Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Seniman Desa yang Membuana

Rahayu Supanggah menapakkan kedua kakinya di antara intuisi dan ilmu, serius dan kelakar. Komposisi Setan Jawa mengejewantahkan gambar yang "jauh dan lampau" menjadi "dekat dan kini".

14 November 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Rahayu Supanggah, komposer gamelan, di rumahnya, Karanganyar, Jawa Tengah, Senin, 8 Januari 2018. TEMPO/STR/Bram Selo Agung

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Seniman dan intelektual Rahayu Supanggah wafat pada 10 November lalu.

  • Rahayu Supanggah telah mengukir Jawa, mengukir dunia dengan karya-karya musik fenomenal, dari pentas King Lear, I La Galigo, hingga Setan Jawa.

  • Ia tidak banyak terlibat dalam perdebatan, tapi ia mendengar dan mencerna.

SAYA yakin banyak orang yang mau dan akan bagus menulis obituari untuk seorang Rahayu Supanggah—seorang seniman dan intelektual besar dari Surakarta yang berpulang pada 10 November lalu. Mas Panggah, demikian saya selalu memanggilnya, tumbuh dari anak desa menjadi bapak buana, dari pangrawit Jawa menjadi komposer musik sejagat.

Saya tak ingat betul kapan pertemuan pertama saya dengan Mas Panggah. Mungkin awal 1970-an di Taman Ismail Marzuki. Tapi terjalinnya persahabatan kami adalah ketika saya tinggal di Surakarta pada 1978-1979.

Waktu itu ada dua kelompok bersahabat yang pendekatannya berbeda: yang satu adalah seniman Akademi Seni Karawitan Indonesia dan Pusat Kesenian Jawa Tengah bersama para seniman seni rupa Universitas Sebelas Maret, dan yang satu lagi adalah kelompok Suprapto Suryodarmo. Yang pertama kuat dengan pendekatan “seni” (teknik dan estetika) dan yang kedua (Suprapto) persepsinya “spiritual”, tanpa struktur. Perdebatan intensif kedua kelompok itu tidak pernah mencapai kesepakatan, tapi tak pernah putus, atau bermusuhan.

Mas Panggah tidak banyak terlibat dalam perdebatan, mungkin ia tak tertarik, atau tak menganggap perdebatan itu perlu. Tapi ia mendengar dan mencerna. Ia terlihat berdiam luarnya, tapi aktif dalamnya, untuk kemudian ia wujudkan dalam kerja.

Mas Panggah bukan pendiam seperti Begawan Ciptoning. Ia bisa bicara lantang, protes keras, dan mengamuk seperti Baladewa ketika terjadi sesuatu yang menurutnya tidak adil, tidak transparan, dan merugikan orang banyak. Protes pertamanya, dia menambahkan, adalah pada awal 1970-an ketika turut menjadi musikus dalam pertunjukan Ramayana Prambanan, di mana para penari mendapat honor yang lebih besar ketimbang musikus. Sekitar 2010, ia marah kepada produser besar dan menolak menjadi komposer walau dengan bayaran sangat tinggi—hingga lebih dari Rp 1 miliar—sementara para musikus lain akan dibayar sangat rendah.

Kaki Mas Panggah menapak di dua mazhab: tradisi dan modern, Jawa dan Nusantara, pribumi dan asing, intuisi dan ilmu, serius dan kelakar, diam dan berontak. Pegangannya, jika harus menyebut satu, adalah profesional. Jika ada satu kata lagi, berkarya.

Sebagai dosen, ia terkenal sebagai guru, pamong, atau pembimbing keras: ketat dengan prinsip profesional itu, baik karya seni maupun kajian akademis. Mahasiswa yang tak kuat akan menyingkir, mencari pembimbing lain. Sebaliknya, mahasiswa yang “butuh pintar” akan lekat, untuk belajar dan kerja, dan menganggapnya sebagai “bapak” yang penuh kasih-sayang.

Mas Panggah tak suka jargon, termasuk gelar penghormatan seperti empu, maestro, dan profesor. Ada tulisan yang tepat untuk melukiskannya, dari seorang seniman muridnya yang terkenal karena berbakat dan, menurut saya, cerdas: Peni Candra Rini.

“Supanggah lebih nyaman menyebut dirinya sebagai pengrawit,” dalam artikelnya pada 2019. Peni menuliskannya juga dalam sebuah tembang. Tiga baris di antaranya:

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Weninging ludira rasa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Welas asih lan kinasih nenggih

Karya tangguh hamrantasi

(Dari bening darah rasamu/Dan cinta kasihmu itu/Segala beban terpikul ringan [terjemahan dari penulisnya])

Mas Panggah adalah seorang akademikus, etnomusikolog, yang mendapat gelar doktornya di Prancis. Tapi ia hampir tak pernah mau mendiskusikan teori-teori akademis itu dengan saya. Ketika suatu waktu muncul pertanyaan tentang itu pun, penanyanya malah dia arahkan kepada saya: “Dia yang etnomusikolog,” ucapnya, sambil berkelakar.

Mas Panggah bukan tak menggeluti bidang akademis. Ia hanya enggan berbicara teoretis, definisi-definisi baku yang mengarah pada benar-salah. Dari sisi etnomusikologi, ia menghindari sikap judgmental, harus mengutamakan data dan analisis. Tapi dari sisi kesenimanan ia butuh keyakinan nilai, baik-buruk, enak-tidaknya, yang memerlukan kepekaan intuitif, yakni sebuah kekuatan yang tak jelas tapi tak gamang, yang “lunak tapi keras.”

Hal itu pula rasanya yang membuat saya—bersama Suprapto Suryodarmo dan Ben Suharto—senang berkumpul, nyaman bersahabat dengan Mas Panggah, hingga merasa sebagai saudara. Beberapa kali saya menginap di rumahnya, istrinya dan putra bungsunya, Wirid, yang kala itu masih kecil, mengatakan kamar depan itu adalah “kamar Oom Endo.”

Suatu waktu saya mendapat pesan pendek, Mas Panggah menanyakan kapan bisa datang: “Lagi rehab pendapa kuno dari Jepara,” tuturnya. Ketika saya datang, ia sedang memasang lantai dengan bahan teraso. Ia susun sendiri kepingan-kepingan bahannya, membentuk ornamen kaligrafi huruf Arab. Baru saat itu, saya tahu bahwa sahabat karibku itu muslim.

Itu tidak mengagetkan—seperti saya baru tahu bahwa Suka Hardjana itu Katholik pada waktu ia meninggal. Kami memang tidak pernah mempertanyakan “agamamu apa?” dalam bercengkerama kreativitas. Walau kami tahu Suprapto itu Buddha, Ben Suharto Katholik, agama tak pernah menjadi percaturan, tak pernah menjadi minat perumusan “identitas,” atau “jati diri.” Padahal kerja bersama Mas Panggah pun saya alami sejak pembuatan film November 1828 (sutradara Teguh Karya, 1978), Tempest of Borobudur (penata tari Katsura Kan), Festival Gamelan Internasional di Vancouver, Adelaide Festival, di program-program Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, dan di Lembaga Pendidikan Seni Nusantara.

Yang saya lihat sekarang, Mas Panggah telah mengukir Jawa, mengukir dunia dengan karya-karya musik fenomenal. Karyanya yang saya saksikan tidak banyak, tapi merentang panjang, 1970-an hingga tahun-tahun kemarin. Hal itu antara lain dimulai dari Pekan Penata Tari Muda dan Penata Musik Muda di Dewan Kesenian Jakarta, King Lear (sutradara Ong Keng Sen), I La Galigo (sutradara Robert Wilson), hingga Setan Jawa (sutradara Garin Nugroho). Semuanya mengagumkan, mengejutkan, dan membanggakan. Itu semua dengan sendirinya menjadi “identitas” Rahayu Supanggah, yang tumbuh tanpa diniatkan.

Karya Mas Panggah yang paling saya sukai adalah musik pengiring film bisu Setan Jawa dengan sutradara Garin Nugroho. Komposisinya memakai gamelan perangkat besar bersama musik Barat. Semuanya didasari skor ketat, tepat dalam waktu, seiring dengan pemutaran filmnya yang pasti. Kebisuan film Setan Jawa itu dibuat bukan karena ketiadaan teknologi seperti pada zaman awal munculnya film. Gambar-hidup itu fisiknya “mati”, hanya pemutaran rekaman. Tapi, dengan musik-hidup, gambar pun menjadi hidup, menjadi bernapas. Musikusnya membelakangi layar film, menghadap penonton. Bunyi-bunyi seperti memancar ke belakang, yang kemudian sampai pada mata dan telinga penonton. Terciptalah panggung tiga dimensi baru. Komposisi Mas Panggah seolah-olah mengejewantahkan gambar yang “jauh dan lampau” menjadi “dekat dan kini”.

Lahirnya seorang seniman seperti Mas Panggah bukan semata takdir. Karyanya, yang mustahil dideretkan di sini, seperti halnya pengakuan dan penghargaan-penghargaan bergengsi, dari lingkup lokal, nasional, ataupun global, adalah buah kerjanya yang keras, serius, dan panjang. Jihadnya adalah memerangi kelemahan diri, dari ketidaktahuan dan kemalasan, untuk menumbuhkan kecerdasan dengan ketekunan.

Setelah terkena stroke beberapa tahun lalu, tubuhnya lemah, sangat lemah. Tapi ia tak menyerah. Pada Festival Gamelan Internasional tahun lalu, ia tetap mau naik panggung, walau harus dipapah, untuk memimpin ensambel. Ia tetap memberi sambutan walaupun telah sulit berbicara. Ia seperti tak mau menggubris ajal. Ia tak memikirkan bekal untuk dibawa ke akhirat. Ia mau terus bekerja untuk kita semua yang masih hidup. Tinggalannya sekarang adalah yang dibawanya ke alam sana. Semoga benar demikianlah, Mas. Tinggalanmu yang besar ini akan menenteramkanmu bersemayam di situ, di alam yang tidak kami ketahui. Amin.

ENDO SUANDA, ETNOMUSIKOLOG, TINGGAL DI BANDUNG
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus