KEPUTUSAN dari "Gedung Bulat" di Senayan itu membuat Direktur Utama PT Telkom Kristiono hanya bisa pasrah. Rabu malam pekan lalu, bosnya, Menteri Perhubungan Agum Gumelar, secara mendadak mengeluarkan pernyataan mengejutkan dalam rapat konsultasi pemerintah dan DPR, "Setelah melihat kalkulasi yang ada, saya kira tarif telepon bisa ditunda." Ucapan yang panjangnya tak lebih dari satu menit ini menghancurkan segala hitungan dan rencana Telkom yang sudah mereka susun jauh sebelum keluarnya keputusan pemerintah menaikkan tarif telepon rata-rata 15 persen yang berlaku tanggal 1 Januari lalu.
Kristiono tak menduga ia harus merevisi rencana pengembangan usahanya. Jangankan Kristiono, para rekan Agum di kabinet yang hadir dalam rapat konsultasi itu sama kagetnya. Dalam tiga kali rapat internal sebelumnya, dari para menteri koordinator dan menteri terkait seperti Agum serta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro tak pernah tercetus keputusan itu. "Kita sepakat hanya akan mendengarkan tuntutan atau permintaan dari DPR," kata sumber di pemerintahan kepada Tomi Lebang dari TEMPO.
Tak disangka, kata sumber tadi, Agum melenceng sendirian. Ia memegang mikrofon dan berbicara bahwa pemerintah bersedia menunda kenaikan tarif telepon sesudah menimbang bahwa pemakai telepon tetap hanya 3,7 persen dari 210 juta penduduk Indonesia. Ia tak menyebutkan sampai kapan penundaan itu dilakukan. Ucapan Agum itu membuat pemerintah "terpaksa" merevisi keputusan menaikkan harga bahan bakar minyak dan tarif dasar listrik. Benar Agum nyelonong? Agum membantahnya. Menurut dia, keputusan itu sudah dikonsultasikan dengan koleganya. "Tidak benar itu. Siapa menteri yang tidak setuju penundaan?" katanya kepada Deddy Sinaga dari Tempo News Room.
Siapa pun yang benar, keputusan sudah terucap dan dampaknya begitu instan. Harga saham Telkom langsung anjlok 6,9 persen ke posisi Rp 3.375 per lembar. Indeks Bursa Jakarta pun nyungsep 8,5 persen dan kembali ke bawah 400. Yang paling terpukul pastilah Telkom karena tak akan meraup pendapatannya seperti bila tarif telepon dinaikkan.
Tak aneh jika Telkom langsung membatalkan investasi jaringan telepon tetap (fixed lines) sebanyak 1,2 juta sambungan yang seharusnya dibangun sampai 2006. Menurut Kristiono, keputusan itu harus diambil karena penundaan ini membuat perhitungan investasi Telkom berubah total. Namun Kristiono menjamin bahwa Telkom tetap akan menyediakan 1,6 juta sambungan dengan teknologi nirkabel (fixed wireless) yang biayanya hanya separuh telepon tetap. "Angka tersebut sudah di atas komitmen Telkom kepada pemerintah dan DPR untuk membangun 1,2 juta sambungan sampai 2006," kata Kristiono.
Keputusan penundaan itu dipertanyakan Kristiono. Soal daya beli masyarakat yang melemah? Fakta yang ada justru memperlihatkan sebaliknya. Tarif telepon seluler jauh lebih mahal, contohnya, tapi jumlah pelanggannya jauh lebih besar ketimbang pelanggan telepon tetap. Pada akhir 2002, jumlah pelanggan telepon seluler sudah mencapai 10 juta sambungan, sementara telepon tetap hanya 7,5 juta sambungan. "Kalau itu urusan daya beli, mestinya pelanggan telepon seluler tidak bertambah dengan cepat," katanya.
Dengan tarif yang ada sekarang, ia pesimistis ada investor yang mau membangun jaringan telepon tetap, karena investasinya jauh lebih mahal ketimbang seluler tapi tarifnya jauh di bawah seluler. Kristiono mencontohkan Indosat yang hanya sanggup membangun 750 ribu sambungan dari yang ditetapkan semula sebanyak 1,3 juta sambungan.
Argumen Kristiono kontan dikritik Roy Suryo. Pemerhati telekomunikasi ini menilai Telkom kekanak-kanakan. Menurut dia, Telkom seharusnya bisa memahami kesulitan yang dihadapi masyarakat dan pemerintah dan tidak perlu berlindung di balik tameng investasi. Dalam hitungan Roy, dengan laba bersih pada 2002 yang mencapai Rp 7,56 triliun, Telkom mestinya tak perlu menaikkan tarif dan investasinya bisa jalan terus.
Selain itu, Telkom mengingkari kesepakatan dengan DPR pada November 2001 soal pembangunan jaringan telepon tetap. Seharusnya, Telkom membangun 1,9 juta sambungan, bukan 1,2 juta sambungan seperti yang diungkapkan selama ini. Kristiono membantah semua pernyataan Roy. "Kita bukan hanya mau membangun 1,9 juta sambungan, tapi 2,8 juta. Namun, karena kenaikan tarif ditunda, kita cuma sanggup 1,6 juta sambungan," katanya. Dia menambahkan, apa pun teknologinya, yang penting telepon bisa menjangkau sebanyak-banyaknya orang.
Kristiono mendapat dukungan dari analis Nusantara Capital, Agung Prabowo. Agung menghitung pendapatan bersih Telkom bakal tersunat 6-7 persen menjadi hanya Rp 24,5 triliun jika kenaikan ini ditunda selama setahun. Laba bersihnya malah bakal anjlok 17-19 persen menjadi hanya sekitar Rp 4,3 triliun. Dengan posisi seperti itu, Telkom harus membiayai berbagai investasi dan dividen kepada pemerintah?yang jumlahnya berdasarkan pengalaman selama ini mencapai 51 persen. Itu berarti, kalau mengikuti perhitungan Roy, setidaknya Telkom mesti membayar dividen sekitar Rp 3,85 triliun, atau Rp 4,3 triliun jika berdasarkan perhitungan Agung. Itu jelas bukan jumlah yang kecil dan pemerintah belum tentu bersedia bila jatahnya dikurangi.
Di luar itu, Telkom punya berbagai kewajiban lain. Untuk pembelian proyek kerja sama (KSO) di Sumatera dari Pramindo Ikat, Telkom mesti mencicilnya dan tahun ini besarnya sekitar Rp 1,7 triliun. Telkom juga masih harus membayar kewajiban yang lain sekitar Rp 1 triliun. Ini belum termasuk rencana pembelian proyek KSO di Jawa Tengah dan Yogyakarta (Mitra Global Telekomunikasi Indonesia) senilai US$ 425 juta dan KSO di Jawa Barat dan Banten (AriaWest International) seharga US$ 479,5 juta. "Arus kas Telkom bakal terganggu," kata Agung. Celakanya, kreditor tidak akan ringan tangan memberikan pinjaman kepada Telkom karena besarnya jatah dividen pemerintah. Pendek kata, kata Agung, hitung-hitungannya tak sesederhana yang digambarkan Roy Suryo.
Apa pun dampaknya, keputusan telah dibuat. "Kita bisa apa kecuali mengikuti keputusan pemerintah," kata Kristiono pasrah. Anggota Komisi IV DPR, yang membidangi perhubungan dan telekomunikasi, Rosyid Hidayat, juga tak habis pikir dengan keputusan pemerintah ini. Menurut anggota parlemen dari Partai Amanat Nasional itu, pemerintah mestinya juga menghitung kerugian yang timbul akibat penundaan ini, terutama dalam soal pembangunan jaringan baru.
DPR, katanya, sudah minta kepada Menteri Perhubungan Agum Gumelar pada pertemuan November silam agar tidak terburu-buru menaikkan tarif. "Penuhi dulu beberapa kewajiban, baru tarif bisa dinaikkan," kata Rosyid. Salah satunya adalah pendirian Badan Regulasi Independen untuk memisahkan fungsi pemerintah sebagai polisi lalu lintas dan sebagai pengendara mobil.
Saat itu, katanya, DPR memberikan ancar-ancar kepada pemerintah untuk menaikkan tarif telepon pada Februari atau Maret 2003. Ternyata pemerintah dengan sigap memberlakukannya per 1 Januari berbarengan dengan kenaikan harga bahan bakar minyak dan tarif listrik. Demonstrasi pun meluas di seluruh Indonesia sampai Sabtu pekan lalu. Berbagai kalangan bergerak: mahasiswa, ibu rumah tangga, buruh, dan pengusaha. Dan ketika keputusan yang terburu-buru itu dikoreksi dengan mendadak di DPR, pilihan pemerintah menurut Rosyid lagi-lagi keliru karena tak bisa menjangkau rakyat bawah. Katanya, "Pengusaha sudah mendapat stimulus perpajakan, kelas menengah ke atas memperoleh bonus tarif telepon tidak naik, rakyat mendapatkan apa?"
M. Taufiqurohman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini