Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Jangan bicara nasib, tuhan maha adil

11 orang paliman, cirebon, meninggal tertimbun tanah waktu menggali kapur. biar hasilnya sedikit, penduduk terus menggali, karena di situlah mereka menggantungkan hidup keluarga.

25 November 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAMPAI September yang lalu, sudah 11 orang penggali kapur meninggal di Palimanan Kabupaten Cirebon. Pekerjaan ini merupakan usaha memanfaatkan bukit-bukit kapur yang sudah diwariskan alam kepada penduduk setempat. Rupa-rupanya usaha untuk mengeruk perut bukit itu bukan pekeraan yang ramah. Hasilnya pun sangat sedikit. Jadi orang boleh heran, kenapa pekerjaan itu masih diteruskan juga. Rumpun bukit putih itu sekarang sudah bolong-bolong oleh luka akibat dinamit buatan Perum Dahana Tasikmalaya. Tak kurang dari 3 00 orang setiap hari memperkosa bukit itu dengan cara menggali, memecah dan merampas batubatu kapur dengan truk. Suara dinamit meledak setiap saat. Bagi para penggali kapur, bunyinya sama saja dengan suara pertempuran hidup mati. Sebab hidup mereka benar-benar digantungkan atas pecahan kapur yang dihasilkan ledakan tersebut. Wanita Dilarang Hingga saat ini korban terakhir yang tertimbun tanah dan langsung mati adalah Rabil bin Jasad (55 tahun) beserta besannya Tardi bin Karman (35 tahun). Terjadi pada hari Senin 18 September 1978. Keduanya sedang menggali di gua Macan di kedalaman 15 meter. Kematian yang sangat menyedihkan. "Saya masih ingat peristiwa yang menimpa bapak," kata Rakim salah seorang anak Rabil. Kebetulan hari itu Rakim baru saja nikah dengan salah seorang anak Tardi. Pukul 15.30 dengan tak terduga bukit kapur di gua Macan runtuh. Rabil dan Tardi berusaha menghindar, tapi tidak berhasil. Dengan sederhana kemudian kedua orang besanan itu dikebumikan. Rusia, isteri Rabil, masih sempat mengadakan selamatan atas arwah almarhum, berkat sumbangan bupati, camat, PMI dan pemilik tanah konsesi di mana kedua korban itu menggali. Selain Rusia, Rabil juga meninggalkan 6 orang anak. Yang paling kecil malahan masih berusia 6 tahun. Dari anak-anaknya yang sudah berkeluarga ada 19 orang cucu. Sebuah keluarga besar. Sementara penghasilan sebagai penggali kapur tak akan lebih dari Rp 500 satu hari. Padahal untuk itu setiap pagi Rabil sudah harus terjaga pukul 4 subuh, untuk membereskan tugas-tugasnya di rumah. Dua jam kemudian dengan cangkul, linggis, baji, palu dan sebuah keranjang, ia menuju bukit kapur Gunung Kromong. Satu hari penuh di sana. Kalau magrib datang ia baru boleh pulang. Pekerjaannya secara pisik berat, badannya terasa ngilu setiap hari. Rusia (50 tahun) sudah 35 tahun mendampingi Rabil. Ia sendiri sejak usia 13 tahun sudah bergaul dengan batu kapur. Pada masa-masa lalu, bukit kapur itu memang dijamah beramai-ramai oleh pria dan wanita. Tetapi sejak pekerjaan itu mengenal dinamit, wanita tidak diperkenankan lagi ikut campur. Rusia sejak 8 tahun yang terakhir ini terpaksa membiarkan Rabil bekerja sendirian. Sekarang, sesudah Rabil dicabut dari bumi, Rusia terpaksa memikirkan cara yang baik untuk hidup. Selain sebuah rumah berteduh tak ada yang diwariskan Rabil. "Bukan tabungan harta tapi tabungan hutang," kata Rusia menyebut peninggalan suaminya. Menggali batu kapur sangat sulit. Beberapa lapis tanah harus digali terlebih dahulu sampai ketemu lapisan kapur yang dimaksudkan. Lapisan batu kapur itu berwarna coklat kehitaman. "Kalau lagi mujur, hanya menggali beberapa senti sudah menemukan lapisan batu kapur," kata Kasirun (34 tahun) penggali kapur asal Madiun kepada Aris Amiris dari TEMPO. Ia menggali di Desa Palimanan, bersama 4 orang rekannya menggarap tanah konsesi milik Kardi. "Kalau lagi sial," kata Kasirun meneruskan, "beberapa meter masih lapisan tanah juga Lebih repot lagi begitu lapisan batu ketemu, eeeee gundukan tanah yang telah digali longsor dan menimbun lapisan batu, itu namanya dua kali kerja. " Seperti almarhum Rabil dan Tardi, Kasirun juga harus bangun pagi. Modalnya hanya linggis dan cangkul serta kekuatan jasma.ni. Ya, seorang penggali kapur meskipun terdesak oleh kemiskinan, tak bisa kurang dari seorang yang berbadan kuat. Setidak-tidaknya dikuat-kuatkan. Bayangkan, dalam musim kemarau, dalam kawasan yang sama sekali gundul, mereka harus tahan disengat matahari. Kalau hasilnya bagus, mungkin dapat menjadi obat untuk menguat-nguatkan diri. Kasirun empat serangkai setelah banting tulang keras pun kalau lagi mujur paling dapat Rp 1.000 setiap orang. "Tapi kalau sedang sepi cuma dapat Rp 500," kata lelaki itu. Ini semua tidak terbatas untuk kerja menggali. Kasirun juga harus memecahkan apa yang digalinya dan kemudian menaikkannya ke atas truk untuk diangkut ke tempat pembakaran kapur di Palimanan. asilnya sedikit, tapi dicukupcukupkan buat makan sekeluarga, apa boleh buat, kerja lain tak ada yang cocok," kata Kasirun. Ia sudah .4 tahun menggali kapur di Palimanan. Sebelumnya ia pernah mencoba cari hidup di Jakarta. Ia mencoba berbagai macam pekerjaan. Ternyata begitu banyak yang bisa dilakukan, kalau saja orang mau berusaha. Tetapi di antara begitu banyak kemungkinan rupanya ia tidak bisa memilih salah satu yang dapat menenteramkan hatinya. "Ternyata hidup di Jakarta tak seenak apa yang dibayangkan," kata Kasirun. Akhirnya ia kembali ke udik. "Daripada jadi gembel, lebih baik jadi penggali kapur di desa isteri saya. Pokoknya makan tidak makan asal kumpul sama keluarga, hati senang," katanya dengan tulus. Berbeda dengan Kasirun ada seorang pemuda asal Bulukumba, Sulawesi Selatan yang terdampar di bukit kapur itu. Usianya 35 tahun, namanya Jumaludin. "Daripada nganggur terus, saya pilih kerja tukang gali batu kapur, cari pengalaman baru," kata Jumaludin. Ia mengaku pada mulanya adalah pelaut. Penghasilannya cukup. Tetapi rupanya laut saja tidak mencukupi anak muda ini. Ia bosan, lalu naik ke darat. Ia berhenti jadi pelaut dan pada tahun 1965 ia nikah dengan seorang gadis di Palimanan. Sekarang anaknya sudah 2 orang. Tak bisa diduga apakah usaha mencari pengalaman ItU akan diteruskan Juga oleh anaknya. Rata-rata para penggali kapur itu tidak sempat memikirkan masa depan. Ini merupakan ancaman buat anak-anak, karena anak-anak itu kemudian tidak disediakan kemungkinan lain kecuali meneruskan kerja orang tuanya. Seperti anak almarhum Rabil. Kasirun sendiri, mengakui terus terang bahwa anak-anaknya barangkali tidak akan mendapat nasib yang lebih baik. "Jangan bicara soal nasib," kata Kasirun berdakwah, "sebab setiap orang tua tentu pengen anaknya bernasib baik. Tetapi saya tidak. Soal nasib terserah anak itu sendiri." Kasirun menunjuk anaknya yang sedang memanggul batu kapur. "Lihat saja anak saya Teguh, umurnya 13 tahun. Ia terpaksa jadi penggali kapur juga. Lepas SD, saya tak mampu lagi membiayai sekolahnya. Biarlah dia membantu saya mencari makan buat keluarga," katanya dengan tenang dan hampir tanpa emosi lagi. Anak-anak Kasirun adalah contoh buat nasib rata-rata anak-anak penggali kapur di Palimanan. Sementara para orang tua mereka, sekali menggali kapur, mereka akan terus menggali sekedar mempertahankan hidup. Mereka baru berhenti kalau badan tak mampu lagi mengayun linggis, Kalau kaki tak kuasa lagi mendaki bukit yang terjal. Atau kalau nyawa meloncat dari raganya akibat longsor. Bayangkan saja, pada suatu kali ada sebuah gua di bukit Sitopong ambruk. Sembilan orang amblas, meninggalkan sembilan keluarga yang bersimbah air mata. Kesulitan para penggali kapur memuncak di musim hujan. Menjelang akhir tahun seperti sekarang, mereka sudah bersiap untuk menghadapi berbagai kesulitan rutin. "Misalnya saja kami terpaksa nganggur karena tanah yang menutupi lapisan batu melengket, " kata Kasirun menerangkan, "kerja pun jadi percuma, kami terpaksa menunggu sampai matahari mengeringkan tanah." Tetapi kalau hujan non-stop setiap hari bagaimana? "Yah," jawab Kasirun, "terpaksa kami nganggur terus. Pada saat seperti itu kami akan terpaksa ngutang pada tetangga buat makan sehari-hari. Sukurlah tetangga yang punya warung masih mau memberi hutang bahan makanan . " Tak dapat dilupakan Kasirun adalah pekerja lepas. Orang-orang freelance bangsanya Kasirun ini tidak terikat kepada seorang majikan. Dia memiliki kebebasan penuh dan juga bahaya penuh kalau ditimpa sakit. Memang kadangkala majikan pemilik tanah konsesi suka memperhatikan nasib buruh-buruhnya kalau terjadi bencana. Seperti yang diterima oleh Rusia janda Rabil, yang menerima tak kurang dari Rp 5 ribu dan beras 35 kg untuk selamatan suaminya dari haji Astadi, pemilik tanah konsesi yang digarap oleh Rabil. Tapi sumbangan itu mungkin karena orang menghormati mati yang satu kali, sementara sakit bisa berkali-kali, jadi tidak perlu disumbang. Terhadap hal ini Kasirun dan sebangsanya tidak bisa mengatakan apa-apa kecuali mengakui bahwa penghidupan mereka memang tak memiliki perlindungan. "Tetapi Tuhan maha adil," kata Kasirun pada akhirnya mengunci keluh kesahnya, "berkat lindungan Tuhan, kami jarang terkena sakit berat, paling-paling pilek. Sakit seperti itu sih biasa ! "

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus