Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Ribut dan magis seperti musik bali

Teater mandiri bersama putu wijaya mementaskan lakon "aib" di tim jakarta. temanya hangat untuk indonesia, kalimatnya kedengaran lebih keras dari biasanya. menjelma menjadi teater seni rupa fantastis.

5 November 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AIB Karya & Sutradara: Putu Wijaya Penata Artistik: Roedjito Musik: Harry Roesli SAAT Baginda sedang melakukan perundingan dengan Tamu Agung dari luar negeri untuk mendapatkan bantuan pinjaman, utang, modal, dan teknologi, tiba-tiba keadaan jadi kacau balau. Gara-gara salah seorang Panitia Kerajaan kehilangan sebuah tas. Tas berwarna cokelat dan kosong. Sudah tentu, Baginda dengan seluruh aparatnya dan bahkan rakyatnya menjadi marah. Sungguh aib di depan Tamu Agung mengajukan persoalan sepele seperti itu. Bagi Baginda, adalah suatu kegilaan, di tengah persoalan "besar" ada orang kecil yang berani mengajukan persoalan "kecil". Sebaliknya, bagi Si Panitia alias orang kecil, persoalan tas adalah persoalan "besar" dan akan merupakan aib baginya. Tas yang hilang itu tas pinjaman. Bahkan merupakan persoalan hidup dan mati. Tas cokelat kosong itu kepunyaan tetangga. Dia bisa celaka kalau tidak dapat menemukan dan mengembalikan tas itu. Dengan keterampilan seorang seniman dan perajin Bali, dalam lakon Aib, Putu membeberkan suatu tema yang bukan saja aktual, tapi juga cukup fundamental. Setidak-tidaknya, sebuah tema yang hangat untuk Indonesia saat ini. Sambil nyabet sana-sini, kritik sana-sini, secara pintar Putu mengembangkan permainan imajinasinya, berlapis, seolah-olah tak habis-habis. Soal harga diri bangsa dan pinjaman luar negeri, soal keadilan dan setumpuk persoalan lain, sampai masalah pergantian kekuasaan muncul silih berganti atau tindih-menindih. Penting dicatat, kali ini kalimat-kalimat Putu kedengaran lebih keras daripada biasanya. Namun, sindiran-sindirannya tetap tidak sampai menyakitkan, sekalipun bagi pihak yang terkena. Aib dipentaskan di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki, Jakarta, sejak 27 Oktober hingga 3 November, juga dengan gaya khas Putu Wijaya. Tontonan yang penuh dengan permainan (game) dan berbagai hiasan (ornamen). Juga tak ketinggalan ondel-ondel, boneka-boneka, dan bunyi degup jantung. Dengan iringan musik serta bunyi-bunyian Harry Roesli dan tatanan artistik Roedjito, pementasan Aib merupakan sajian bunyi dan rupa yang menakjubkan. Mulai dari penonton masuk sampai bangkit dari kursi, musik Harry seolah tidak pernah kehabisan bunyi untuk mempertegas suasana drama. Dan sebagai sutradara, Putu begitu rajin mengolah pentas dan pemain-pemain, dalam berbagai perubahan komposisi gerak serta tablo-tablo yang sangat enak dipandang mata. Penuh gerak, bunyi, dan warna-warni. Tapi berbeda dengan pementasan-pementasan Putu yang terdahulu, kali ini pesona gerak, rupa, dan bunyi tidak mendapat imbangan memadai dari pesona seni akting para pemainnya. Boleh jadi, permainan Putu, permainan warna, cahaya, dan bunyi dalam Aib terlalu kuat untuk pemain-pemainnya. Tidak jarang jumlah pemain yang sebetulnya tidak terlalu sedikit itu kadang kurang mampu "memenuhi" atau "mengisi" ruang yang ada. Beberapa kali panggung Graha yang memang lebar kadang terasa lengang, nyaris kehilangan jiwa. Hampir merupakan adat Putu, semua elemen yang ada dalam pertunjukannya sering berpadu, kadang malah beradu, tanpa ada tekanan tertentu samasekali. Dan semua itu biasanya menghasilkan suatu simfoni keajaiban-keajaiban. Ribut namun magis seperti musik Bali. Hanya saja, kali ini vokal kebanyakan pemain kadang begitu lemahnya diisap oleh kekuatan musik Harry Roesli. Bergantungan mikrofon-mikrofon di pentas, tapi sayang sekali persoalan dasarnya bukan persoalan mikrofon. Suara mereka bukan tidak kedengaran melainkan tidak cukup mampu meyakinkan para pendengarnya. Pada malam pementasan 28 Oktober, para pemain lama mengesankan kekurangan energi, sementara barisan pemain baru, lebih banyak jumlahnya, masih dililit beberapa kelemahan dasar. Akibatnya, dalam pertunjukan tidak tercipta keseimbangan seperti biasanya. Segi rupa, warna, dan bunyi jadinya mengesankan terlalu kuat. Dengan keadaan seperti ini, tak terhindarkan keperkasaan Putu menjadi lebih kelihatan. Teater Sutradara Putu Wijaya menjadi muncul lebih nyata. Untung saja, ada Budi dan Alimin, dua orang pemain Putu yang setia. Meskipun tidak dalam kondisinya yang prima, dengan keras mereka selalu berusaha membangun, menjaga, dan memelihara irama. Bersama Gandung dan pemain yang memerankan Penterjemah, mereka bergantian menciptakan atau berusaha menciptakan permainan yang menyegarkan penonton. Permainan yang dikembangkan Putu dalam pementasannya, setidak-tidaknya kali ini, bukan semata-mata permainan asosiasi dan imajinasi, tapi juga suatu permainan pikiran yang pintar. Bukan teater bodoh seperti pernah dinyatakan Putu sendiri. Lebih-lebih Aib termasuk salah satu karya Putu yang penuh kalimat-kalimat. Malah mengesankan terlalu penuh kalimat. Teater Putu teater pintar. Karena itu, gaya permainan atau akting yang "epis-obyektif" sangat diperlukan lakon Putu. Paling tidak, para pemain harus masuk dalam gaya akting "pura-pura" alias "main-main". Peran harus menjadi orang ketiga dan seterusnya bagi para pemain. Pemain harus mampu bermain dan bermain-main dengan peran yang dibawakannya. Pemain-pemain yang cerdas serta teknik serta alat yang cerdas akan mampu mengimbangi kecerdasan atau kepintaran dan ketangkasan Putu. Dengan kekuatan ini, akan jelas nanti bahwa teater Putu memang salah satu puncak karya teater Indonesia, seperti pernah dinyatakan Noorca Marendra dalam salah satu tulisannya. Sebagian besar pemain rupanya masih memerlukan persiapan lain yang lebih lama untuk menyajikan Aib yang padu. Sampai sepertiga awal pertunjukan, para pemain mengalami kesulitan dalam menciptakan situasi dramatik yang dikehendaki. Dan yang kelihatan paling payah, sayang sekali, justru pemain yang memerankan Si Panitia yang kehilangan tas. Selain itu, boleh jadi juga naskah Putu sendiri kali ini kurang begitu mulus. Ada kesan, Putu terlalu asyik dengan gaya serta permainan yang dikembangkannya. Ada banyak adegan dan dialog yang agak berkepanjangan. Namun pelan-pelan, lambat-lambat, dan dengan susah-payah tontonan Aib menjelang pertengahan sedikit demi sedikit mulai kelihatan sosoknya. Dan ketika persoalan pokok yang ingin dikemukakan muncul lebih tegas pada bagian penghabisan, ketika si orang kecil yang kehilangan tas menduduki takhta Baginda dalam topeng binatang, muncul seseorang yang kehilangan sandalnya. Sandal pinjaman. Semua orang tidak mempedulikan orang kecil ini. Juga orang kecil yang dulu kehilangan tas yang kini menduduki takhta. Pertunjukan lalu menjelma menjadi sebuah teater seni rupa yang fantastis. Kuat dengan gerak, rupa, warna, dan cahaya. Ribut namun magis, seperti musik Bali. Putu memang anak Bali ! Ariffin C. Noor

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus