Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEORANG sahabat mengabarkan lewat short message service (SMS) bahwa dia baru saja menerima ucapan dalam bentuk kartu cetak. “Ini langka dan saya memang merindukannya,” ucapnya. Alasannya, kartu cetak tidak cuma minta dipandang, tapi juga minta dipegang, untuk kemudian disimpan sebagai kenangan. Ini berbeda dengan ucapan elektronik yang dikirim lewat gadget, yang sekali dilihat sesudah itu lewat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perbincangan dunia grafika menjelaskan bahwa kartu salam (greeting card) atau karusel (kartu ucapan selamat) dalam bentuk cetak memang sudah memasuki “pintu kenangan”. Dan pintu itu mulai terbuka sejak dekade pertama 2000. Sutripto D. Sasomo, pencetak dan pelopor desain unik karusel, mengatakan, “Menjelang 2010 tiras kartu ucapan sudah menyurut tinggal 40 persen saja. Dan itu adalah perjalanan menuju 0,5 persen. Kejayaan kartu ucapan yang dirintis oleh penerbit Kolff & Co seabad lalu selesai sudah,” ujarnya. Ketika dia wafat pada 2014, peredaran belasan ribu karuselnya tinggal sekitar 20 persen saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karusel Idul Fitri berilustrasi abstraksi panil dan bergambar wayang, Gareng. Agus Dermawan T
Sampai pertengahan 2021, kita kadang masih melihat tumpukan atau tebaran karusel di rak atau boks minimarket. Ratusan kartu berbagai motif itu, yang merupakan sisa stok dari berbagai penerbit, dikemas per satuan dalam plastik bening dan dipajang sekadarnya. Bandingkan situasi ini dengan pemajangan pada 1990-an, yang umumnya menggunakan rak khusus atau rak display putar, sehingga terlihat keren dan eksklusif.
Padahal dalam tumpukan itu terdapat produk karusel yang memaktubkan motif-motif yang serba indah, seperti yang ditunjukkan oleh produk Paper Moon, Imperial, DaySpring, dan Prima. Juga Biscay, John Sands, dan Hallmark untuk menyebut yang luar negeri. Bahkan ada yang eksplisit menyampaikan nilai budaya, seperti terbitan Impact dan Tropix, yang banyak mengekspos gambar aneka peninggalan artistik arsitektur Nusantara zaman dulu. Juga desain berani Trips Graphic Art yang memampang motif-motif batik kelas tinggi, sehingga menambah kecintaan orang terhadap batik.
Sementara itu, diketahui bahwa—di luar tumpukan itu—karusel juga diproduksi secara spesifik oleh hotel, bank, galeri, dan museum. Gambar yang dicantumkan pastilah menyodorkan hal-ihwal yang berkaitan dengan institusinya. Edwin’s Gallery pernah menghadirkan serial gambar topografi Hindia Belanda abad ke-18 dan ke-19 koleksinya dengan tampilan menarik. Seperti gambar baheula karya Van de Velde, J.C. Rappard, dan Van Pers yang merekam alam dan adat budaya berbagai daerah. Kapan publik umum bisa tahu soal itu apabila bukan lewat karusel?
Karusel cetak memang sedang dalam proses tutup buku. Tak terkecuali kartu bernuansa humanis yang dikreasi oleh seniman tunadaksa (cacat tangan) produksi Association of Mouth & Foot Painting Artists. Penawaran penjualan yang dilakukan lewat online ke seluruh dunia kini kurang direspons. Padahal dari uang penjualan karusel (serta kalender) itulah mereka melanjutkan hidup.
Surutnya jumlah edar karusel ini disebabkan masyarakat memilih sarana media nonkartu cetak, seperti SMS, multimedia messaging service (MMS), Yahoo Messenger, BBM (BlackBerry Messenger), serta media online. Lewat layar telepon seluler, masyarakat mengucapkan kegembiraan Idul Fitri, Idul Adha, tahun baru Imlek, hari raya Galungan dan Kuningan, Waisak, sampai Natal dan tahun baru Masehi.
Maka, di tengah riuhnya kenyataan ajaib yang mesti diterima itu, masyarakat bolehlah merindukan gambar cetak karusel bermutu, yang tidak hanya elok tampilannya, tapi juga unik dan mengejutkan kontennya.
Misalnya seri karusel Idul Fitri yang menggunakan gambar tokoh wayang kulit Yudhistira dan Arjuna. Bahkan ada juga punakawan seperti Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong. Banyak yang bertanya apa korelasi Idul Fitri dengan tokoh-tokoh wayang Mahabharata, yang notabene mahakarya “milik” kaum Hindu. Untuk mendengar jawabannya ternyata kita harus menengok lapisan-lapisan hikayat jauh di belakang.
Karusel berhiaskan gambar topografi Nusantara. Agus Dermawan T
Syahdan pada abad ke-15 Sunan Kalijaga aktif menyebarkan ajaran Islam di Jawa. Untuk memudahkan pengajaran, digunakanlah lelakon wayang. Pertimbangannya, wayang telah menjadi tontonan yang meresap dalam masyarakat. Lalu, agar pengajaran terasa ringan dan gembira, Sunan Kalijaga menciptakan karakter Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong. Nah, punakawan cerdas dan lucu inilah yang menyampaikan ajaran. Maka, dalam karusel, Islam dan keluarga Semar nyata begitu dekat.
Pada masa jayanya, karusel acap pula muncul dengan kreasi yang tidak sekadar iluminatif, tapi juga filosofis dan reflektif. Tak hanya menghadirkan gambar ketupat, menara masjid, bedug, dan kaligrafi Arab, karusel mengangkat ilustrasi yang berkonten persoalan sosial, dengan mengungkap jejak-jejak perilaku yang kompleks. Salah satu contohnya adalah selembar karusel terbitan 1990, yang menampilkan gambar Batara Guru menaiki Lembu Nandi. Apa hubungan sehampar hari raya dengan ikon carangan (rekaan) cerita wayang? Karusel itu pun berkisah.
Batara Guru, seperti yang terceritakan dalam Wayang Purwa, disebut-sebut sebagai dewa paling sempurna tubuhnya dan diramalkan akan menjadi dewa penguasa jagat raya. Mendengar ramalan ini, Batara Guru lantas besar kepala dan menyombong ke mana-mana. Sang Hyang Tunggal khawatir atas kesombongan ini, sehingga Batara Guru diberi cacat tubuh dengan kulit belang di bagian lehernya dan bercaling. Hukuman ini belum membuat Batara Guru sadar. Dia masih juga menyombong bahwa, dengan giginya yang bercaling, dirinya justru akan bisa mencengkeram seluruh isi dunia. Sang Hyang Tunggal kembali murka melihat arogansi itu. Batara Guru pun kembali dikutuk dengan dijadikan bertangan empat.
Pada suatu kali Batara Guru turun ke bumi dan melihat manusia melahirkan bayi. Ketika melihat bayi manusia yang kecil dan tidak mampu berjalan, Batara Guru mencemoh, “Lho, mengapa manusia tidak seperti aku yang begitu lahir langsung perkasa? Betapa ringkihnya manusia!” Mendengar kesombongan tersebut, Sang Hyang Tunggal lagi-lagi menghukumnya. Sejak saat itu Batara Guru dibuat lumpuh kaki, sehingga ke mana-mana harus naik Lembu Nandi.
Gambaran ihwal Batara Guru dan Lembu Nandi itu selaras dengan Surat Luqman ayat 18 dalam Al-Quran: “Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong), dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri”. Gubahan gambar di atas tak pelak merupakan petunjuk betapa sesungguhnya karusel yang kreatif akan banyak menghadirkan makna lewat gelaran cerita, lewat lambang-lambang yang dipresentasikan.
Dalam sosiologi agama, Tuhan dipercayai datang dengan dua macam perlambangan. Pertama, dengan lambang yang dipilih-Nya sendiri (theophania spontanea), yang muncul dalam bentuk segala sesuatu yang serba menakjubkan dan menyenangkan. Misalnya pohon rindang, mata air jernih, serta gunung besar dan indah. Atau tokoh yang dipilih-Nya sendiri, misalnya Muhammad, Yesus, atau Siddharta Gautama. Kedua, dengan lambang-lambang yang didatangkan secara invokatif oleh manusia pemuja-Nya (theopania invocativa). Di sini Tuhan diwakili keberadaannya di dunia, seperti dalam bentuk pendeta, imam, dan orang sakti. Atau dalam bentuk abstrak berupa aneka mantra dan jampi-jampi.
Karusel keluaran Percetakan dan Penerbit Kolff & Co, Batavia,tahun 1900. Agus Dermawan T
Seniman, seperti kreator gambar karusel, adalah homo religiosus yang secara naluriah memahami perlunya dunia perlambangan itu, baik yang spontan maupun invokatif. Sebab, dunia lambang adalah elemen paling utama untuk menegaskan ide-ide kesenian. Batara Guru naik Lembu Nandi adalah contoh perlambang visual yang dilahirkan seniman.
Zaman memang sudah berubah. Kini karusel berkelebatan lewat media digital nonkartu. Menarik, tentu. Namun yang tampak selama ini baru sebatas gambar-gambar indah, lucu-lucu, dan bernilai hiburan. Belum terjumpai atraksi visual yang menawarkan keluasan pikiran dan kedalaman iman. Sementara itu, nilai kesejenakan yang ditawarkan media nonkartu membawa segala pesan yang disampaikan cepat melintas dan hilang tanpa bekas.
Banyak yang berharap muatan visual yang acap terdapat dalam kartu-ucapan era cetak bisa diadopsi oleh kreator media nonkartu zaman sekarang. Dan diolah dalam gadget yang menjanjikan seribu kelebihan.
Ujung kalam kita mungkin boleh berharap agar nasib karusel ini sekadar berputar seperti carousel, permainan rangkaian kuda-kudaan, yang diputar keliling oleh mesin rotater. Yang membuat seekor kuda yang semula berada di satu titik segera kembali ke titik yang sama. Akankah karusel yang dulu berseri-seri bakal segera kembali ke titik yang menggembirakan hati?
AGUS DERMAWAN T., PENGAMAT SENI RUPA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo