INDUSTRI penerbangan di Bandung, Nurtanio, terpaksa tahun lalu
menguji disain pesawat angkut CN-235 yang sedang dirancang,
dalam terowongan angin milik Nationale Lucht en Ruimtevaart
Laboratonum (NRL) di Negeri Belanda. Selama dua bulan sebuah
model pesawat CN-235 dengan skala 1:10 diuji, dan hasilnya
mendukung semua perhitungan teoretis yang dilakukan Nurtanio
selama mengembangkan disain pesawat baru itu. Tapi kemudian
dirasakan sekali suatu kebutuhan nyata dalam perkembangan
teknologi nasional. Maka Menteri Negara Ristek, Ir. B.J. Habibie
bulan lalu menandatangani perjanjian kerjasama dengan pihak
Belanda untuk mendirikan pula sebuah terowongan angin di
Indonesia.
Terowongan angin berkecepatan rendah itu akan berlokasi di
Serpong, Tangerang, dalam kawasan Pusat Penelitian Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek). Ia akan merupakan bagian
dari Laboratorium Aerodinamika, Gasdinamika dan Getaran (LAGG),
yang dipimpin Prof. Ir. Oeurio Diran dari Direktorat Teknologi
Nurtanio. LAGG merupakan satu dari 10 laboratorium uji yang
direncanakan dalam kawasan Puspiptek, Serpong, itu.
Terowongan angin sebetulnya bukan hanya untuk menguji rancangan
pesawat terbang saja. Juga bisa diujinya disain mobil, gedung
bertingkat, jembatan raksasa, atau konstruksi besar lainnya.
Namun diperkirakan sekitar 60% tugas terowongan angin yang di
Serpong itu nanti khusus untuk pengujian pesawat terbang.
"Nurtaniolah yang kami harapkan menjadi langganan utama kami,"
ujar Ir. Aneon Adibroto, anggota tim perencanaan proyek
terowongan angin BPPT (Badan Pengkajian dan Penerangan
Teknologi).
Konsepsi terowongan angin bukanlah hal yang baru. Masih di tahun
1800 Horatio Phillips, ahli aerodinamika bangsa Inggris,
membangun sebuah terowongan angin sederhana. Ia menguji pengaruh
arus udara terhadap berbagai lempengan lengkung (airfoils).
Angin itu dibangkitkannya dengan sebuah kipas yang diputar
sebuah mesin uap. Namun hasil penelitiannya tak banyak
berpengaruh terhadap perkembangan ilmu aerodinamika zaman itu.
Di "zaman kuda gigit besi" itu kendaraan tetap berbentuk istana
kecil dengan segala pernik dan hiasannya, tak menghiraukan
hambatan yang ditimbulkan berbagai tonjolan dan bidang itu.
Baru di tahun 1930-an orang mulai menyadari betul bahwa bentuk
aerodimis bagi kendaraan mobil--juga pesawat terbang--lebih
efisien menembus udara. Saat itu mulai bermunculan mobil dengan
bentuk streamline. Tapi pembentukan itu lebih didasarkan pada
perasaan yang diilhami bentuk ikan dalam air daripada didasarkan
perhitungan dan ujian dalam terowongan angin. Itu pun, sejak
awal abad ke-20, penggunaannya lebih banyak untuk meneliti
pengaruh angin terhadap konstruksi besar.
Data Lebih Mantap
Meski begitu, tahun 1940, sebuah jembatan gantung dengan
bentangan 850 m yang melintasi Puget Sound di negara bagian
Washington, AS, sempat runtuh, 4 bulan sejak peresmiannya.
Menurut analisa para insinyur, sebab keruntuhan itu ialah
pengaruh angin yang memang sangat deras di daerah itu.
Konstruksinya memang cukup kuat. Yang tidak tahan ialah ayunan
yang ditimbulkan angin itu. Tak ubahnya dengan runtuhnya puluhan
jembatan gantung di dunia sebelumnya. Peristiwa yang paling
terkenal ialah runtuhnya jembatan Wheeling, di Virginia, AS,
tahun 1854, akibat diterpa angin keras.
Sejak itu setiap disain jembatan baru selalu diuji dalam
terowongan angin, sebelum mulai pelaksanaan pembuatannya. Juga
industri mobil dan pesawat terbang terpaksa lebih mengandalkan
hasil pemeriksaan disain dalam terowongan angin itu. Soalnya
semakin meningkat produksinya, semakin besar investasi yang
dipertaruhkan. Ujian dalam terowongan angin akan memberikan data
yang jauh lebih mantap tentang kelainan disainnya.
Terowongan angin seperti yang dibangun Phillips di tahun 1800
pada kedua ujung masih terbuka. Di bagian tengah terowongan itu
menyempit, menghasilkan percepatan arus udara. Tapi pengontrolan
atas berbagai kondisi udara seperti kecepatan, dan terutama
tekanan, kelembaban dan suhu, teramat sukar. Di Indonesia
terowongan sejenis ini dimiliki LAPAN dan ITB. Terowongan angin
modern kini umumnya dibuat sebagai suatu lingkaran tertutup,
hingga berbagai kondisi udara bisa betul dikendalikan secara
sempurna. Sudah tentu teknologi komputer dan fotografi yang
paling mutakhir turut melengkapi fasilitas penelitian modern
seperti itu.
Terowongan angin secara umum digolongkan dua jenis, menurut cara
pembangkit arus udaranya. Yang pertama dibangkitkan dengan
sejumlah kipas dan kompresor, sedang golongan kedua menggunakan
sebuah tanki besar berisikan udara bertekanantinggi. Terowongan
angin yang direncanakan di Serpong termasuk golongan pertama,
menggunakan seperangkat kipas untuk membangkitkan angin
berkecepatan rendah. Namun kecepatan angin yang bisa
dibangkitkannya mencapai rata-rata 320 km per jam dan bahkan
bisa mencapai 380 km per Jam.
Tanki Udara
Dalam terowongan angin Serpong ini kelak bisa diperoleh data
tentang penerbangan dengan kecepatan rendah sampai setengah
kecepatan suara. Kecepatan rendah itu terutama penting untuk
menentukan ciri terbang sebuah pesawat di saat tinggal landas
dan mendarat. Justru saat itu faktor efisiensi, keamanan dan
kebisingan sangat menonjol.
Secara umum terowongan angin diklasifikasikan sebagai
berkecepatan rendah, berkecepatan tinggi, transsonik (mendekati
kecepatan suara), supersonik (sampai lima kali kecepatan suara)
dan hipersonik (sampai 12 kali kecepatan suara) dan bahkan ada
kelas yang melebihi kecepatan itu. Terutama dalam kelas yang
terakhir itu, arus udara ditimbulkan dari sebuah tanki berisikan
udara bertekanan tinggi yang dilepas dalm rangkaian letupan
berjangka waktu singkat.
Proyek terowongan angin berkecepatan,rendah akan merupakan
bagian dari serangkaian terowongan angin yang bakal dibangun di
LAGG, Serpong. Diharapkan selesai tahun 1986, fasilitasnya
merupakan terbesar di wilayah Asia Timur.
Ruang uji dalam terowongan ini berukuran 4 X 3 m, memungkinkan
menguji model pesawat dengan benungan sayap sampai 2,8 m. Ruang
uji terowongan angin milik NRL di Negeri Belanda hanya berukuran
2 X 3 m.
Indonesia menjadi negara ke-3 yang memilikinya nanti di kawasan
Asia, sesudah Jepang dan India. Australia juga punya terowongan
angin seperti itu, tapi penggunaannya terutama untuk menguji
berbagai bentuk energi, tidak pesawat terbang.
Proyek besar ini cukup tinggi biayanya dan diperkirakan sekitar
US$ 20 juta (Rp 13 milyar). Melalui IGGI, pemerintah Belanda
menyumbang NFL 10 juta (Rp 2,4 milyar) untuk proyek ini. "Tapi
itu habis untuk perencanaan, sedang buku-buku dan training kami
saja," ujar Anton Adibroto. Sisa biaya harus diusahakan
Indonesia sendiri. "Ini berarti uang rakyat," tambah Anton.
Sejak tahun lalu sejumlah tenaga Indonesia sudah mulai dilatih
di Negeri Belanda. Sebaliknya sejumlah tenaga ahli Belanda akan
diperbantukan pada pembangunan terowongan angin ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini