Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah ditunggu cukup lama, akhirnya sas (Slamet Abdul Syukur) muncul juga. Di hadapan para penggemar ("musik serius")-nya, Slamet, dengan kalem dan dingin menandai usianya yang ke-79, unjuk gigi dengan konser "Sluman-Slumun Slamet" (bahasa Jawa ini artinya nyelonong secara halus dan tak terdeteksi yang pada ujungnya menemui keselamatan). Di Studio Mini Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada Sabtu, 27 September 2014, sas menampilkan enam nomor komposisi.
Pada nomor pertama, Kabut, SAS melantunkan nada pianonya begitu pelan dengan volume yang hampir tak terdengar ditingkah alunan soprano Ika Sri Wahyuningsih yang lirih, yang benar-benar kabut yang kita rasakan dan kita tatap wajahnya. Namun justru di sinilah komposisi ini terdengar ulem (bahasa Jawa yang artinya kurang-lebih syahdu), khas alunan gamelan Jawa. Persis tari Jawa-bedoyo misalnya-yang sering para penarinya saking begitu lembutnya sehingga dianggap ngidak telek ora pendeng (menginjak tinja ayam tidak lumer).
Pada Tobor, pianis Gema Swaratyagita mendendangkan tiga nomor yang bertingkat temponya. Mula-mula terdengar lirih, kedua melaju, dan ketiga berpacu. Ketiga tingkat ini memamerkan kemampuan Gema.
Sedangkan pada GAME-Land 5, tampil Aisha Sudiarso Pletscher (piano) dan Aksan Sjuman (gong) serta SAS (bunyi-bunyian pada mulut) bersahutan dan tindih-menindih seperti sedang main-main di kolam renang. SAS bertepuk di depan mulutnya yang menimbulkan gema di dalam mulutnya.
Pada Tetabuhan Sungut, hadir sepuluh orang musikus yang duduk lesehan. Mereka memainkan perkusi mulut, sebuah komposisi bunyi-bunyian yang ditimbulkan oleh olah mulut. Mulut mereka bersahut-sahutan dalam warna suara dan nada yang membentuk pelangi.
Lalu disambung dengan game-Land 1orkestra gamelan-gamelan Kiai Fatahillah-ketika para musikus yang lesehan ini menghampiri instrumen gamelan yang terbentang di panggung: bonang, gong, kendang, gambang, kenong, kempul, saron, demung, dan suling. Dalam suasana gamelan orkestra kontemporer, ini konser tentang suara-suara dari sebuah desa yang tenteram dan sejahtera.
Ada seorang penonton yang mengharapkan dipentaskan lagi Parantheses 5 yang legendaris itu ketika TIM masih punya panggung arena. Dalam lakon itu-sebuah teater musik-SAS memainkan piano, ikut terbang balerina Farida Oetojo dan Natalini Widiasi yang melukis di atas fiberglass. Spektakuler.
Dalam Gelandangan, SAS berduet dengan Gema Swaratyagita. Laki-laki dan perempuan gelandangan ini duduk bertelekan pada meja. Di sini SAS telah habis-habisan menjelajahi apa saja yang menimbulkan suara. Namun SAS masih mengakui adanya polusi suara. Benarkah ada polusi suara? Bukankah polusi suara adalah konser suara alami, yang tak dibuat-buat, sebuah simfoni tentang kebutuhan hidup akan kesejahteraan?
Kali ini sas memainkan kerunding, instrumen mini dari bambu yang digetarkan dengan jari di depan mulut. Warna dan volume suara lahir ketika mulut mengatur gemanya. Sedangkan Gema mengoceh tentang gencetan hidup yang pedih yang mengakibatkan gelandangan perempuan ini menangis tersedu-sedu, melolong, dan memaki-maki keras dan berteriak... ngentot.... Benar, hanya maestro yang bisa main-main.
Danarto (penulis dan perupa)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo