BUKU kecil berukuran 21 x 11 cm yang awal bulan dikeluarkan TIM
(Taman Ismail Marzuki), Jakarta, tiba-tiba kini menjadi penting.
Buku itu, disebut Kalender Acara TIM, mewartakan segala kegiatan
di Pusat Kesenian Jakarta di kompleks Cikini.
Dalam terbitan Maret ini Kalender itu menyertakan pula
pengumuman. "Para langganan yang ingin dikirimi Kalender Acara
TIM secara kontinyu dikenakan biaya Rp 1.000 untuk tahun 1982
ini." Sejak Kalender yang pertama, Desember 1968, kepada siapa
pun buku acara TIM ini dibagikan secara gratis.
Tidak itu saja. Dengan dibatasinya pemasangan spanduk. poster
dan papan reklame di kawasan DKI Jakarta, Kalender inilah kini
menjadi tumpuan pokok bagi TIM mempublikasikan acara-acaranya.
Oplah buku ini memang cukup besar--bila diingat sasaran utamanya
adalah warga DKI. Sebelum 1973, sebelum dibikin seperti buku,
telah dicetak sekitar 5 ribu. Masih ditambah edisi bahasa
Inggris sebanyak 2.500. Setelah dibikin berbentuk buku, dan
sekaligus acara ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris,
dicetak 10 ribu. Sejak tahun 1980 oplah berkisar antara 10
sampai 20 ribu.
Yang menarik, ada sekitar 3 ribu langganan yang minta dikirimi
langsung lewat pos. Dalam kenyataannya, hanya pertunjukan
tertentu, Srimulat misalnya, atau teater Rendra, Putu Wijaya,
kursi dipenuhi penonton. Acara yang lain, konser piano misalnya,
tak ada separuh kursi yang tersedia diduduki. Bahkan, seperti
Tari Topeng dari Klaten bulan lalu, hari pertama hanya ditonton
tak lebih dari 50 orang. Itu semua menimbulkan pertanyaan,
tentu.
Sebagai Tes Bagi Direktur TIM, Hazil Tanzil, 63 tahun, pungutan
Rp 1.000 bagi langganan tetap itu sekaligus juga sebagai tes.
"Ini sekalian untuk menjajaki, seberapa sungguh-sungguh minat
langganan itu terhadap Kalender Acara," katanya. Maksudnya, bila
para pelanggan memang serius, tentulah mereka tak asal
berlangganan, tapi juga menonton kegiatan di TIM. Sayangnya, TIM
sendiri selama ini belum memonitoring seberapa efektif Kalender
ini mengundang pengunjung.
Menurut Hazil pula, dibanding de ngan iklan di surat kabar
misalnya, Ka lender Acara jelas lebih murah dan men jangkau
langsung peminatnya. "Iklan itu mahal, tak mungkln semua acara
diiklankan," kata Hazil. Dan spanduk atau poster, biasanya baru
beberapa hari se belum acara berlangsung baru disebar luaskan --
dan informasi yang diberikar terbatas waktunya.
Dalam Kalender, ada yang lebih daripada hanya jadwal waktu dan
nama pertunjukan. Misalnya, dalam Kalender Acara Maret 1970, ada
penjelasan untuk pertunjukan drama W.S. Rendra, Menunggu Godot.
Meskipun di situ hanya sedikit diungkapkan tentang Rendra dan
bahwa "pertunjukan dramanya se belumnya mendapat pengunjung
keliwa banyak."
Yang nampak begitu diperhatikan adalah bentuk visual Kalender
itu. Tak lama setelah Pusat Kesenian itu dibuka November 1968,
awal bulan berikutnya tahun itu juga, muncul Kalender Acara --
masih dalam bentuk stensilan. Baru Maret 1969 Kalender dicetak.
Masih sederhana sekali, berupa selembar kertas HVS folio yang
dilipat tiga. Acara TIM memang belum penuh, dan yang dituliskan
dalam Kalender memang baru tanggal, jenis dan nama orang atau
grup yang mengadakan pertunjukan--waktu itu.
Kemudian Kalender Acara Maret 1970 mulai dicetak pada kertas
gambar (brief card). Dan Maret 1973 lahirlah bentuk buku. Tentu
saja biaya pengadaan Kalender ini meningkat pula. Karena itu
kemudian diusahakan ada iklan, untuk menutup biaya. Tahun itu
pula mulai ada iklan satu halaman di sampul belakang. Dan
sayangnya, hingga kini pun iklan hanya ada di sampul belakang
itu, meski pemasang iklannya berganti-ganti: PT Bank Bali, Rokok
Dunhill, dan kini Ardath.
Dengan tarif iklan yang sehalaman hanya Rp 300 ribu sekali
pasang itu, tentulah belum menutup biaya Kalender yang sekitar
Rp 1 juta lebih untuk 10 ribu eksemplar.Dengan alasan itu pula
langganan tetap yang ingin dikirim Kalender lewat pos, diminta
sumbangan pengganti perangko yang kini memang naik, dari Rp 30
menjadi Rp 100. "Untuk mengirimkan Kalender Maret ini, TIM
mengeluarkan uang Rp 280 ribu," kata Bagian Publikasi TIM.
Sebelumnya biaya perangko itu tak lebih dari Rp 90 ribu.
Seorang murid kelas IV SD di bilangan Tomang dengan setia
menjadi pelanggan Kalender Acara TIM. Tiap awal bulan dia selalu
menunggu datangnya pak pos, mengantar itu Kalender. Dia khusus
mengikuti pementasan sandiwara anakanak. Memang, belum diketahui
pelanggan yang setia--dalam mengikuti kalender dan setia
menghadiri acaranya itu sendiri di TIM--seperti murid-kelas IV
itu. Sampai pertengahan bulan ini, dari sekitar 3 ribu pelanggan
tetap yang bersedia meneruskan langganannya dengan mengganti
harga perangko Rp 1.000 setahun, baru terdaftar 32 orang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini