Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peresmian Bienal Yogya VI di selasar ruang pameran Taman Budaya Yogyakarta, 8 Februari lalu, berlangsung sama saja dengan peresmian-peresmian bienal sebelumnya. Namun, di balik upacara yang terkesan rutin itu, sedang terjadi metamorfosis yang progresif.
Berasal dari pameran tidak tetap Himpunan Seni Rupawan Yogya, Bienal Yogya lahir pada 1989 sebagai bienal seni lukis. "Setelah beberapa kali penyelenggaraan, Bienal Yogya terasa mulai stabil," ungkap Suprapto, Kepala Taman Budaya Yogyakarta, kepada L.N. Idayanie dari TEMPO. "Tapi, almarhum But Muchtar, Rektor Institut Seni Indonesia waktu itu, mengingatkan saya untuk terus mencari bentuk bienal yang pas." Karena itu, pada 1997 Bienal Yogya masih mengalami perubahan bentuk, dari bienal seni lukis menjadi bienal seni rupa. Suwarno Wisetrotomo, kritikus seni rupa yang terlibat dalam proses pengubahan ini, mengungkapkan, "Dalam perluasan lingkup bienal ini, kami tidak hanya memasukkan seni grafis dan seni patung. Kami juga memasukkan seni wayang kulit baru, seni batik, dan seni instalasi."
Pada putaran keenam Bienal Yogya, wilayahnya sudah diperluas dan dilengkapi dengan penerapan kurasi bienal yang tepat. Suprapto mengundang Asmujo Irianto, kurator Galeri Sumarja, Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, untuk menangani Bienal Yogya VI. Kurator dari Bandung itu dibantu tiga narasumber dari Yogyakarta, yaitu kritikus Suwarno Wisetrotomo serta perupa Nindityo Adipurnomo dan Anusapati.
Dari hasil rembukan kurator dan ketiga narasumber itu, seperti dijelaskan dalam katalog, tercapai kesepakatan untuk menampilkan perkembangan mutakhir seni rupa kontemporer di Yogyakarta (1990-an). Ini keputusan cerdik karena penampilan ini mengandung klaim: perkembangan seni rupa kontemporer Yogya '90 ternyata identik dengan perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia '90. Klaim ini memang sulit disangkal. Inilah "isu besar" Bienal Yogya VI.
Dalam pengantar kuratorial, Asmujo Irianto mengkaji peran seni rupa kontemporer Yogya '90 dalam proses internasionalisasi seni rupa kontemporer Indonesia yang dimulai pada awal 1990-an. Untuk mengukuhkan analisis ini ia menampilkan Heri Dono, salah seorang perupa yang mengawali internasionalisasi itu melalui pameran New Art From Southeast Asia (1992) di Tokyo. Karya instalasi Heri Dono pada Bienal VI Yogya, Fermentation of Mind (1993)?mengkritik kerusakan mental masyarakat akibat sistem pendidikan dan paternalisme?adalah karya yang sudah dipamerkan di sejumlah pameran internasional.
Pada Bienal VI karya Heri Dono itu tampil bersama beberapa karya perupa lain. Karya-karya itu adalah Kerja Bakti (1999) karya Aris Wibobo yang menggambarkan manipulasi dalam rekayasa sosial, performance (seni rupa pertunjukan) Iwan Wiyono Sudah Saatnya Warung itu Merah (1999) yang menampilkan kegelisahan di Timor Timur, lukisan Roh Bukit Kehilangan Bukit (1999) karya Diah Yulianti yang melukiskan bencana kebakaran hutan, dan gambar Rayuan Pulau Kelapa (1999) karya Popok Tri Wahyudi yang mengekspos akibat buruk pembangunan. Itu semua adalah karya yang politis (yang mengundang dampak). Drama dalam karya-karya semacam ini berkaitan dengan politik pemerintah yang represif, manipulasi prinsip-prinsip demokrasi untuk membentuk kekuasaan, dan penggunaan kekuatan untuk menindas.
Asmujo Irianto melihat corak karya-karya itu sebagai corak yang mewakili Indonesia di forum-forum seni rupa internasional pada 1990-an. Dalam pengamatan Asmujo, karya-karya semacam itu?khususnya yang diungkapkan melalui media instalasi?mengalami internasionalisasi karena bagi para kurator pameran internasional, ini sesuai dengan stereotip Dunia Ketiga.
Namun, Asmujo tidak berhenti pada kecenderungan yang berkembang pada paro pertama 1990 itu. Ia melihat kecenderungan lain yang muncul pada paro kedua 1990. Kecenderungan baru ini, menurut Asmujo, memperlihatkan sikap tidak peduli pada kemungkinan mengikuti pameran internasional. Sikap itu tercermin pada kembali merebaknya seni lukis di kalangan perupa muda Yogya sejak pertengahan 1990. Tokoh-tokoh yang menampilkan kembali seni lukis pada Bienal Yogya VI ialah Entang Wiharso, Nasiroen, Putu Sutawijaya, dan Heri ris.
Dari sisi lain, kecenderungan yang muncul pada paro kedua 1990 itu, menurut Asmujo, menampilkan gejala plural. Ia menulis, "Sekilas, situasi seni rupa kontemporer Yogyakarta saat ini seperti miniatur seni rupa kontemporer Barat, segala ada (plural), semuanya punya hak hidup. Tetapi bedanya, seni rupa kontemporer Yogyakarta memiliki optimisme dan kesehatan prima karena tidak ada dominasi teori dan wacana yang mempertanyakan dan menihilkan keberadaannya." (Asmujo menunjuk gelombang post-historism di Amerika yang cenderung menyangkal semua bentuk perkembangan dan membuat para kritikus senantiasa bimbang dalam membaca makna karya).
Gejala pluralisme itu, menurut Asmujo, tercermin pada hilangnya dominasi tema-tema politik. Serta-merta Bienal VI yang disusunnya pun menyajikan kecenderungan beragam. Ada tendensi yang mempersoalkan dampak media massa, seperti Dominasi TV (1999) karya Teddy S. yang merupakan instalasi 50 duplikat televisi dari batu, juga Mr. Kapitalis (1999) lukisan I Nyoman Marsriadi yang mengekspresikan perilaku konsumtif kaum kaya, atau instalasi bantal bunga jeruk berjudul Joining the Cult (1999). Ada pula sejumlah karya yang menyuruk ke masalah-masalah personal seperti Always Bolot (1999) lukisan Sekar Jatiningrum, Transparansi Kaca Buram (1999) lukisan Pande Ketut Taman, dan Tentang Oscillation Orde Perahu Anjing (1999) lukisan Edo Pillu. Ada juga karya yang mengkritik masyarakat dan perkembangan seni rupa lewat isu gender, yaitu instalasi Mella Jaarsma Food for Art Censor, Art Critics, and Art Lovers (1999) berupa pisang yang disodokkan ke wajan penggorengan yang berlubang.
Namun, pendekatan melalui kejamakan itu membuat Asmujo tidak menyuruk mencari "arus bawah" seni rupa kontemporer Yogya '90 sehingga Bienal Yogya VI pun kehilangan fokus. Padahal ada masalah mendasar yang menarik untuk dibahas, yaitu bergesernya sebagian besar representasi seni rupa kontemporer Yogya 1990-an?bahkan yang politis?dari wilayah idealisme ke wilayah realisme (realisme yang tidak lagi terfokus pada pencarian esensi dalam konteks memahami kenyataan).
Representasi tahun 1990-an itu meninggalkan pemujaan "akademis" idealisme politik, demokrasi, dan sosialisme yang merupakan kecenderungan utama seni rupa kontemporer Indonesia di tahun 1980-an. Memasuki wilayah realisme (menjelajahi lapisan-lapisan realitas sosial yang dalam keyakinan pluralisme tidak terdiri dari satu substansi), representasi seni rupa 1990-an terhindar dari kecenderungan berpikir logosentris yang mencari kebenaran (absolut) di balik fenomena sosial. Pergeseran wilayah ini membuat representasi tahun 1990-an lebih dekat pada kebebasan?Heri Dono menyatakannya sebagai sikap menolak berpihak. Representasi ini menjadi dinamis dan cenderung kritis pada semua representasi dominan yang menguasai persepsi masyarakat tentang realitas, baik representasi konsumtif yang diproduksi kapitalisme industri orde pembangunan maupun stereotip politik yang berasal pada pandangan-pandangan kelompok elite politik (baik penguasa maupun oposisinya).
Kecenderungan kembali ke media dua dimensi yang tampil kuat pada Bienal Yogya VI sangat mungkin berkaitan dengan representasi dinamis itu. Terjadilah revitalisasi melukis ekspresif yang menghidupkan kembali proses simbolisasi, di mana individualitas merupakan akibat tegangan tarik-menarik antara kesadaran (ego) dan alam bawah sadar kolektif. Terjadi revitalisasi gambar (pada pertengahan 1990 dirintis peserta Bienal Yogya VI Agung Kurniawan dan Hanura Hosea) saat gambar berhenti menjadi bahasa visual untuk mendeskripsikan kenyataan, dan menjadi bahasa ekspresi yang naratif, yang padat dengan metafora.
Lepas dari apakah perupa Yogya angkatan baru 1990-an ini peduli atau tidak peduli pada kemungkinan masuk ke forum seni rupa internasional, representasi dinamis yang menandai perkembangan baru Yogya '90 bisa membuat seni rupa kontemporer Indonesia menjadi lebih dekat dengan seni rupa kontemporer dunia. Dan itu memaksa para kurator pameran internasional membuang stereotip dari kepala mereka.
Jim Supangkat
* Kurator dan pengamat seni rupa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo