risiko kanvas sobek—dengan kertas bisa juga pengontrolan dilakukan, tapi risiko kertas sobek besar.

Maka di ruang pameran adalah suasana serba eksak, bentuk yang pasti, rapi-jali, seolah ini karya mesin. Kerapian dan kepastian inilah memang yang ditawarkan karya-karya Sitompul kali ini. Kerapian dan kepastian yang membawa empati pada beberapa karya bilamana kita tersentuh oleh garis-garis arsir itu, bilamana kita merasa ikut berpusar masuk menjelajah ke dalam kanvas.

Kesan subyektif saya, inilah ­dunia peredaran planet-planet di jagat ma­krokosmos. Bisa juga terbayangkan, kalau tak salah, seperti elektron bergerak teratur mengelilingi neutron. Pada akhirnya terlihat kanvas-kanvas itu bak mikrokosmos Sitompul. Beberapa karya yang bisa saya ”masuki” terasa seolah garis-garis lingkaran itu berputar dan menyedot, tanpa ujung, karena seolah sedotan itu bukan sekali terjadi, melainkan berulang kali. Ini sebuah sensasi, seperti ketika di pucuk gunung kita melihat ke angkasa dan terasa betapa alam raya yang tanpa batas. Atau ketika sunyi sendiri di sebuah ruang, dan tiba-tiba ruang itu ”hilang”. Yang ada kekosongan mahaluas. Ini saya tengarai ada pada karya Apa Tujuanmu, untuk Itulah Kamu Hidup (2008), Spriritualisasiku, Mu, Dia, dan Entah Siapa (2008), dan Saling Mengambil (2010).

Rasanya karya Sitompul memang seolah mengandung sesuatu yang berlawanan. Garis-garis lingkarannya demikian banyak, tapi yang terasa pada akhirnya adalah kekosongan alam raya. Ini berbeda dengan karya seni grafis Tisna Sanjaya. Keramaian pada bidang gambarnya memang menimbulkan imaji yang ramai, sebuah teater yang hiruk-pikuk.

Maka karya Sitompul yang nonfiguratif ini, meski pengerjaannya adalah dengan meletakkan dan mengatur garis demi garis dan bentuk demi bentuk, bukan karya dekoratif. Sitompul saya kira memang tidak cocok dengan ragam-hiasan. Ia lebih mencetakkan sebuah gagasan, mungkin konsep pemikiran dan pengalaman, tentang dirinya dan hidup dalam bentuk-bentuk ilmu ukur. Itu sebabnya, karyanya yang (mungkin) mencoba mengetengahkan hiasan (misalnya seperti motif kawung batik) kurang menyedot perhatian. Bisa jadi karena motif itu kemudian lebih tampil daripada garis-garisnya yang rapi dan pasti (Buka Diri dengan Tahu Diri, 2008). Bila hiasan itu larut oleh garis-garis tersebut, karyanya tetap memukau dan menyedot (Saling Mengambil yang sudah disebutkan).

Pameran Alun dan Pusaran yang dikuratori Hendro Wiyanto ini mema­merkan karya-karya hitam-putih. Pada saat yang sama, di Edwin’s Gallery, dua karya Sitompul ikut dipamerkan. Dua-duanya berwarna. Warna pada karya Sitompul tak langsung datang dari proses pencetakan, melainkan dibuat langsung di kanvas. Ini bukan soal baru, justru kuno. Di awal ukiyoe di Jepang, poster-poster sandiwara yang dibuat dengan teknik cukil kayu pewarnaan dilakukan dengan kuas pada karya yang sudah selesai dicetak. Bukan soal pewarnaan yang dilakukan kemudian bila karya berwarna Sitompul tak sememukau karya hitam-putihnya. Sebagaimana soal hiasan, di sini warna pun mengalahkan garis-garis. Itu soalnya, menurut apresiasi saya.

Alhasil, Sitompul termasuk perupa yang jarang, yang masih tekun dengan bentuk yang rapi, pasti, dan dingin. Jagat mikrokosmosnya sangat tertib, dan ketertiban inilah yang memukau—ketertiban yang bukan sekadar teratur, melainkan membawa gagasan, menawarkan imaji yang tak du­niawi. Kontemporer atau bukan, itu tidak penting benar.

Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus