Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seorang gadis dapat melayang bebas di udara seperti balon. Seorang bocah lelaki tak kasatmata. Gadis kecil berambut ikal emas yang memiliki mulut lain di belakang kepalanya. Pemuda yang mampu menghidupkan benda mati.... Anak-anak dengan kemampuan khusus ini berkumpul di satu rumah di bawah lindungan Miss Peregrine.
Sekilas rumah berisi anak-anak aneh itu mengingatkan pada Xavier¡¯s School for ¡©Gifted Youngsters dalam X-Men. Bedanya, rumah Miss Peregrine terjebak pada satu waktu, 3 September 1940. Setiap hari, semua penghuni rumah itu mengulang hari yang sama yang hanya mungkin terjadi berkat kemampuan spesial Miss Peregrine sebagai Ymbryne—manipulator waktu.
Ke rumah yang berada di salah satu pulau terpencil di Wales itulah Jacob Portman alias Jake (Asa Butterfield) pergi. Pemuda itu baru saja kehilangan kakeknya, Abraham atau Abe, yang meninggal akibat serangan brutal makhluk entah apa. Jake dekat dengan kakeknya dan sering diceritakan dongeng sebelum tidur tentang rumah sang kakek pada masa kecil yang ditinggalinya bersama anak-anak berkemampuan khusus. Untuk mengatasi trauma pasca-kehilangan, psikiater menyarankan sebaiknya Jake berkunjung langsung ke rumah masa kecil Abe. Di sana Jake menemukan hal-hal di luar imajinasinya dan terlibat dalam petualangan seru melawan monster jahat.
Cerita diangkat dari novel remaja karangan Ransom Riggs yang membukukan status best seller pada 2011-2012. Buku Riggs menarik karena dilengkapi tampilan foto-foto vintage koleksi pribadinya. Riggs menciptakan sebuah dunia eksentrik yang penuh karakter aneh dan kaya referensi mitologi.
Di sisi lain, cerita ini dapat dikatakan alegori atas nasib yang menimpa anak-anak Yahudi pada Perang Dunia II. Anak-anak ”aneh” yang dikucilkan harus bersembunyi agar aman dari monster yang memburu mereka. Bahkan monster dalam kisah ini pun dinamai hollowgast (yang terdengar sangat mirip holocaust).
Kisah ini akhirnya jatuh ke tangan Tim Burton, sutradara nyentrik yang biasa menggarap film bernuansa gothic bermuatan fantasi yang janggal. Burton selalu mampu menghadirkan sajian visual yang khas dalam film-filmnya, seperti pada Edward Scissorhands, The Nightmare Before Christmas, Charlie and the Chocolate Factory, dan Alice in Wonderland. Lewat Miss Peregrine, Tim Burton seolah-olah bertemu dengan jodoh karena ceritanya sendiri sudah penuh keanehan yang berpotensi divisualkan dalam gaya Burton.
Cukup memuaskan melihat sajian visual dalam film ini, yang kadang diperkuat dengan animasi. Lihatlah adegan dalam gerak lambat saat Miss Peregrine memutar kembali waktu dengan diiringi alunan musik klasik dari piringan hitam. Atau adegan menyelam ke dasar laut dan menemukan kapal karam yang penuh rangka manusia. Burton juga tak segan menyuguhkan detail-detail mengganggu dan sadistis seperti adegan menyantap salah satu bagian tubuh.
Walau begitu, secara cerita, tak ada yang spesial dan benar-benar baru dalam film ini. Alur film ini seperti gabungan plot Harry Potter dan X-Men. Rumitnya susunan waktu karena kemampuan manipulasi Miss Peregrine juga tak terjelaskan dengan baik, sehingga di tengah film kadang kita lupa para tokoh sedang berada pada masa yang mana.
Burton juga tidak dapat menangkap kompleksitas karakter tiap tokoh dan jalinan emosi kuat di antara mereka sebagaimana ditulis Riggs dalam buku. Karakter paling melekat di ingatan setelah menonton film ini hanyalah Miss Peregrine, yang diperankan Eva Green dengan cukup memikat. Barangkali karena, seperti biasa, buku yang tebalnya ratusan halaman tak mungkin dimampatkan hanya dalam film berdurasi sekitar dua jam. MOYANG KASIH DEWIMERDEKA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo