Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
|
Pengelola majalah Time mungkin tak membayangkan gambar sampul yang mereka pilih untuk sebuah edisi 26 tahun silam ternyata memiliki ide yang tak terbantahkan hingga sekarang. Dengan kartun yang menggelitik, mereka melukiskan raja media Rupert Murdoch memanjat sebuah gedung menjulang di Kota New York. Di atasnya tertulis banner, ”Raja Pers Australia Mengepung Gotham”—kota dalam komik Batman. Maksudnya kurang-lebih begini: Murdoch telah menjadi raja media baru di AS.
Kini, lebih dari seperempat abad kemudian, posisi Murdoch tak terbantahkan. Ibarat kelapa, makin tua ia makin banyak santannya. Saat industri media raksasa lainnya jalan di tempat atau malah bertumbangan, Murdoch dan News Corporation-nya terus berjaya. Tengoklah dua raksasa media AS, American On Line (AOL) dan Time Warner, yang nilai sahamnya terus menurun. Juga Walt Disney, yang oleh majalah The Economist 26 Juli 2003 lalu diledek sebagai ”The Tragic Kingdom”—pelesetan dari idiom ”The Magic Kingdom”, yang untuk sekian lama dipegang Disney. Pimpinan Disney, Michael Eisner, dianggap sudah kehilangan tangan ”midas”-nya.
Sementara itu, Murdoch, dengan bertumpu pada industri media full hiburan, terus mengembangkan sayap industrinya ke pelosok dunia. Bermula dari Australia, lalu ke Amerika, Inggris, Asia, Amerika Latin, dan Italia. Orang tak asing dengan media di bawah bendera News Corporation. Sebutlah misalnya Fox Network, Star TV, studio 20th Century Fox, koran The Times, The Sun, televisi kabel Fox News dan Fox Sports. Tahun 2003 ini News Corporation memperoleh penghasilan US$ 20 miliar (sekitar Rp 170 triliun).
Lebih dari sekadar menghitung uang Murdoch, buku ini menguraikan sepak terjang bisnis lelaki lulusan Oxford yang mengembangkan bisnis warisan ayahnya tersebut.
Tak aneh, memang. Neil Chenoweth, penulis buku ini, adalah seorang penulis senior di Australian Financial Review yang banyak melakukan investigasi terhadap bisnis Murdoch. ”Buku ini adalah ’kerja forensik’ atas bisnis yang dikelola Murdoch,” kata Chenoweth. Karena tulisannya di Australian Financial Review—kemudian dikumpulkan dalam buku ini—pemerintah Australia sempat mengadakan pemeriksaan terhadap praktek bisnis Murdoch untuk mengetahui apakah ia mengadakan perjanjian bisnis secara rahasia atau membahayakan.
Chenoweth menggambarkan bagaimana ketika orang meributkan masyarakat informasi pada awal 1970-an, media sesungguhnya telah berada dalam genggaman Murdoch. Dibantu oleh Lachlan dan James—kedua anak lelaki Rupert—lelaki 71 tahun ini terobsesi menjadikan langit dunia berada di bawah kepungan siaran industri media miliknya, misalnya dengan mengembangkan bisnis satelit.
Untuk mematahkan serangan para pesaingnya, Rupert menerapkan strategi bisnis yang jitu sekaligus terkesan kejam. ”Anda mau merger sekarang, atau kita bertarung dulu untuk kemudian merger,” katanya suatu ketika. Maksudnya, ia ingin memiliki perusahaan saingan, baik dengan cara baik-baik (merger) maupun cara ”jalanan” (perang terbuka).
Virtual Murdoch tentu bukan buku pertama yang mengetengahkan sosok pribadi sang konglomerat. William Shawcross pernah menulis buku profil Murdoch pada 1993. Judulnya Rupert Murdoch: The Making of Media Empire. Dan Murdoch pun jadi studi kasus yang dibahas dalam kelas-kelas para eksekutif untuk menunjukkan ciri khas kesuksesan yang ia raih. Di satu sisi, ia memang jadi teladan. Tapi para pengkritiknya menilai Murdoch hanya bisa berjualan, tanpa peduli etika, moral, dan tanggung jawab. Penulis Jeffrey Archer pernah menulis novel The Fourth Estate, yang secara sinis menggambarkan perilaku bisnis yang tak terkendali dari Rupert. Tokoh-tokoh dalam novel itu dipakai untuk meledek persaingan bisnis Murdoch dan John Maxwell, pebisnis media lainnya.
Kalaupun mau dikritik, karena merupakan kumpulan tulisan, hubungan antarbab dalam buku ini terasa melompat dan tak mulus. Tapi selebihnya adalah suspens tentang bagaimana uang dan kekuasaan telah merajai alam pikir Rupert Murdoch, sang raja media.
Ignatius Haryanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini