SAMPAI September yang lalu, sudah 11 orang penggali kapur
meninggal di Palimanan Kabupaten Cirebon. Pekerjaan ini
merupakan usaha memanfaatkan bukit-bukit kapur yang sudah
diwariskan alam kepada penduduk setempat. Rupa-rupanya usaha
untuk mengeruk perut bukit itu bukan pekeraan yang ramah.
Hasilnya pun sangat sedikit. Jadi orang boleh heran, kenapa
pekerjaan itu masih diteruskan juga.
Rumpun bukit putih itu sekarang sudah bolong-bolong oleh luka
akibat dinamit buatan Perum Dahana Tasikmalaya. Tak kurang dari
3 00 orang setiap hari memperkosa bukit itu dengan cara
menggali, memecah dan merampas batubatu kapur dengan truk. Suara
dinamit meledak setiap saat. Bagi para penggali kapur, bunyinya
sama saja dengan suara pertempuran hidup mati. Sebab hidup
mereka benar-benar digantungkan atas pecahan kapur yang
dihasilkan ledakan tersebut.
Wanita Dilarang
Hingga saat ini korban terakhir yang tertimbun tanah dan
langsung mati adalah Rabil bin Jasad (55 tahun) beserta besannya
Tardi bin Karman (35 tahun). Terjadi pada hari Senin 18
September 1978. Keduanya sedang menggali di gua Macan di
kedalaman 15 meter. Kematian yang sangat menyedihkan. "Saya
masih ingat peristiwa yang menimpa bapak," kata Rakim salah
seorang anak Rabil. Kebetulan hari itu Rakim baru saja nikah
dengan salah seorang anak Tardi. Pukul 15.30 dengan tak terduga
bukit kapur di gua Macan runtuh. Rabil dan Tardi berusaha
menghindar, tapi tidak berhasil. Dengan sederhana kemudian kedua
orang besanan itu dikebumikan. Rusia, isteri Rabil, masih sempat
mengadakan selamatan atas arwah almarhum, berkat sumbangan
bupati, camat, PMI dan pemilik tanah konsesi di mana kedua
korban itu menggali.
Selain Rusia, Rabil juga meninggalkan 6 orang anak. Yang paling
kecil malahan masih berusia 6 tahun. Dari anak-anaknya yang
sudah berkeluarga ada 19 orang cucu. Sebuah keluarga besar.
Sementara penghasilan sebagai penggali kapur tak akan lebih dari
Rp 500 satu hari. Padahal untuk itu setiap pagi Rabil sudah
harus terjaga pukul 4 subuh, untuk membereskan tugas-tugasnya di
rumah. Dua jam kemudian dengan cangkul, linggis, baji, palu dan
sebuah keranjang, ia menuju bukit kapur Gunung Kromong. Satu
hari penuh di sana. Kalau magrib datang ia baru boleh pulang.
Pekerjaannya secara pisik berat, badannya terasa ngilu setiap
hari.
Rusia (50 tahun) sudah 35 tahun mendampingi Rabil. Ia sendiri
sejak usia 13 tahun sudah bergaul dengan batu kapur. Pada
masa-masa lalu, bukit kapur itu memang dijamah beramai-ramai
oleh pria dan wanita. Tetapi sejak pekerjaan itu mengenal
dinamit, wanita tidak diperkenankan lagi ikut campur. Rusia
sejak 8 tahun yang terakhir ini terpaksa membiarkan Rabil
bekerja sendirian. Sekarang, sesudah Rabil dicabut dari bumi,
Rusia terpaksa memikirkan cara yang baik untuk hidup. Selain
sebuah rumah berteduh tak ada yang diwariskan Rabil. "Bukan
tabungan harta tapi tabungan hutang," kata Rusia menyebut
peninggalan suaminya.
Menggali batu kapur sangat sulit. Beberapa lapis tanah harus
digali terlebih dahulu sampai ketemu lapisan kapur yang
dimaksudkan. Lapisan batu kapur itu berwarna coklat kehitaman.
"Kalau lagi mujur, hanya menggali beberapa senti sudah menemukan
lapisan batu kapur," kata Kasirun (34 tahun) penggali kapur asal
Madiun kepada Aris Amiris dari TEMPO. Ia menggali di Desa
Palimanan, bersama 4 orang rekannya menggarap tanah konsesi
milik Kardi.
"Kalau lagi sial," kata Kasirun meneruskan, "beberapa meter
masih lapisan tanah juga Lebih repot lagi begitu lapisan batu
ketemu, eeeee gundukan tanah yang telah digali longsor dan
menimbun lapisan batu, itu namanya dua kali kerja. "
Seperti almarhum Rabil dan Tardi, Kasirun juga harus bangun
pagi. Modalnya hanya linggis dan cangkul serta kekuatan
jasma.ni. Ya, seorang penggali kapur meskipun terdesak oleh
kemiskinan, tak bisa kurang dari seorang yang berbadan kuat.
Setidak-tidaknya dikuat-kuatkan. Bayangkan, dalam musim kemarau,
dalam kawasan yang sama sekali gundul, mereka harus tahan
disengat matahari. Kalau hasilnya bagus, mungkin dapat menjadi
obat untuk menguat-nguatkan diri. Kasirun empat serangkai
setelah banting tulang keras pun kalau lagi mujur paling dapat
Rp 1.000 setiap orang. "Tapi kalau sedang sepi cuma dapat Rp
500," kata lelaki itu. Ini semua tidak terbatas untuk kerja
menggali. Kasirun juga harus memecahkan apa yang digalinya dan
kemudian menaikkannya ke atas truk untuk diangkut ke tempat
pembakaran kapur di Palimanan.
asilnya sedikit, tapi dicukupcukupkan buat makan sekeluarga,
apa boleh buat, kerja lain tak ada yang cocok," kata Kasirun. Ia
sudah .4 tahun menggali kapur di Palimanan. Sebelumnya ia pernah
mencoba cari hidup di Jakarta. Ia mencoba berbagai macam
pekerjaan. Ternyata begitu banyak yang bisa dilakukan, kalau
saja orang mau berusaha. Tetapi di antara begitu banyak
kemungkinan rupanya ia tidak bisa memilih salah satu yang dapat
menenteramkan hatinya. "Ternyata hidup di Jakarta tak seenak apa
yang dibayangkan," kata Kasirun. Akhirnya ia kembali ke udik.
"Daripada jadi gembel, lebih baik jadi penggali kapur di desa
isteri saya. Pokoknya makan tidak makan asal kumpul sama
keluarga, hati senang," katanya dengan tulus.
Berbeda dengan Kasirun ada seorang pemuda asal Bulukumba,
Sulawesi Selatan yang terdampar di bukit kapur itu. Usianya 35
tahun, namanya Jumaludin. "Daripada nganggur terus, saya pilih
kerja tukang gali batu kapur, cari pengalaman baru," kata
Jumaludin. Ia mengaku pada mulanya adalah pelaut. Penghasilannya
cukup. Tetapi rupanya laut saja tidak mencukupi anak muda ini.
Ia bosan, lalu naik ke darat. Ia berhenti jadi pelaut dan pada
tahun 1965 ia nikah dengan seorang gadis di Palimanan. Sekarang
anaknya sudah 2 orang. Tak bisa diduga apakah usaha mencari
pengalaman ItU akan diteruskan Juga oleh anaknya.
Rata-rata para penggali kapur itu tidak sempat memikirkan masa
depan. Ini merupakan ancaman buat anak-anak, karena anak-anak
itu kemudian tidak disediakan kemungkinan lain kecuali
meneruskan kerja orang tuanya. Seperti anak almarhum Rabil.
Kasirun sendiri, mengakui terus terang bahwa anak-anaknya
barangkali tidak akan mendapat nasib yang lebih baik. "Jangan
bicara soal nasib," kata Kasirun berdakwah, "sebab setiap orang
tua tentu pengen anaknya bernasib baik. Tetapi saya tidak. Soal
nasib terserah anak itu sendiri."
Kasirun menunjuk anaknya yang sedang memanggul batu kapur.
"Lihat saja anak saya Teguh, umurnya 13 tahun. Ia terpaksa jadi
penggali kapur juga. Lepas SD, saya tak mampu lagi membiayai
sekolahnya. Biarlah dia membantu saya mencari makan buat
keluarga," katanya dengan tenang dan hampir tanpa emosi lagi.
Anak-anak Kasirun adalah contoh buat nasib rata-rata anak-anak
penggali kapur di Palimanan. Sementara para orang tua mereka,
sekali menggali kapur, mereka akan terus menggali sekedar
mempertahankan hidup. Mereka baru berhenti kalau badan tak mampu
lagi mengayun linggis, Kalau kaki tak kuasa lagi mendaki bukit
yang terjal. Atau kalau nyawa meloncat dari raganya akibat
longsor. Bayangkan saja, pada suatu kali ada sebuah gua di bukit
Sitopong ambruk. Sembilan orang amblas, meninggalkan sembilan
keluarga yang bersimbah air mata.
Kesulitan para penggali kapur memuncak di musim hujan. Menjelang
akhir tahun seperti sekarang, mereka sudah bersiap untuk
menghadapi berbagai kesulitan rutin. "Misalnya saja kami
terpaksa nganggur karena tanah yang menutupi lapisan batu
melengket, " kata Kasirun menerangkan, "kerja pun jadi percuma,
kami terpaksa menunggu sampai matahari mengeringkan tanah."
Tetapi kalau hujan non-stop setiap hari bagaimana? "Yah," jawab
Kasirun, "terpaksa kami nganggur terus. Pada saat seperti itu
kami akan terpaksa ngutang pada tetangga buat makan sehari-hari.
Sukurlah tetangga yang punya warung masih mau memberi hutang
bahan makanan . "
Tak dapat dilupakan Kasirun adalah pekerja lepas. Orang-orang
freelance bangsanya Kasirun ini tidak terikat kepada seorang
majikan. Dia memiliki kebebasan penuh dan juga bahaya penuh
kalau ditimpa sakit. Memang kadangkala majikan pemilik tanah
konsesi suka memperhatikan nasib buruh-buruhnya kalau terjadi
bencana. Seperti yang diterima oleh Rusia janda Rabil, yang
menerima tak kurang dari Rp 5 ribu dan beras 35 kg untuk
selamatan suaminya dari haji Astadi, pemilik tanah konsesi yang
digarap oleh Rabil. Tapi sumbangan itu mungkin karena orang
menghormati mati yang satu kali, sementara sakit bisa
berkali-kali, jadi tidak perlu disumbang.
Terhadap hal ini Kasirun dan sebangsanya tidak bisa mengatakan
apa-apa kecuali mengakui bahwa penghidupan mereka memang tak
memiliki perlindungan. "Tetapi Tuhan maha adil," kata Kasirun
pada akhirnya mengunci keluh kesahnya, "berkat lindungan Tuhan,
kami jarang terkena sakit berat, paling-paling pilek. Sakit
seperti itu sih biasa ! "
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini