Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Ke zaman terowongan angin

Proyek terowongan angin akan dibangun di serpong, kerjasama dengan belanda. 60% tugasnya nanti khusus untuk pengujian pesawat terbang pt. nurtanio. (ilt)

27 Maret 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INDUSTRI penerbangan di Bandung, Nurtanio, terpaksa tahun lalu menguji disain pesawat angkut CN-235 yang sedang dirancang, dalam terowongan angin milik Nationale Lucht en Ruimtevaart Laboratonum (NRL) di Negeri Belanda. Selama dua bulan sebuah model pesawat CN-235 dengan skala 1:10 diuji, dan hasilnya mendukung semua perhitungan teoretis yang dilakukan Nurtanio selama mengembangkan disain pesawat baru itu. Tapi kemudian dirasakan sekali suatu kebutuhan nyata dalam perkembangan teknologi nasional. Maka Menteri Negara Ristek, Ir. B.J. Habibie bulan lalu menandatangani perjanjian kerjasama dengan pihak Belanda untuk mendirikan pula sebuah terowongan angin di Indonesia. Terowongan angin berkecepatan rendah itu akan berlokasi di Serpong, Tangerang, dalam kawasan Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek). Ia akan merupakan bagian dari Laboratorium Aerodinamika, Gasdinamika dan Getaran (LAGG), yang dipimpin Prof. Ir. Oeurio Diran dari Direktorat Teknologi Nurtanio. LAGG merupakan satu dari 10 laboratorium uji yang direncanakan dalam kawasan Puspiptek, Serpong, itu. Terowongan angin sebetulnya bukan hanya untuk menguji rancangan pesawat terbang saja. Juga bisa diujinya disain mobil, gedung bertingkat, jembatan raksasa, atau konstruksi besar lainnya. Namun diperkirakan sekitar 60% tugas terowongan angin yang di Serpong itu nanti khusus untuk pengujian pesawat terbang. "Nurtaniolah yang kami harapkan menjadi langganan utama kami," ujar Ir. Aneon Adibroto, anggota tim perencanaan proyek terowongan angin BPPT (Badan Pengkajian dan Penerangan Teknologi). Konsepsi terowongan angin bukanlah hal yang baru. Masih di tahun 1800 Horatio Phillips, ahli aerodinamika bangsa Inggris, membangun sebuah terowongan angin sederhana. Ia menguji pengaruh arus udara terhadap berbagai lempengan lengkung (airfoils). Angin itu dibangkitkannya dengan sebuah kipas yang diputar sebuah mesin uap. Namun hasil penelitiannya tak banyak berpengaruh terhadap perkembangan ilmu aerodinamika zaman itu. Di "zaman kuda gigit besi" itu kendaraan tetap berbentuk istana kecil dengan segala pernik dan hiasannya, tak menghiraukan hambatan yang ditimbulkan berbagai tonjolan dan bidang itu. Baru di tahun 1930-an orang mulai menyadari betul bahwa bentuk aerodimis bagi kendaraan mobil--juga pesawat terbang--lebih efisien menembus udara. Saat itu mulai bermunculan mobil dengan bentuk streamline. Tapi pembentukan itu lebih didasarkan pada perasaan yang diilhami bentuk ikan dalam air daripada didasarkan perhitungan dan ujian dalam terowongan angin. Itu pun, sejak awal abad ke-20, penggunaannya lebih banyak untuk meneliti pengaruh angin terhadap konstruksi besar. Data Lebih Mantap Meski begitu, tahun 1940, sebuah jembatan gantung dengan bentangan 850 m yang melintasi Puget Sound di negara bagian Washington, AS, sempat runtuh, 4 bulan sejak peresmiannya. Menurut analisa para insinyur, sebab keruntuhan itu ialah pengaruh angin yang memang sangat deras di daerah itu. Konstruksinya memang cukup kuat. Yang tidak tahan ialah ayunan yang ditimbulkan angin itu. Tak ubahnya dengan runtuhnya puluhan jembatan gantung di dunia sebelumnya. Peristiwa yang paling terkenal ialah runtuhnya jembatan Wheeling, di Virginia, AS, tahun 1854, akibat diterpa angin keras. Sejak itu setiap disain jembatan baru selalu diuji dalam terowongan angin, sebelum mulai pelaksanaan pembuatannya. Juga industri mobil dan pesawat terbang terpaksa lebih mengandalkan hasil pemeriksaan disain dalam terowongan angin itu. Soalnya semakin meningkat produksinya, semakin besar investasi yang dipertaruhkan. Ujian dalam terowongan angin akan memberikan data yang jauh lebih mantap tentang kelainan disainnya. Terowongan angin seperti yang dibangun Phillips di tahun 1800 pada kedua ujung masih terbuka. Di bagian tengah terowongan itu menyempit, menghasilkan percepatan arus udara. Tapi pengontrolan atas berbagai kondisi udara seperti kecepatan, dan terutama tekanan, kelembaban dan suhu, teramat sukar. Di Indonesia terowongan sejenis ini dimiliki LAPAN dan ITB. Terowongan angin modern kini umumnya dibuat sebagai suatu lingkaran tertutup, hingga berbagai kondisi udara bisa betul dikendalikan secara sempurna. Sudah tentu teknologi komputer dan fotografi yang paling mutakhir turut melengkapi fasilitas penelitian modern seperti itu. Terowongan angin secara umum digolongkan dua jenis, menurut cara pembangkit arus udaranya. Yang pertama dibangkitkan dengan sejumlah kipas dan kompresor, sedang golongan kedua menggunakan sebuah tanki besar berisikan udara bertekanantinggi. Terowongan angin yang direncanakan di Serpong termasuk golongan pertama, menggunakan seperangkat kipas untuk membangkitkan angin berkecepatan rendah. Namun kecepatan angin yang bisa dibangkitkannya mencapai rata-rata 320 km per jam dan bahkan bisa mencapai 380 km per Jam. Tanki Udara Dalam terowongan angin Serpong ini kelak bisa diperoleh data tentang penerbangan dengan kecepatan rendah sampai setengah kecepatan suara. Kecepatan rendah itu terutama penting untuk menentukan ciri terbang sebuah pesawat di saat tinggal landas dan mendarat. Justru saat itu faktor efisiensi, keamanan dan kebisingan sangat menonjol. Secara umum terowongan angin diklasifikasikan sebagai berkecepatan rendah, berkecepatan tinggi, transsonik (mendekati kecepatan suara), supersonik (sampai lima kali kecepatan suara) dan hipersonik (sampai 12 kali kecepatan suara) dan bahkan ada kelas yang melebihi kecepatan itu. Terutama dalam kelas yang terakhir itu, arus udara ditimbulkan dari sebuah tanki berisikan udara bertekanan tinggi yang dilepas dalm rangkaian letupan berjangka waktu singkat. Proyek terowongan angin berkecepatan,rendah akan merupakan bagian dari serangkaian terowongan angin yang bakal dibangun di LAGG, Serpong. Diharapkan selesai tahun 1986, fasilitasnya merupakan terbesar di wilayah Asia Timur. Ruang uji dalam terowongan ini berukuran 4 X 3 m, memungkinkan menguji model pesawat dengan benungan sayap sampai 2,8 m. Ruang uji terowongan angin milik NRL di Negeri Belanda hanya berukuran 2 X 3 m. Indonesia menjadi negara ke-3 yang memilikinya nanti di kawasan Asia, sesudah Jepang dan India. Australia juga punya terowongan angin seperti itu, tapi penggunaannya terutama untuk menguji berbagai bentuk energi, tidak pesawat terbang. Proyek besar ini cukup tinggi biayanya dan diperkirakan sekitar US$ 20 juta (Rp 13 milyar). Melalui IGGI, pemerintah Belanda menyumbang NFL 10 juta (Rp 2,4 milyar) untuk proyek ini. "Tapi itu habis untuk perencanaan, sedang buku-buku dan training kami saja," ujar Anton Adibroto. Sisa biaya harus diusahakan Indonesia sendiri. "Ini berarti uang rakyat," tambah Anton. Sejak tahun lalu sejumlah tenaga Indonesia sudah mulai dilatih di Negeri Belanda. Sebaliknya sejumlah tenaga ahli Belanda akan diperbantukan pada pembangunan terowongan angin ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus