Negara Madiun? (Kesaksian Soemarsono Pelaku Perjuangan)
Penulis : Hersri Setiawan
Penerbit : Fuspad, 2002
Tebal : 211 halaman
DALAM buku pelajaran sejarah Indonesia, peristiwa Madiun 1948 dicatat sebagai pemberontakan kaum komunis untuk merebut kekuasaan dari tangan Sukarno-Hatta. Selanjutnya, Indonesia akan dijadikan negara komunis yang bernaung di bawah Uni Soviet. Yang dijadikan bukti adalah peran Musso dalam peristiwa itu. Musso adalah kader PKI yang baru pulang dari Moskwa. Kini sejarah resmi itu ditinjau kembali.
Buku ini merupakan kesaksian Soemarsono, yang menjadi pelaku utama dua peristiwa penting dalam sejarah Indonesia, yaitu pertempuran di Surabaya pada 1945 dan kasus Madiun 1948. Ia menjadi Ketua Pemuda Republik Indonesia (PRI), yang mengorganisasi perlawanan rakyat Surabaya terhadap Inggris dan NICA menjelang peristiwa 10 November 1945. Rosihan Anwar menyebut pejuang kelahiran Kutoarjo, Jawa Tengah, 26 Oktober 1921 ini sebagai "pemimpin pertempuran pemuda Surabaya." Sebelumnya, ia menjadi kader Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), yang dipimpin Amir Sjarifuddin.
Bagi Soemarsono, peristiwa Madiun bukanlah pemberontakan, melainkan usaha membela diri kelompok komunis. Peristiwa ini merupakan persengketaan antara TNI dan laskar-laskar revolusi lain yang berkelanjutan dengan saling menculik. Namun peristiwa ini dimanipulasi oleh kelompok antikomunis dan didukung oleh pihak Barat agar kaum komunis bisa ditumpas dan dibersihkan dari gerakan revolusi kemerdekaan Indonesia.
Anthony Reid (Revolusi Nasional Indonesia, 1996) mengatakan bahwa respons pemerintah terhadap peristiwa Madiun tidak sulit dimengerti. Negosiasi seperti yang diusulkan Sudirman mungkin dapat menyelamatkan banyak nyawa, tapi dengan ongkos keberhasilan propaganda Belanda bahwa Republik Indonesia tidak berdaya terhadap komunis dan memastikan dukungan AS bagi Belanda untuk melakukan intervensi. Sukarno-Hatta memilih bertindak tegas terhadap kelompok oposisi kiri tersebut.
Menurut Soemarsono, Sukarno pernah mengirim Soeharto sebagai utusan untuk mengetahui apa yang terjadi di Madiun. Soeharto datang dan tampaknya—menurut Soemarsono—bisa diyakinkan bahwa yang terjadi bukanlah pemberontakan. Namun pemerintah pusat tetap mengirimkan TNI (korps Siliwangi) untuk menumpas gerakan itu. Timbul kecurigaan Soemarsono: apakah Soeharto betul-betul menyerahkan laporan itu kepada Sukarno atau justru memutarbalikkan fakta?
Tapi, kalau dipegang asumsi yang diberikan Reid tadi, tidak begitu penting apa pun keterangan atau informasi yang diberikan Soeharto karena pemerintah RI di Yogyakarta memang berniat menghancurkan gerakan komunis sekaligus memperoleh dukungan dari AS untuk selanjutnya.
Hersri Setiawan, yang melakukan penelitian kepustakaan tentang peristiwa ini dengan beasiswa dari Ford Foundation, melontarkan perspektif baru. Peristiwa Madiun bukanlah coup d'etat, melainkan coup de ville; bukan usaha perebutan kekuasaan secara nasional, melainkan pergolakan pada tingkat kota. Itu pun terjadi karena posisi yang terjepit.
Soemarsono dalam wawancara tersebut banyak menyebut provokasi Hatta, sungguhpun yang dikecam oleh Musso pada 1948 adalah dwitunggal Sukarno-Hatta. Tampaknya hal ini dipengaruhi oleh pidato pembelaan Aidit di depan DPR pada 1957 yang gencar mengutuk Hatta dan tidak mengkritik Sukarno. Ketika itu, Hatta sudah mengundurkan diri sebagai wakil presiden dan PKI berangkulan dengan Sukarno.
Buku ini juga menampilkan beberapa arsip Amerika Serikat seperti telegram antara Merle Cochran (Jakarta) dan George Catlett Marshal (Washington) seperti yang termuat dalam FRUS 1948 Volume VI. Marshal, politikus, jenderal AS, dan Kepala Staf Tentara AS selama Perang Dunia II, yang kemudian dikenal sebagai penggagas Marshal Plan (European Recovery Program, 1947), mengirim telegram 9 September 1948: "Anda boleh dengan hati-hati memberi tahu Hatta sebagai berikut: pemerintah AS dengan segala cara yang praktis akan membantu pemerintah Indonesia yang demokratis nonkomunis agar berhasil menahan tirani komunisme."
Kehadiran arsip Amerika Serikat tersebut memperlihatkan keterlibatan negara superkuat itu dalam masalah dalam negeri Indonesia, meski lebih baik bila riset ini juga mempergunakan arsip Rusia seperti yang dilakukan Stephen Morris dalam buku Why Vietnam Invaded Cambodia (1999). Bukankah kisah Musso yang lama bermukim di Moskwa akan banyak terungkap melalui arsip Negeri Tirai Besi tersebut? Sejauh mana dukungan Uni Soviet terhadap kelompok komunis di Indonesia?
Satu hal lagi dapat ditambahkan bahwa dalam sejarah resmi hanya tercantum pembunuhan terhadap banyak kiai di daerah Madiun dan sekitarnya. Tapi sebetulnya kekejaman dilakukan oleh kedua belah pihak. Hal memilukan menimpa Amir Sjarifuddin, mantan Perdana Menteri RI, dan 10 pemimpin teras kelompok komunis pada 19 Desember 1948 tengah malam di Desa Ngaliyan, Solo. Sebelas orang itu menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Internationale. Selesai menyanyi, Amir berseru, "Bersatulah kaum buruh seluruh dunia! Aku mati untukmu!" Semuanya lalu ditembak satu per satu. Tanpa pengadilan. Revolusi telah memakan anak-anaknya sendiri.
Dr. Asvi Warman Adam, sejarawan LIPI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini