Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Review Film Bila Esok Ibu Tiada: Menghargai yang Tersisa Usai Kepergian Ibu

Film Bila Esok Ibu Tiada tentang perjalanan emosional sebuah keluarga yang tersadar akan arti kasih sayang setelah kepergian ibu mereka.

2 November 2024 | 13.37 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Bila Esok Ibu Tiada menyajikan gambaran menyentuh tentang kehadiran sosok ibu yang tak tergantikan. Christine Hakim memerankan seorang ibu dengan segala kelembutan dan pengorbanannya untuk menjaga keutuhan keluarga. Ia menjadi satu-satunya pilar sejak sang ayah—yang diperankan oleh Slamet Rahardjo, meninggal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun, anak-anak yang beranjak dewasa dan sibuk dengan kehidupannya sendiri, tampak abai pada ibunya. Bahkan, momen sederhana seperti ulang tahun sang ibu pun terlupakan.

Review Film: Pecahnya Pertautan Keluarga dalam Konflik dan Ego

Keempat anaknya, diperankan oleh Fedi Nuril, Adinia Wirasti, Amanda Manopo, dan Yasmin Napper, mencerminkan keluarga urban yang terpecah dalam kesibukan masing-masing. Mereka sering kali terlibat cekcok, memperdebatkan siapa yang lebih banyak berkontribusi dalam mengurus ibu dan rumah. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Si sulung, yang terlambat menikah karena terikat tanggung jawab, mengorbankan banyak hal untuk keluarga. Namun, perbedaan pandangan di antara mereka menimbulkan ketegangan yang terus memuncak.

Di balik semua itu, ada rahasia besar yang disembunyikan sang ibu, yaitu kondisi kesehatannya semakin menurun. Sakitnya yang semakin memburuk ia tanggung sendirian, karena tak ingin menjadi beban bagi anak-anak yang terjebak dalam ambisi masing-masing. Hingga suatu hari, tanpa pamit, ia meninggalkan rumah untuk mengunjungi makam sang suami.

Filosofi Kintsugi dalam Film Bila Esok Ibu Tiada 

Tak lama, sang ibu meninggal. Kepergian ibu menyisakan luka, penyesalan, konflik, dan saling menyalahkan antara empat bersaudara itu. Dalam kekacauan ini, film menyisipkan filosofi kintsugi dari Jepang—seni memperbaiki keramik retak dengan emas, menjadikan pecahan-pecahan sebagai keindahan yang baru. 

Filosofi ini menjadi pengingat akan keutuhan keluarga yang retak dan perlahan harus tersambung kembali sepeninggal sang ibu. Mereka menyadari pentingnya saling mendukung dan merajut kembali tali kasih yang sempat memudar.

Sutradara Rudi Soedjarwo sukses menyuguhkan sisi emosional dalam Bila Esok Ibu Tiada, terutama kesedihan akan momen penyesalan dan kehilangan sosok ibu. Naskah ini adaptasi dari novel Nagiga Nuy Ayati yang mengangkat isu universal tentang keluarga, pengorbanan, dan kesadaran yang sering datang terlambat. Film ini digarap oleh LEO Pictures dan diproduseri Agung Saputra serta Nunu Datau, dan dijadwalkan tayang di bioskop mulai 14 November 2024.

Adinda Jasmine

Adinda Jasmine

Bergabung dengan Tempo sejak 2023. Lulusan jurusan Hubungan Internasional President University ini juga aktif membangun NGO untuk mendorong pendidikan anak di Manokwari, Papua Barat.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus