Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Bila Esok Ibu Tiada menyajikan gambaran menyentuh tentang kehadiran sosok ibu yang tak tergantikan. Christine Hakim memerankan seorang ibu dengan segala kelembutan dan pengorbanannya untuk menjaga keutuhan keluarga. Ia menjadi satu-satunya pilar sejak sang ayah—yang diperankan oleh Slamet Rahardjo, meninggal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, anak-anak yang beranjak dewasa dan sibuk dengan kehidupannya sendiri, tampak abai pada ibunya. Bahkan, momen sederhana seperti ulang tahun sang ibu pun terlupakan.
Review Film: Pecahnya Pertautan Keluarga dalam Konflik dan Ego
Keempat anaknya, diperankan oleh Fedi Nuril, Adinia Wirasti, Amanda Manopo, dan Yasmin Napper, mencerminkan keluarga urban yang terpecah dalam kesibukan masing-masing. Mereka sering kali terlibat cekcok, memperdebatkan siapa yang lebih banyak berkontribusi dalam mengurus ibu dan rumah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Si sulung, yang terlambat menikah karena terikat tanggung jawab, mengorbankan banyak hal untuk keluarga. Namun, perbedaan pandangan di antara mereka menimbulkan ketegangan yang terus memuncak.
Di balik semua itu, ada rahasia besar yang disembunyikan sang ibu, yaitu kondisi kesehatannya semakin menurun. Sakitnya yang semakin memburuk ia tanggung sendirian, karena tak ingin menjadi beban bagi anak-anak yang terjebak dalam ambisi masing-masing. Hingga suatu hari, tanpa pamit, ia meninggalkan rumah untuk mengunjungi makam sang suami.
Filosofi Kintsugi dalam Film Bila Esok Ibu Tiada
Tak lama, sang ibu meninggal. Kepergian ibu menyisakan luka, penyesalan, konflik, dan saling menyalahkan antara empat bersaudara itu. Dalam kekacauan ini, film menyisipkan filosofi kintsugi dari Jepang—seni memperbaiki keramik retak dengan emas, menjadikan pecahan-pecahan sebagai keindahan yang baru.
Filosofi ini menjadi pengingat akan keutuhan keluarga yang retak dan perlahan harus tersambung kembali sepeninggal sang ibu. Mereka menyadari pentingnya saling mendukung dan merajut kembali tali kasih yang sempat memudar.
Sutradara Rudi Soedjarwo sukses menyuguhkan sisi emosional dalam Bila Esok Ibu Tiada, terutama kesedihan akan momen penyesalan dan kehilangan sosok ibu. Naskah ini adaptasi dari novel Nagiga Nuy Ayati yang mengangkat isu universal tentang keluarga, pengorbanan, dan kesadaran yang sering datang terlambat. Film ini digarap oleh LEO Pictures dan diproduseri Agung Saputra serta Nunu Datau, dan dijadwalkan tayang di bioskop mulai 14 November 2024.