Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Maryam
Sutradara: Sidi Saleh
Skenario: Sidi Saleh
Pemain: Meyke Vierna, Adrianto Sinaga, Damiana Widowati,
Produksi: Bioskop Merdeka Film
Yaaam... Yam, Natal. Natal, Yaaam...," sang Ndoro (Adrianto Sinaga), yang menderita keterbatasan mental, berteriak memanggil pengasuhnya. Sang Tuan sering mengenakan topeng ayam. Tangannya saat itu berusaha keras meletakkan hiasan patung Bunda Maria di puncak pohon Natal.
Film Maryam menampilkan cerita Maryam (Meyke Vierna) yang harus mengurus tuannya di malam Natal. Perempuan muslim yang tengah hamil ini memang bekerja pada keluarga Katolik. Pada malam 24 Desember, si Tuan merengek-rengek minta pergi ke gereja. Orang rumah lainnya-sang kakak, nyonya rumah (Damiana Widowati)-celakanya hendak pergi berlibur.
Yam-panggilan Maryam-terpaksa mengantar tuannya ke gereja. Roda cerita mulai bergulir. Mereka tiba di satu gereja besar di Jakarta. Yam harus masuk ikut prosesi misa yang tak pernah diketahuinya pada malam menjelang Natal itu, sementara dirinya berjilbab.
Dengan mudah kita tahu inilah persoalan yang hendak disajikan Sidi Saleh, sang sutradara. Apakah yang terjadi bila seorang perempuan muslim, berjilbab, yang lugu, dan berasal dari kalangan bawah harus mengantar tuannya-dengan keterbelakangan mental-mengikuti misa di gereja. Suatu ide yang "eksotis" baik secara visual maupun sosial. Apalagi mungkin bagi penonton luar negeri.
Tentu saja dalam film berdurasi 18 menit ini karakter setiap tokoh tidak bisa dieksplorasi mendalam. Siapa Yam baru sedikit terkuak ketika dia bercakap pendek dengan tuannya, yang menanyakan alasannya bekerja. "Kalau saya tidak kerja, dari mana saya dapat duit buat lahiran? Wong suami enggak punya," ujar Maryam.
Sang sutradara dan produsernya, Amalia Trisna Sari, menampik jika filmnya disebut sebagai film agama. Ini bukan film yang ingin menyatukan dua keyakinan yang berbeda. Tapi ini film tentang bagaimana dua manusia berlatar belakang keyakinan dan sosial berbeda disatukan dalam sebuah situasi yang menyentuh.
Tantangan terbesar adalah bagaimana Sidi bisa menampilkan film ini tidak mengada-ada, bagaimana Sidi bisa mengeksekusi gagasannya secara tak lebay. Wajar bila Yam yang tiba-tiba harus mengikuti prosesi misa itu gugup, canggung, kedodoran jilbabnya. Tapi agaklah ganjil bila ia tiba-tiba mengubah dandanan jilbabnya menjadi kerudung para biarawati.
Adalah menarik bagaimana Sidi memanfaatkan keramaian dan khidmatnya umat saat misa di Gereja Katedral menjadi latar film yang murah dan alami. Lihatlah saat kamera menangkap pandangan penasaran seorang anggota jemaat ketika melihat sosok Yam hendak memasuki gereja. Atau ekspresi tak nyaman dan jengkel seorang anggota jemaat yang tengah mengikuti misa. Juga mereka yang terganggu ibadatnya melihat tingkah "si Tuan" yang tak bisa tenang.
Karya Sidi diganjar Orizzonti Award sebagai film pendek terbaik dalam Festival Film Venesia ke-71 bulan lalu. Padahal festival ini sangat jarang meloloskan film di luar Eropa dan Amerika Serikat. Film yang menyajikan tema "pluralisme agama"-apalagi di negara mayoritas muslim, seperti Indonesia-agaknya menarik perhatian festival internasional. Di sini para sutradara muda pintar memanfaatkan ceruk itu. Sidi kemudian menampilkan Maryam menatap patung Maria dalam keheningan. Ia "bertemu" dengan Maria.
Dian Yuliastuti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo