SABETAN Putu Wijaya kali ini tampaknya luncas. Pemetasan Aib Teater Mandiri (lihat Ribut dan Magis Seperti Musik Bali) terasa tak bergetah, meski penuh gelegar dan rimbunan warna. Paling tidak pada dua malam pertama penonton sepi -- padahal publikasi cukup gencar. Tidak heran bila peminat teater bertanya, apa sih sebenarnya yang terjadi pada salah seorang pendekar piawai teater Indonesia itu. "Sepulang dari Amerika, saya merasa tidak ada perbedaan apa-apa," kata Putu, selepas latihan Aib di TIM, pada Priyono B. Sumbogo dari TEMPO. "Apa yang telah saya lakukan selama ini menurut saya sudah tepat," ujarnya lagi. Tapi, dalam pengakuannya, dia sempat tertanya-tanya, apa telah terjadi perubahan pada dirinya. Kesangsian ini muncul justru pada saat persiapan awal pementasan Aib, naskah yang menang dalam sayembara Penulisan Lakon Dewan Kesenian Jakarta, 1986. Ternyata, pengalaman 5 kali pementasan selama 3 tahun di AS dengan pemain Amerika memang memberi pengaruh pada Putu dalam proses penggarapan Aib. "Di Barat dasarnya adalah ilmu jiwa dan analisa," kata Putu. "Sehingga pemain Amerika kesulitan sekali dengan pola kerja saya yang mengutamakan proses, atau process oriented." Dan wajar kalau akhirnya, dalam mengangkat naskahnya, Putu selama di Amerika (Aum dan Gerr) berusaha menyesuaikan pola kerjanya dengan pola penggarapan naskah yang biasa dipakai oleh pemain Amerika. Yaitu, lebih mengutamakan perhitungan logika, untuk mengejar hasil akhir product oriented. Dan setelah Putu kembali ke Indonesia apa yang dilakukannya dengan Aib? "Untuk mendapat hasil akhir yang lebih baik, saya menggarap unsur seni rupa dan bunyi lebih dari pertunjukan saya yang lalu," katanya. "Tapi rupanya pemain saya tak kuat mengangkat naskah saja," ujar Putu. Dan akhirnya pemain Aib tidak kuasa menyeruak dalam timbunan rumbai warna, ingar-bingar dan meriah. Mendapatkan pemain yang siap dan mampu larut dalam latihan intens masih menjadi problem kelompok teater mana saja, termasuk Teater Mandiri. "Tapi mungkin juga saya yang belum jelas menyampaikan apa yang saya maui" katanya. "Bukan masalah jumlah masa latihan. Ada pertunjukan saya yang latihannya singkat, tapi hasilnya baik. Boleh jadi juga pemain Teater Mandiri sudah terlalu lama beristirahat, sehingga mereka sulit untuk menyesuaikan diri dengan proses latihan yang biasa dilakukan," analisa Putu. Terlepas dari mutu pertunjukan yang dikaitkan dengan proses latihan, sepinya penonton pada pertunjukan Teater Mandiri kali ini agak merisaukan. Memang, jumlah penonton tidak selalu bisa dijadikan ukuran bermutu tidaknya sebuah pertunjukan. Tapi kenapa penonton Putu seperti menghilang? Kalau kita simak perjalanan Teater Mandiri sejak pementasan pertama, Aduh (1974), memang beberapa kali penonton Putu mengalami pasang surut. Misalnya, panggung pementasan Nol (1976) yang lengang. Padahal, sebelumnya, Lho dan Dor melesat -- seperti ketika pementasan Gerr, Aum dan Tai, sebelum Putu ke AS. "Mungkin juga penonton sudah tidak suka dengan pementasan saya. Kalau ternyata benar, saya akan mengubah strategi. Saya harus belajar lagi, walau tidak mau begitu saja berkompromi dengan selera penonton. Yang utama bagi saya adalah kepuasan berekspresi," kata Putu tandas. Burhan Piliang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini