Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Spiritualitas yang Hilang

6 Oktober 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ayu Utami*

Saya pernah berdebat dengan editor saya tentang suatu cara pengungkapan. Kami sedang menyiapkan novel Bilangan Fu. Satu kalimat dalam naskah saya berstruktur ini: padaku ada sesuatu. Mungkin agar pembaca mudah paham, editor ingin menyederhanakan kalimat itu dan menggantinya jadi: aku punya sesuatu. Kenapa harus pakai struktur yang rumit jika ada yang lebih jelas? Kenapa gunakan tata bahasa kuno jika ada yang modern?

Saya bertahan, sebab penyederhanaan itu mengubah makna. Sesungguhnya bukan cuma mengubah arti, melainkan mengganti paradigma berpikir-jika bukan berkesadaran. "Padaku ada sesuatu" dan "aku punya sesuatu" adalah dua kalimat yang berasal dari cara pikir yang berbeda. Dunia modern yang mencari kecepatan dan kesederhanaan mungkin menyukai yang kedua. Kalimat aktif, subyek-predikat-obyek, jelas. Huh, Microsoft Office pun lebih suka kalimat aktif daripada pasif!

Tapi, perhatikanlah, kalimat kedua itu membuat perkara jadi sekadar relasi kepemilikan. Saya punya sesuatu. Katakanlah, saya punya roh. Atau saya punya nyawa. Saya punya suami. Saya punya anak. Sebaliknya, struktur kalimat yang pertama tidak melihat perkara dalam relasi kepunyaan. Pada saya ada roh. Pada saya ada nyawa. Pada saya ada istri. Pada saya ada suami. Pada saya ada anak. Struktur ini berasal dari kesadaran bahwa ada yang tidak berada dalam hubungan kepemilikan. Dan itu biasanya berhubungan dengan kemanusiaan atau kehidupan. Jika kita beranggapan bahwa sesuatu hidup karena memiliki roh atau spirit, cara pandang ini dekat dengan cara spiritual.

Tapi, bahkan jika Anda tidak mau bersikap spiritual, Anda tetap bisa menjadi seorang humanis (bahkan yang ateis) dan berpikir: apa betul anak, atau istri, atau suami adalah kepunyaan kita? Apakah kita bisa memiliki manusia? Apalagi jika Anda percaya bahwa ada roh pada manusia. Roh itu tidak bisa kita miliki.

Seorang teman-dia orang Cek yang telah lama mencintai Indonesia-juga berpendapat mirip dalam kasus lain. Katanya, "Kenapa sekarang orang Indonesia bilang 'saya lahir di…'?" Ia menekankan bahwa makna lahir bukanlah kata kerja aktif. Orang tidak bisa lahir sendiri. Orang hanya bisa dilahirkan. Jadi, yang benar adalah "saya dilahirkan".

Kita bisa berdebat panjang tentang ini dan melihat kompleksitas. Siapa yang aktif dalam proses kelahiran? Baiklah, seandainya si anak tidak aktif, sang ibu pun tak bisa dibilang pelaku aktif juga. Sebab, jika pun ia tidak mau melahirkan, ia tak bisa menahan jika bayinya keluar. Pun jika sang ibu berusaha, ia juga tak bisa memaksa seandainya bayi itu tak bisa keluar, seperti pada kasus sungsang dan sejenisnya. Zaman sekarang dokter yang akan "melahirkan"-nya lewat operasi caesar. Jadi, siapa yang sesungguhnya melahirkan?

Semantik kata "lahir" sebetulnya mengandung makna pasif. Atau setidaknya bukan aktif. Tak seorang pun sungguh-sungguh sepenuhnya melahirkan bayi. Dalam hal ini, bahasa Inggris lebih dekat dengan kesadaran itu. Seorang ibu gives birth to (membawakan/memberikan kelahiran) bagi anaknya. Atau seorang ibu delivers (mengantarkan) anaknya. Dalam beberapa bahasa Eropa yang lain, kata kerja sejenis itu tidak diikuti oleh obyek penderita atau kasus akusatif, melainkan oleh kasus datif. Kira-kira, dalam tata bahasa Indonesia kasus datif setara dengan pelengkap penyerta atau obyek tak langsung. "Lahir" adalah verba intransitif, bukan transitif.

Begitulah, ada kompleksitas yang kerap kita lupakan manakala kita berbahasa. Dalam dua kasus yang disebut di atas, itu berhubungan dengan makna-makna kepemilikan, keaktifan, kesubyekan. Jika seseorang punya sesuatu, ia adalah subyek yang memiliki. Tapi, jika pada seseorang ada sesuatu, ia bukan memiliki, melainkan mendapatkan. Manakala kita bilang kita lahir ke dunia, sesungguhnya kita tidak pernah melahirkan diri sendiri. Kelahiran adalah kerja sama dari sedikitnya bayi dan ibu serta unsur ketiga yang bolehlah dinamai alam semesta atau yang belum diketahui sepenuhnya. Tidakkah, dari kontras bentuk-bentuk itu, kita melihat adanya perbedaan antara suatu model yang materialis-individualis dan yang spiritualis-kosmologis? Yang pertama mengedepankan subyek dan kepemilikan, yang kedua mengenangkan bahwa kita adalah bagian dari yang tak kita tentukan. Kita tahu juga, dunia semakin materialistis.

Tentu saja, tidak dengan sendirinya kata dan kalimat yang kita pakai memenjarakan cara pikir kita. Jangan terlampau percaya Neuro-Linguistic Programming. Banyak yang bilang itu pseudosains. Tapi pseudosains bisa diterima sebagai sains jika kita tidak pernah melakukan refleksi. Ada baiknya kita merenungkan makna-makna yang bisa lenyap jika kita menghilangkan ungkapan yang terasa kuno dan kompleks hanya demi simplifikasi dan kejernihan palsu. l

Penulis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus