Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ASAP hitam pekat membubung tinggi dari puluhan cerobong asap dalam jarak berdekatan di sebuah desa di Sidoarjo, Jawa Timur. Pada siang yang terang dan dengan tangkapan kamera drone, pemandangan jerubu berkepul-kepul itu begitu menggelisahkan. Apa yang terjadi di bawahnya juga dapat membuat perut terasa melilit. Asap itu datang dari tungku yang digunakan pabrik pembuat tahu. Bahan bakarnya adalah timbunan plastik, yang disorongkan dengan ringannya ke dalam tungku.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun tahu yang dimasak dengan plastik itu hanyalah satu permasalahan dalam rantai panjang yang karut-marut. Menyesakkan membayangkan dari mana harus mulai mengurainya. Film dokumenter Pulau Plastik yang dirilis pada akhir April lalu mencoba menelusuri rantai itu, menyadarkan bagaimana kita nyaris tercekik di dalamnya, dan—mudah-mudahan—menunjukkan jalan keluar yang dapat kita ambil kendati celahnya masih terlampau kecil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adegan dalam Pulau Plastik produksi Visinema. Dok. Visinema
Film dokumenter yang dikerjakan selama kurang-lebih dua tahun ini bertumpu pada kisah tiga pejuang lingkungan. Ada Gede Robi di Bali, vokalis band Navicula yang konsisten mengkampanyekan kepedulian sosial dan lingkungan baik dalam lagu maupun aktivitasnya. Kemudian Prigi Arisandi, ahli biologi dan pendiri komunitas Ecological Observation and Wetlands Conservation alias Ecoton di Surabaya. Lalu Tiza Mafira, pengacara di Jakarta dan penggagas gerakan Indonesia tanpa kantong plastik. “Kami mendorong solusi permasalahan ini dari segala macam angle sesuai dengan profesi masing-masing. Di sini kami mencoba menggabungkan keterampilan yang berbeda-beda itu,” ujar Tiza dalam wawancara virtual, awal April lalu.
Film dibuka oleh Robi, dan dia pula yang menjadi pengikat di sepanjang cerita. Bermula dari Bali, Robi menaiki sebuah truk untuk menyusuri aspal hingga ke Jakarta. Truk oranye itu dihias dengan semarak. Di salah satu sisi baknya tertulis “Tiap menit, sampah plastik sebanyak 1 truk terbuang ke laut kita”. Di sisi lain tertera “Tolak Plastik Sekali Pakai”. Bersama truk itu, Robi singgah di beberapa kota dan memperlihatkan beragam masalah terkait dengan sampah plastik di wilayah tersebut.
Isu pembuka dalam film ini adalah sebuah serangan telak terhadap kampanye lingkungan yang salah kaprah. Benarkah produk alternatif plastik yang diklaim ramah lingkungan betul “ramah”? Produk-produk ini makin ramai beredar di pasar seiring dengan makin tumbuhnya kesadaran akan bahaya plastik sekali pakai. Di antaranya kantong yang konon terbuat dari singkong serta kemasan yang diklaim mudah terurai dan diberi tulisan besar-besar “I am Not Plastic”.
Adegan dalam film dokumenter Pulau Plastik produksi Visinema. Dok. Visinema
Pada permulaan film, kita melihat sekelompok aktivis lingkungan membawa satu paket produk itu ke dasar lautan Bali. Enam bulan kemudian, paket itu akan diambil kembali untuk diuji kebenaran klaim mudah terurainya. Jawabannya akan diungkap pada akhir film. Namun kita bocorkan saja sekarang. Klaim itu tidak benar. Kemasan berkedok biodegradable, berbahan alami, dan seterusnya dan seterusnya, itu bertahan sama awetnya dengan plastik biasa. Maka solusi alternatif ini hanya langkah semu yang boleh jadi hanya akan berujung pada bencana baru.
Selanjutnya, berbagai lapis persoalan sampah plastik yang dicoba didekati dengan cara berbeda oleh setiap protagonis dipaparkan kepada kita. Di Jakarta, Tiza berupaya mendorong dari atas, dalam pembuatan kebijakan. Tiza mendirikan Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik pada 2013. Dia menggagas petisi #pay4plastic untuk mendorong penerapan kebijakan kantong plastik berbayar. Kebijakan ini kini telah diadopsi oleh hampir 40 kota. Selain itu, Tiza menginisiasi program yang menyasar kelompok urban ibu kota. Dalam Rampok Plastik, misalnya, dia dan timnya mendekati warga Jakarta yang berjalan menenteng kemasan plastik sekali pakai dan menawarkan pengganti berupa tas kain yang bisa dipakai berulang kali.
Sementara itu, Prigi di Surabaya lantang memprotes masuknya sampah-sampah plastik dari negara maju ke Indonesia. Dia berdemonstrasi di depan Konsulat Jenderal Amerika Serikat di Surabaya, membawa berbagai sampah plastik kemasan Amerika yang nyasar ke Surabaya. Selain itu, Prigi menelisik persoalan sampah dengan studi keilmuan. Dia mengumpulkan berbagai sampel, dari air sungai, ikan, hingga feses manusia, untuk membuktikan bahwa mikroplastik telah menyebar ke segala penjuru, termasuk ke dalam tubuh kita. “Dari seratus sampel feses manusia yang kami teliti, semuanya mengandung mikroplastik,” kata Prigi. “Artinya sungai hingga bahan pangan kita sudah mengandung sampah plastik.”
Dengan Dandhy Laksono di kursi sutradara, tak mengherankan tatkala film ini diwarnai momen-momen investigatif. Dalam satu bagian, Robi dan Prigi mengintip lewat celah kecil pada pagar tinggi yang melindungi area penimbunan sampah kertas impor. Prigi menjelaskan bahwa izin impor sampah kertas ditunggangi untuk turut menyelipkan sampah plastik dari negara maju. Untuk membuktikannya, Robi berkamuflase menjadi pembeli sampah itu. Dia berhasil memasuki area terbatas itu dengan truknya dan memuat berkilogram-kilogram sampah ke dalam bak belakang truk. Satu kilogram dibayar Rp 1.200. Setelah itu, Prigi dan Robi langsung membongkar paket tersebut dan menemukan sampah plastik tak terhingga di antara limbah kertas.
Adegan dalam film dokumenter Pulau Plastik produksi Visinema. Dok. Visinema
Film ini juga masuk ke ranah paling personal para protagonisnya. Kita menemui Robi di kamar tidurnya, bermain bersama anak perempuannya yang menggemaskan bernama Rimba. Kita juga masuk ke dapur Tiza dan melihat dua putrinya. Begitu pula Prigi, yang membawa anaknya ikut dalam aksi. Ketiganya sepakat bahwa kekuatan terbesar mereka dalam perjuangan melawan sampah plastik ini tak lain adalah anak-anak itu. Memunculkan anak-anak ini adalah pilihan yang tepat untuk menggugah emosi.
Sebagian data dan fakta yang disampaikan dalam film ini bukanlah sesuatu yang baru. Namun yang membuatnya terasa kuat adalah jalinan narasi yang diwakili oleh perjalanan Robi. Setiap temuan dicerna Robi dengan sangat personal. Di sela-sela nyanyian dan lelucon yang ia lontarkan sepanjang perjalanan, ada kegelisahan besar atas masalah yang tampaknya tak ada jalan keluarnya. Kita ikut merasakan keresahan Robi saat dia berusaha menerobos protokol keamanan presiden untuk menuntut komitmen Presiden Joko Widodo terhadap penanganan sampah plastik. Kita ikut termenung pula bersama Robi ketika dia menyadari negara kita tak lebih dari tong sampah negara adidaya yang selama ini justru diagung-agungkan pengelolaan sampahnya.
Hanya, Pulau Plastik belum cukup dalam menggali langkah praktis apa saja yang dapat dilakukan untuk berkontribusi terhadap pemecahan masalah plastik ini. Porsi lebih besar disediakan bagi pemaparan masalah yang ada. Solusi yang dicoba ditawarkan antara lain hanya mengajak berbelanja tanpa kantong plastik. Robi mencontohkannya dengan berbelanja di pasar tradisional, sementara Tiza di bulk store di ibu kota. Tiza juga sempat menyinggung soal kearifan lokal dalam pengelolaan sampah, tapi tak benar-benar diperlihatkan secara rinci apa saja bentuk kearifan itu.
Walau begitu, film ini tetap penting sekali untuk ditonton. Selama ini film dokumenter kampanye lingkungan lebih banyak dibuat di luar negeri dengan pendekatan global. “Pulau Plastik ini benar-benar buatan dalam negeri. Sutradaranya orang Indonesia, protagonisnya juga. Masalah dan solusi yang ditampilkan juga untuk orang Indonesia,” tutur Tiza.
Prigi menyebut film ini sebagai scientific rock and roll documentary. Di satu sisi, narasinya sangat saintifik karena menampilkan berbagai ahli dan profesor yang memberikan data dan kajian. Namun, di sisi lain, dengan sentuhan bintang rock, film ini menjadi ringan, mudah dicerna, tapi mengetuk logika.
MOYANG KASIH DEWIMERDEKA
Pulau Plastik
Sutradara:
Dhandy Laksono dan Rahung Nasution
Pemain:
Gede Robi, Tiza Mafira, Prigi Arisandi
Produksi:
Visinema Pictures, Kopernik, Akarumput, Watchdoc
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo