MASIH pagi buta Salam sudah mengetuk rumah Ibu Gurunya. "Bu,
hari ini saya tidak masuk. Ibu saya sakit. Ilari ini saya
disuruh ngemis," ujar anak berumur 7 tahun itu seperti
diceritakan Ny. Siti Meri Kasihani pada TEMPO.
Meri, guru suatu Taman Kanak-kanak, biasanya mengiyakan saja
kalau ada muridnya yang minta izin dengan alasan semacam itu. TK
yang diasuhnya memang unik. Sekolah ini didirikan di kompleks
perumahan gelandangan Dukuh Kupang Surabaya. Maka semua muridnya
pun anak kaum gelandangan.
Dibuka Juli tahun lalu TK itu helum punya nama dan belum pula
diakui oleh Departemen P&K. Semula ada 27 muridnya -- berusia 6
sampai 12 tahun. Tapi di antara mereka ada 7 yang berhenti
karena "harus selalu ikut orang tua menggelandang," ujar Meri.
Untuk menggiring anak para gelandangan di situ tidak terlalu
sulit. Kompleks itu dikendalikan oleh Tim Bappertukda (Badan
Pelaksana Rehabilitasi (Guna Karya Daerah). Mereka harus
mematuhi perintah tim pembina gelandangan itu .
Kompleks yang luasnya 2 ha ini dikelilingi pagar ka1vat
berduri. Ada 19 bangunan panjang di dalamnya yang bisa
menampung 850 jiwa -- sekitar 10% masih gelandangan di
Surabaya. Tidak jauh dari pintu gerbang "batalyon" itu ada
bangunm klenengan 4 x 7 meter. Di bangunan setengah tembok
setengah kayu itulah Ny. Siti Meri Kasihani mengajar.
Meja-mejanya, walaupun tidak kelihatan kokoh, bisa dibanggakan
karena bikinan para orang tua murid sendiri. Berbeda benar
dengan kursi lipatnya yang bagus sumbangan mahasiswa Katolik
anggota PMKRI.
Meri memberikan pelajaran membaca, menyanyi dan bersajak. "Ini
sesuai dengan peralatan yang ada saja," ujarnya. "Sebenarnya
mereka sudah berumur anak SD." Mereka memang sudah mulai bisa
membaca, misalnya, buku pelajaran untuk SD kelas 1.
Dengan gaji Rp 5.000/bulan, Meri sudah bertekad menghabiskau
hidupnya di situ. Bahkan rumahnya--jtlga berada di kompleks
itu--tidak lebih baik daripada barak para gelandangan sendiri.
Untuk memenuhi keperluan hidupnya Meri membuat kue dan menyulam
setelah tugasnya sebagai guru selesai.
Wanita kelahiran Trowulan (Mojokerto, Ja-Tim) ini semula
mendorong suaminya ikut bertransmigrasi ke Sul-Teng. Di sana
Meri mendirikan TK dan SD khusus untuk para transmiran. Lantas
terjadi kemelut dalam rumah tangdnya setelah suaminya kawin
lagi.
Kembali ke Ja-Tim, Meri menetap di Tandes. Di desa pinggiran
Kota Surabaya ini ia mendirikan TK dan kemudian SD. Lantaran
dianggap tidak memenuhi syarat, SD yang baru sampai kelas 2 itu
dibubarkan oleh P&K. Ia juga tersisih, dari TK yang dia dirikan
karena pemerintah memberi guru baru supaya mutunya bisa lebih
baik. Ketika Bappertukda memerlukan guru untuk TK di kompleks
gelandangan itu, hanya Meri yang bersedia. "Pernah juga ada
mahasiswa IKIP dan IAIN yang datang, tapi akhirnya mereka mundur
sebelum maju," ujar Drs. Mohamad asin, Ketua Bappertukda
Surabaya yang merangkap Kasubbag Sosial setempat. Ada rencananya
tahun ini mendirikan SD. "Supaya ada tempat bagi murid-murid TK
yang sekarang meneruskan pelajaran,' tambah 'asin.
Menurut Meri, ada 5 anak yang sekarang ini sering pamit dengan
alasan mengemis atau ikut mengemis dengan orang tua mereka.
"Saya belum bisa mengubah kebiasaan mereka mengemis itu. Tapi
mereka sekarang sudah tahu bahwa untuk bisa hidup lebih baik itu
harus pandai dulu," ujar guru ini.
Halimah, 9 tahun, hari itu mendeklamasikan sajak Benih-benih
Pancasila. Ia masih tetap membantu orang tuanya mengumpulkan
kertas dan pecahan botol atau gelas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini