Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Pengaruh DNA Neanderthal bagi Genom Kita

Genom manusia modern tertua di Eropa mengandung 3,4-38 persen DNA Neanderthal, lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya. Gen sepupu manusia modern itu mempengaruhi biologi kulit dan respons imun manusia saat ini.

15 Mei 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TERLETAK di ngarai antara Sungai Dryanovo dan Andaka, Gua Bacho Kiro hanya berjarak 300 meter dari Biara Dryanovo di Bulgarka Nature Park, Dryanovo, sekitar 212 kilometer sebelah timur Sofia, Bulgaria. Seperti labirin yang memiliki galeri bertingkat empat dan koridor sepanjang 3.600 meter, gua itu diterangi lampu untuk memperlihatkan keindahan stalaktit, stalagmit, dan speleotem. Bukan hanya obyek wisata yang membuat Gua Bacho Kiro masyhur. Sebab, di tempat itulah ditemukan rangka manusia tertua di Eropa yang hidup sekitar 44 ribu (45.930-42.580) tahun lalu.

Hominin dari Gua Bacho Kiro ini berperawakan kekar dan memiliki gambaran morfologi yang berbeda dengan manusia modern (Homo sapiens), terutama bentuk tengkoraknya yang lebih memanjang, tulang iga yang membentuk rongga dada seperti tong, dan hidung yang besar. Para ilmuwan tertarik mengungkap misteri manusia Gua Bacho Kiro ini. Penelitian mutakhir dipublikasikan oleh tim peneliti yang dipimpin Matedja Hajdinjak dari Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology di Leipzig, Jerman, dalam majalah Nature edisi 8 April 2021.

Svante Pääbo dan Johannes Krause yang menjadi penulis bersama dalam laporan ilmiah tersebut tidak asing bagi kami. Keduanya adalah kolaborator dalam penelitian untuk mengungkap keunikan asam deoksiribonukleat (DNA) Homo floresiensis yang fosilnya ditemukan di Gua Liang Bua, Flores, Nusa Tenggara Timur, pada 2001. Sayangnya, penelitian pada 2018 itu gagal karena DNA terfragmentasi. Diakui Pääbo dan Krause, meneliti tulang atau gigi dari temuan di daerah tropis memang tidak mudah. Dibutuhkan metode dan peralatan yang lebih canggih.

Dalam penelitian terbaru, para peneliti Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology dan 16 institusi lain merunut DNA dari potongan tulang dan gigi geraham yang berasal dari tiga individu yang ditemukan di Gua Bacho Kiro. Hasil analisis data genome-wide DNA manusia Gua Bacho Kiro itu menguatkan temuan terdahulu bahwa terjadi kawin silang antara manusia modern dan Neanderthal yang berlangsung terus-menerus. Transisi antara zaman Paleolitik Tengah dan Paleolitik Atas di Eropa, yang dimulai 47 ribu tahun silam, tumpang-tindih dengan penyebaran manusia modern dan punahnya Neanderthal sekitar 40 ribu tahun lalu.

Analisis terhadap genom Neanderthal dan manusia modern menunjukkan adanya introgresi atau aliran gen di antara keduanya yang terjadi 60-50 ribu tahun lalu. Genom manusia modern non-Afrika biasanya memiliki sekitar 2 persen DNA leluhur Neanderthal. Namun kandungan pada individu Gua Bacho Kiro lebih tinggi, yakni 3,4-3,8 persen. Selain itu, mereka memiliki nenek moyang Neanderthal lima-tujuh generasi sebelumnya. Publikasi mengenai keberadaan fragmen DNA Neanderthal pada manusia modern zaman Paleolitik Atas Awal menjadi sorotan tahun ini, mencuat di antara ribuan hasil studi tentang Covid-19.   

Fosil Neanderthal pertama ditemukan di Lembah Neander, Jerman, pada 1856. Meskipun para peneliti telah mengurutkan DNA Neanderthal dan kerabat manusia lain yang berasal dari masa 430 ribu tahun silam, terdapat kelangkaan informasi genetik dari periode antara 47 ribu dan 40 ribu tahun lalu—dikenal sebagai era Paleolitik Awal Atas. Juga tak ada sama sekali DNA Homo sapiens dari periode sebelum era tersebut. Temuan baru ini telah menambah informasi yang memang belum tersedia, yang sebelumnya baru berupa asumsi.

Banyak bukti yang memperlihatkan adanya percampuran genetik antara manusia modern dan Neanderthal. Hal ini tergambarkan pada data genom populasi non-Afrika, yang tak ditemukan pada genom populasi Afrika Sub-Sahara. Semua itu berawal dari 2010, setelah Ed Green dari Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology melaporkan temuan sekuens atau runtutan basa genom Neanderthal. Temuan ini menggelitik Joshua Akey dan Benjamin Vernot dari Princeton University, Amerika Serikat, untuk melihat implikasi yang sangat provokatif dari perkawinan silang Neanderthal dan manusia modern. Akey mengembangkan metode statistik untuk mencari penanda genetik spesifik leluhur Neanderthal pada genom manusia modern. 

Walaupun pada awalnya penuh keraguan, ternyata David Reich dari Harvard Medical School, Amerika Serikat, bersama Pääbo dan koleganya, Janet Kelso, juga melakukan studi dengan topik sama tapi berbeda pendekatan. Alih-alih berkompetisi, mereka justru berdiskusi dan mensinkronkan waktu publikasi. Dengan hasil sepenting ini, tidak aneh kalau jurnal ilmiah bereputasi seperti Science dan Nature menerbitkannya pada 2014. Asumsi yang diambil kedua penelitian ini adalah kawin silang itu terjadi tidak lama setelah migrasi “Keluar dari Afrika”, mungkin sekitar 70 ribu tahun lalu.

Penemuan besar ini tentu menyulut pertanyaan baru. Apa konsekuensi perkawinan silang itu? Dalam tujuh tahun terakhir, banyak studi untuk mencari jawabannya. Analisis genomik telah menghubungkan varian genom Neanderthal dengan ekspresi berbagai gen atau fenotipe serta respons imun dan berbagai penyakit neuropsikiatrik. Bagaimana sekuens purba mempengaruhi manusia modern saat ini—dibanding dengan leluhur kita 40-45 ribu tahun lalu—masih harus dipelajari. Namun Akey dan Vernot menemukan sekuens yang berasal dari Neanderthal pada manusia modern terutama ada di daerah yang menyandi gen regulator. Artinya, sekuens itu mempengaruhi ekspresi gen. 

Beberapa segmen ternyata mengandung gen yang berhubungan dengan biologi kulit, misalnya faktor yang mengatur perkembangan sel keratinosit pada epidermis. Agaknya, varian ini yang menyebabkan kemampuan adaptasi terhadap perbedaan iklim dan rendahnya kadar sinar ultraviolet. Asosiasi antara varian Neanderthal dan biologi kulit dikuatkan dengan temuan satu bagian genom yang berasal dari Neanderthal pada gen basonuclin 2 yang berfungsi dalam saturasi warna kulit. Individu yang memiliki DNA Neanderthal ini memiliki kulit yang seperti terbakar kemerahan alih-alih lebih gelap.

Peran introgresi varian Neanderthal dengan DNA manusia pada imunitas dilaporkan oleh para peneliti Stanford University, Amerika Serikat, yang dipimpin Peter Parham. Mereka percaya gen sistem imun manusia diturunkan dari keluarga purba, termasuk Neanderthal, dan bisa ditemukan pada populasi Eropa, Asia, dan Oseania. Menurut salah satu peneliti, Laurent Abi-Rached, varian ini agaknya yang menguntungkan manusia modern saat bermigrasi ke penjuru dunia. Kontribusi ini menggambarkan adaptasi terhadap lingkungan di luar Afrika selama Neanderthal hidup ratusan tahun. Termasuk adaptasi terhadap penyakit infeksi, yang merupakan faktor seleksi alam. 

Salah satu contoh varian Neanderthal yang mempengaruhi imunitas manusia modern adalah gen penyandi toll-like receptor. Menurut penemunya, Pääbo, protein ini diekspresikan pada sel dendritik dan mengenali struktur molekul mikroba serta merangsang imunitas spesifik antigen. Pääbo dan koleganya, Hugo Zeberg, melihat daerah yang mengandung susunan basa DNA yang mungkin berasal dari Neanderthal itu pada tujuh loki dari empat kromosom: 6, 12, 19, dan 21. Penelitian yang terbit dalam Proceeding of National Academy of Sciences pada Januari 2021 itu menyebutkan ada haplotipe—urutan DNA yang diwarisi dari satu orang tua—di kromosom 12 pada gen oligo-adenylate synthetase yang sifatnya protektif terhadap gejala berat Covid-19.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Fokus perhatian peneliti juga tertuju pada satu set gen yang terletak di kromosom 6 yang dinamai gen human leukocyte antigen (HLA) major histocompatibility complex (MHC) kelas I. Gen HLA menyandi protein MHC dari dalam sel yang berfungsi mengatur sistem imun. Kompleks ini sangat bervariasi sehingga memungkinkan gen tersebut mengubah-ubah sistem imun adaptif. Bila sel terinfeksi oleh virus, sistem HLA ini yang akan membawa fragmen virus ke permukaan sel sehingga dapat dihancurkan oleh sistem imun. 

Dengan membandingkan daerah HLA genom Neanderthal dengan daerah yang sama pada genom manusia modern, dapat diprediksi setengah dari varian genetik pada satu gen HLA. Tampaknya, varian tersebut yang memberikan perlindungan pada awal kehidupan manusia modern “Keluar dari Afrika” terhadap infeksi bakteri, virus, dan parasit yang muncul di Eropa ataupun di Asia. 

Bagaimana sistem imun tubuh manusia merespons infeksi virus baru seperti SARS-CoV-2 dan peran variasi genomik pada manifestasi klinik Covid-19 menjadi suatu pertanyaan penting. Kolaborasi antarkomunitas genetika manusia yang dinamai COVID-19 Host Genetics Initiative juga melihat pentingnya sistem HLA dalam upaya mencari penyebab penyakit infeksi ataupun autoimun. Variasi HLA diketahui spesifik pada populasi yang berbeda. Di sini, HLA diharapkan dapat digunakan untuk melihat faktor risiko.

Indonesia memiliki Indonesian Genome Diversity Project yang bertujuan mengumpulkan data sekuens genom total populasi Indonesia dari bagian barat ke timur. Studi genom Indonesia pada dua dekade ini telah memberi jawaban terhadap struktur populasi, gambaran migrasi leluhur baik di zaman prasejarah “Keluar dari Afrika” maupun pada zaman sejarah. Manusia Indonesia yang sangat beragam ini ternyata tidak hanya memiliki DNA Neanderthal, tapi juga hominin lain: Denisovan. Pembauran genetik ini memberikan peluang riset seperti studi asosiasi penyakit, mencari faktor risiko ataupun terapi yang cocok bagi individu. Kedokteran presisi yang memanfaatkan data genomik sudah di depan mata.

Jadi pertanyaan apakah Neanderthal—makhluk yang misterius ini—tidak memiliki dampak dalam sejarah manusia atau dia mengubah lintasan evolusi manusia telah terjawab sebagian. Masih banyak pertanyaan yang belum terjawab, yang memicu para peneliti melakukan studi untuk mengungkap misteri tersebut.



HERAWATI SUPOLO SUDOYO, PENELITI LEMBAGA BIOLOGI MOLEKULER EIJKMAN 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus