Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEKUJUR tubuh patung Jenderal Soedirman mendadak berlumuran cat berwarna merah tembaga sejak Oktober 2016. Saputannya mirip cat warna pemanis taman. Patung karya perupa maestro Hendra Gunawan itu diperlakukan bak sekadar patung penghias. Tekstur asli batu andesit kasar pada patung menjadi hilang tertutup cat merah. Batu yang berasal dari kali pada patung Soedirman sejenis dengan batu pada sejumlah candi atau stupa di Jawa.
Benda bersejarah yang menandai patung seni rupa modern pertama Indonesia itu berdiri di halaman gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Yogyakarta di Jalan Malioboro, Daerah Istimewa Yogyakarta. Tak banyak orang tahu patung yang dibuat pada era kepemimpinan Presiden Sukarno itu mempunyai nilai sejarah. Sayang sekali, tak ada penanda ataupun keterangan siapa pencipta patung dan bagaimana sejarahnya.
Pengecatan patung Soedirman secara serampangan menyulut protes peneliti seni rupa dan seniman di Yogyakarta. Mereka kecolongan dan peristiwa itu luput dari perhatian orang. Anak pelukis Soedarso, Gono Sudargono, yang pertama memprotes pengecatan itu melalui media sosial Facebook pada 29 Januari 2017. Ia mengunggah foto patung Soedirman yang dicat merah dan memberi catatan: "Yogyakarta Istimewa. Monumen Pangsar Soedirman di gedung DPRD Jogjakarta telah dicat atau dicorat coret hingga jelek menyerupai plastik! Selamat menikmati!"
Perusakan itu juga menjadi pembicaraan kalangan seniman pematung dari Asosiasi Pematung Indonesia. Peneliti seni rupa Mikke Susanto menyatakan pengecatan merusak patung dan tidak bisa ditoleransi. "Pengecatan itu sangat parah dan mengubah sejarah. Bayangkan saja kalau Candi Borobudur dan Prambanan dicat," kata Mikke kepada Tempo di rumahnya di Jalan Godean, Yogyakarta, awal pekan Februari lalu.
Pengecatan patung mengesankan ada perubahan materi dari batu menjadi logam. Patung Soedirman di Yogyakarta berbeda dengan patung berfigur Soedirman di tempat lain. Di Jakarta, misalnya, patung Soedirman dibuat dengan pose menghormat dan menonjolkan kepahlawanan. Di Yogyakarta, patung Soedirman jauh dari penggambaran sebagai sosok yang megah atau heroik.
Soedirman dalam patung itu ringkih. Tubuhnya yang kurus dibungkus jubah pakaian khasnya. Tangan kanannya memegang kancing tengah jubah. Sedangkan tangan kirinya menggenggam tongkat. Wajahnya sedikit bopeng, tergores pada bagian pipi. Sepatunya terlalu besar.
Mikke mengatakan patung itu paling mendekati figur Soedirman, gambaran sang jenderal yang sakit-sakitan ketika bergerilya di hutan belantara. Itu menunjukkan Soedirman tahun 1945 yang berjuang melawan kolonialisme di tengah penyakit parah yang menyerangnya. Hendra Gunawan dengan paham realisme sosial menggambarkannya dengan baik. "Hendra tidak menggambarkannya dengan pencitraan pahlawan yang megah, tapi Soedirman yang merakyat," ujar Mikke.
Menurut Mikke, dari sisi anatomi, patung itu bisa disebut paling mendekati sosok Soedirman. Tapi ia dan seniman pematung punya catatan terhadap bentuk patung itu. Sepatu Soedirman dibuat terlalu besar, berlawanan dengan Soedirman yang kurus. Mikke menduga Hendra sengaja membuat sepatu Soedirman berukuran besar untuk tujuan keseimbangan agar patung itu tidak gampang jatuh. Di dekat sepatu itu terdapat batu yang disisakan sebagai pemberat agar patung tidak jatuh diterpa embusan angin.
Hendra Gunawan menciptakan patung setinggi empat meter itu pada 1949 bersama tukang kijing atau pembuat nisan di Desa Pakem, Kaliurang, Yogyakarta. Ukuran patung itu lebih besar ketimbang ukuran tubuh normal manusia atau satu setengah ukuran tubuh manusia.
Kepada Mikke, murid Hendra Gunawan, Edhi Sunarso, mengatakan Hendra belajar membuat patung dari tukang kijing Kaliurang dan Muntilan, Magelang, Jawa Tengah. Hendra menciptakan patung itu di Cangkringan, Sleman, Yogyakarta. Patung tersebut diresmikan pada 10 Oktober 1950.
Hendra adalah pelopor berdirinya Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), yang kini menjadi Institut Seni Indonesia, Yogyakarta. Sebelum ASRI berdiri, Hendra mendirikan Kelompok Pelukis Rakyat pada 1947. Ia banyak melukis, menggambar sketsa, dan membuat patung. Hendra menggelar pameran tunggal pertama kali di halaman gedung DPRD DIY-dulu bernama gedung Komite Nasional Indonesia Pusat. Yang membuka pameran itu adalah Presiden Sukarno, yang disambut gelandangan sebagai pagar ayu.
Gedung yang menjadi tempat pameran itu dipilih Hendra untuk menempatkan patung Soedirman. Dulu halaman gedung itu berupa tanah lapang yang tidak berpagar seperti sekarang. Orang-orang bisa menikmati benda-benda seni bersejarah itu dari pinggir jalan tanpa terhalang tembok pagar. Di sekitar patung Soedirman juga terdapat patung garapan murid Hendra yang berhimpun sebagai seniman Pelukis Rakyat. Mereka di antaranya Trubus dan Edhi Sunarso.
Hendra mengerjakan patung Soedirman dibantu Edhi Sunarso, Sayono, Nasir Bondan, Juski Hakim, dan Chairul Bachri. Idenya berdasarkan kekaguman Hendra terhadap perjuangan Soedirman. Meski sakit dan rapuh, Soedirman gigih berjuang.
Patung itu diangkut dari Kaliurang menuju gedung DPRD menggunakan truk. Pada 1953, digelar pameran patung modern pertama Indonesia di halaman gedung DPRD. Patung itu dipajang di tengah halaman yang dikelilingi tali rafia. Setelah pameran usai, tidak ada seniman yang mampu menyewa truk untuk mengembalikan patung-patung seniman Pelukis Rakyat ke studio mereka masing-masing. Kepada Mikke, Edhi Sunarso menyebutkan hidup seniman Pelukis Rakyat susah waktu itu. "Ada kemungkinan Hendra menyumbangkan patung itu kepada negara," kata Mikke.
Patung Soedirman satu zaman dengan patung Urip Sumohardjo karya Trubus, yang dipajang di Gedung Agung, Yogyakarta. Adapun patung Sultan Hamengku Buwono IX ciptaan Rustamadji. Dia juga salah satu murid Hendra Gunawan. Patung Soedirman pun satu masa dengan patung Tugu Muda Semarang, yang juga karya Hendra.
Patung itu erat dengan nasionalisme ala Presiden Sukarno. Bila diamati, patung Soedirman bisa dinikmati orang dari banyak sisi, melingkar atau tiga dimensi. Patung monumental yang dibikin semasa era kepemimpinan Sukarno punya ciri itu. Contohnya patung Tugu Muda Semarang.
Ini menggambarkan kedekatan ideologi si pembuat dan Sukarno. Filosofi melingkar pertanda Sukarno punya dimensi bermacam-macam atau kreatif. "Tema patung yang dibuat pada masa Sukarno adalah kerakyatan dan kebangsaan. Ini cocok dengan ideologi yang diusung Hendra," ucap Mikke.
Menurut Mikke, patung itu bila ditaksir nilainya bisa mencapai triliunan rupiah. Taksiran itu berdasarkan faktor kesejarahan, dokumen lengkap tentang patung, banyak dipublikasikan di media massa, kemaestroan penciptanya, serta patung utuh dan bukan sambungan. "Proses kreatifnya pun penting, yang menunjukkan kemahiran Hendra memahat patung," kata Mikke.
Ia menyarankan Sekretariat DPRD untuk mengembalikan patung itu seperti aslinya. Caranya menggunakan tiner dan dibersihkan dengan ekstrahati-hati. Untuk mengembalikan seperti aslinya, menurut Mikke, perlu waktu beberapa pekan. Pengecatan membuat unsur batu andesit berkurang beberapa gram. Batu andesit yang sebelumnya kasar dibuat menjadi halus dengan pengecatan itu. "Perlu direstorasi dengan mengundang pematung dari Asosiasi Pematung Indonesia," ujar Mikke.
Saat patung dikembalikan seperti semula, harus dicari foto yang gambarnya paling dekat dengan patung asli sebelum dicat warna merah. Untuk merawat benda bersejarah itu, menurut Mikke, mesti dilakukan seperti pada pemeliharaan candi. Supaya tidak merusak keaslian, dia menyarankan agar menggunakan pelapis batu tanpa warna. Itu mirip laminasi pada genting supaya lumut tidak masuk ke pori-pori batu.
Pengecatan patung Soedirman, kata Mikke, menggambarkan rapuhnya pengelolaan benda bersejarah. Peristiwa seperti ini baru pertama kali terjadi di Indonesia. Celakanya, belum ada kemauan dari pengambil kebijakan untuk memperhatikan benda-benda bersejarah. Dia menyarankan agar semua lembaga negara yang memiliki koleksi benda seni menyiapkan unit khusus untuk menanganinya supaya terlindungi.
Pengecatan patung Soedirman juga disayangkan Ketua Umum Asosiasi Pematung Indonesia Anusapati. Menurut dosen Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, ini, pengecatan itu menjadi masalah besar karena merusak patung secara fisik dan estetika. Secara fisik, pengecatan merusak material batu, yang perlu pemeliharaan secara khusus.
Secara visual, pengecatan mengubah keaslian patung dan menjadikannya jelek. Patung Soedirman ciptaan Hendra Gunawan dibuat menggunakan teknik pahat yang dibikin sangat ekspresif. Ini menandai patung seni rupa modern Indonesia pertama kali. "Pengecatan merusak artefak yang punya nilai historis penting. Patung itu bagian dari sejarah perkembangan seni rupa modern Indonesia," ujar Anusapati.
Asosiasi Pematung Indonesia telah mengirimkan surat secara resmi kepada DPRD DIY yang isinya mengingatkan bahwa pengecatan patung Soedirman tidak tepat. Seniman yang berhimpun di asosiasi itu bahkan bersedia membantu dengan sukarela membersihkan cat pada patung tersebut. Anusapati menyarankan DPRD agar memperhatikan dan merawat benda seni bersejarah itu dengan berkonsultasi kepada ahli konservasi artefak.
Ganang Priyambodo, cucu Soedirman, menyayangkan pengecatan patung itu. Ia tahu patung berkarakter kakeknya dicat dari seniman pematung. Patung berbahan batu andesit itu, menurut dia, tak perlu dicat. Ganang melihat pengecatan sebagai tindakan yang ceroboh. "Kalau dicat, hilang marwah seninya. Keindahan patung itu ada pada karya seni batu," kata Ketua Yayasan Panglima Soedirman itu.
Ganang juga menyayangkan perlakuan terhadap benda seni bersejarah yang serampangan. Menjaga benda seni bersejarah tidak boleh asal-asalan dan perlu dengan jiwa seni pula.
Wakil Ketua DPRD DIY Arif Noor Hartanto mengatakan pengecatan patung bagian dari pengelolaan dan perawatan rutin yang ditangani Sekretariat Dewan. Pengecatan itu berlangsung pada Oktober atau triwulan anggaran tahun 2016. Tapi Sekretariat Dewan tidak mempresentasikan secara detail tentang pengecatan patung Soedirman dalam rapat pembahasan anggaran. "Kami mohon maaf dan ini jadi catatan. DPRD perlu menambah wawasan tentang seni," ujarnya.
Pelaksana tugas Sekretaris DPRD DIY, Benny Suharsono, menyatakan DPRD akan mengembalikan patung Soedirman seperti semula atau warna batu asli. Sekretariat DPRD, kata Benny, akan bertanya kepada Asosiasi Patung Indonesia untuk mengembalikan patung itu seperti warna asli. Untuk itu, mereka perlu waktu. "Akan kami bahas dulu di lingkup internal apakah penggunaan anggaran untuk mengembalikan patung seperti aslinya melanggar ketentuan atau tidak," ujarnya.
Shinta Maharani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo