Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Risi, tapi Perlu

Untuk kedua kalinya Indonesia Performing Arts Mart diselenggarakan. Upaya mencarikan pasar bagi kesenian kita di luar negeri.

28 Juni 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Telapak tangan I Made Djimat, 57 tahun, mendadak dikatupkan seperti sungkem. "Durusang medal… (silakan…)," katanya. Lalu ia mengganti topeng penasar (abdi) yang dikenakannya dengan topeng alusan yang sering dipakai untuk peran raja. Dan masuklah sang raja. Sore itu, putra maestro joget pingitan Ni Cenik (82 tahun) ini, di panggung Wantilan Agung Rai Art Museum, Ubud, memainkan sendiri pelbagai karakter topeng, dari topeng tua, penasar, alusan, bondres (topeng jenaka), sampai topeng yang dianggap keramat, Sidakarya.

Djimat, maestro tari topeng pajegan dari Batuan, tampil dalam Indonesia Performing Arts Mart (IPAM). "Saya ingin mengundang lagi Djimat ke Florence tahun depan," kata Leonardo D'Amico, Manajer Artistik Festival Musica dei Popoli. Djimat pernah tampil di Florence, Italia, pada 1979. Berikutnya dalang I Wayan Sija dari Sukawati, Gianyar. Terakhir, tahun lalu, Blacius Subono dari Solo membawakan Karna Tanding, sebuah eksperimen wayang berbagai kelir, dengan dua dalang. "Sambutannya luar biasa, meski ada kritik tentang bayang-bayang wayang, lebih magis dengan blencong, bukan lampu," katanya.

Inilah perhelatan yang digagas Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Tujuannya memasarkan kesenian kita ke festival mancanegara. Tahun lalu upaya itu ditangani sendiri. Kini Anmaro Asia digaet sebagai konsultan. Anmaro adalah lembaga promosi kesenian Asia yang berpusat di Amsterdam. Lembaga inilah yang memungkinkan Blacius Subono berpentas di Italia dan Belanda tahun lalu. "Bulan depan kami akan ke Portugal dan Spanyol. Itu juga karena Robert van Bos (Direktur Anmaro Asia)," kata Blacius Subono.

Belasan manajer festival yang datang ke Nusa Dua adalah hasil jaringan Anmaro. Istilah buyer dan seller mungkin tidak tepat untuk dunia kesenian, tapi pada prinsipnya forum ini dimaksudkan mencari pembeli. "Ini memang sesuatu yang baru bagi kesenian kita. Memang risi karena tari kita basisnya spiritual," kata Miroto, penari Yogya.

Tentu kesepakatan tak langsung terjadi. Eleanor Gusman dari Asian Music Circuit, misalnya, tertarik dengan Rasinah, 75 tahun, penari topeng Indramayu yang tampil memukau. "Saya sudah ditanya-tanya Eleanor. Katanya, dia sedang mengusulkan ke direkturnya," ujar Edy Supriyadi, cucu sekaligus manajer Rasinah. "Saya ada kesepakatan dengan Australia, tinggal deal harga," tutur Eri Mefri dari Nan Jombang Group. Seniman sekelas Miroto, yang pernah dibayar US$ 2.000 (di luar transportasi dan akomodasi) selama seminggu ketika bermain untuk karya Peter Sellars, Stravinsky's Bijbelse Stukken, sudah memiliki harga dasar. "Untuk pentas di Eropa, saya mematok US$ 1.000. Untuk Asia dan Australia US$ 750," katanya.

Keuntungan seniman yang datang adalah bisa mengenal bermacam karakter festival di mancanegara. Tokyo Performing Arts Mart, misalnya, lebih mencari yang kontemporer, sementara Festival Musica dei Popoli sesuatu yang unik. "Saya pergi ke pedesaan Hanoi, Vietnam, untuk mencari wayang air Vietnam yang tidak turistik," kata Leonardo D'Amico. Tontonan wayang air menampilkan boneka naga, nelayan, dan ikan yang seperti bergerak sendiri di kolam lantaran para dalang memainkannya di belakang paviliun memakai bambu. "Sewaktu saya tanya apakah karya saya, Penumbra, cocok berpentas di festivalnya, dia bilang tak cocok, tapi dia berjanji menghubungkan saya dengan festival lain di Italia yang lebih pas," kata Miroto.

Memang IPAM masih banyak kekurangan. "Ibarat sebuah telur yang baru menetas," kata Sri Hastanto, Deputi Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Forum ini masih mencari format. "Saya ingin banyak menonton teater modern," tutur Neo Kim Seng dari Esplanade Singapura. Ia merasa letih setelah pada hari kedua berturut-turut tampil wayang orang dari Keraton Surakarta dan Sekar Budaya Nusantara. Dalam IPAM kali ini, penampil teater modern hanya satu, Teater Payung Hitam. Judy Mitoma, profesor seni pertunjukan dari Universitas California, Los Angeles, mengusulkan agar para manajer festival ini dibawa ke tempat kesenian itu berasal supaya bisa langsung merasakan aura aslinya. Misalnya menonton langsung bedaya di Keraton Solo atau Yogya.

"Idealnya nanti pemerintah hanya sebagai fasilitator. Grup-grup datang dengan biaya sendiri," kata Surya Yoga, ketua penyelenggara. Tentu lalu diperlukan semacam dewan kurator yang menentukan siapa yang bisa berpentas dan siapa yang hanya membuka stan. Kali ini yang hanya membuka stan sedikit: Pan Sumatra Ensemble, Sak-Sak Dance dari Nusa Tenggara Barat, Raff Dance dari Surabaya, dan Syofani Music dari Padang. Bagaimanapun, sebuah jalan ke dunia internasional telah dirintis.

Seno Joko Suyono (Bali)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus