Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Sang Celurit Emas dari Batang-batang

Zawawi Imron, 70 tahun, termasuk penyair produktif. Ia juga seorang pelukis dan kiai. Ramadan lalu, Tempo mengunjungi madrasahnya di Madura.

27 Juli 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Matahari bulan Juli yang terik membuat Desa Batang-batang Daya gersang. Rumput dan semak belukar mengering sepanjang jalan. Hanya jejeran pohon kelapa dan siwalan yang tampak tetap segar, menyisakan sedikit kesejukan di pekarangan rumah Zawawi Imron. Suasana tenang langsung menyergap ketika memasuki pekarangan rumah Zawawi, di Desa Batang-batang Daya, Kecamatan Batang-batang, Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur. Letaknya satu pekarangan dengan Pondok Pesantren Almiftah yang diasuhnya, "Ketenangan ini yang saya suka, makanya saya tetap memilih tinggal di sini," kata Zawawi.

Selasa siang awal Juli lalu, Tempo bertandang ke rumah sang penyair. Meski duduk di atas kursi, Zawawi selalu melipat kakinya seolah-olah dia duduk bersila di lantai. Tepat di samping rumah itu terdapat rumah tradisional Madura yang terawat baik. Di terasnya terpajang lukisan-lukisan wajah Zawawi saat masih muda hingga tua. Di sebelah rumah tradisional itu terdapat perpustakaan berukuran 4 x 3 meter yang dipenuhi ratusan buku kesusastraan dan keagamaan. Di bagian depan ada tumpukan lukisan, mayoritas berisi sketsa wajah tokoh Indonesia, seperti Bung Karno dan Gus Dur. Kedua rumah Zawawi ini disambungkan sebuah lorong. Di dalam lorong itu ada sebuah ranjang bambu. Di ranjang itulah Zawawi biasa leyeh-leyeh.

Zawawi sangat suka membuat puisi pada tengah malam. Menurut dia, ketenangan malam hari membuat imajinasinya begitu segar. Kecintaan pada puisi bermula saat ia nyantri di Pondok Pesantren Lambi Cabbi di Kecamatan Gapura. Salah satu pelajarannya adalah menulis syair berbahasa Madura. Zawawi jatuh cinta pada lirik-lirik syair Madura yang penuh akan nasihat kehidupan. "Tapi karya dalam bahasa Madura selalu gagal, tidak indah," ujarnya.

Dibantu seorang pegawai negeri bernama Maksum, Zawawi belajar menulis syair dalam bahasa Indonesia. Lewat Maksum pula puisi karyanya dikirim ke harian Bhirawa di Surabaya. Tak dinyana, puisi Zawawi dimuat. "Sejak itulah saya terus menulis." Kondisi alam desanya yang indah dan berbukit-bukit memberinya banyak inspirasi hingga lahirlah kumpulan puisi pertamanya berjudul Semerbak Mayang pada 1977.

Lahir di Batang-batang pada 1945, Zawawi termasuk penyair yang produktif. Setelah antologi Semerbak Mayang, setiap tahun dia menerbitkan antologi puisi, di antaranya antologi Madura, Akulah Lautmu (1978), Tembang Dusun Siwalan (1979), Celurit Emas (1980), Bulan Tertusuk Lalang (1982), Nenek Moyangku Airmata (1985), Derap-derap Tasbih (1993), dan Berlayar di Pamor Badik (1994). Meski demikian, ada masa-masa Zawawi begitu sulit menulis puisi. Masa buntu itu dialami Zawawi sepulang dari Makassar dan menerbitkan antologi Berlayar di Pamor Badik pada 1994. "Berbulan-bulan saya tidak menulis satu pun puisi," katanya.

Sampai sekarang, Zawawi mengaku tidak tahu penyebab bleng imajinasinya itu. Dia baru menulis lagi setelah membaca pengumuman ada sayembara menulis puisi tentang 50 tahun kemerdekaan Indonesia yang diadakan stasiun televisi ANTV pada 1995. Dia berusaha keras menulis puisi demi ikut lomba tersebut. Sebuah puisi berjudul "Dialog Bukit Kemboja" bisa dia rampungkan dua pekan sebelum batas akhir pengiriman naskah. Puisi tersebut keluar sebagai pemenang pertama. Kemenangan tersebut membuat imajinasi Zawawi kembali liar. Pada 1996, dia menerbitkan dua antologi puisi sekaligus, masing-masing berjudul Bantalku Ombak Selimutku Angin dan Madura, Akulah Darahmu.

Rekor dari produktivitasnya adalah saat menjadi penyair tamu di rumah puisi milik penyair Taufiq Ismail. Bersama novelis Ahmad Tohari, Zawawi bermukim di Aie Angek, Tanah Datar, Sumatera Barat, sejak Desember 2008 hingga Januari 2009. Sebulan di Aie Angek, Zawawi menulis 110 puisi, yang diterbitkan dalam antologi berjudul Mengaji Bukit Mengeja Danau pada 2013. "Saya merasa ada puisi dalam setiap peristiwa," ujarnya.

Dari 15 antologi puisi yang telah dibuatnya, kumpulan sajak Bulan Tertusuk Lalang dianggapnya sebagai kumpulan sajak terbaik. Namun Zawawi merasa heran karena buku itu tak pernah memenangi penghargaan apa pun. "Malah buku Nenek Moyangku Airmata dan Celurit Emas yang sering mendapat penghargaan," katanya. Kedua buku itu terpilih sebagai buku puisi terbaik Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Nenek Moyangku Airmata juga meraih penghargaan dari Yayasan Buku Utama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada 1985.Kekecewaan Zawawi baru terobati ketika Bulan Tertusuk Lalang belakangan mengilhami sutradara Garin Nugroho membuat film dengan judul Bulan Tertusuk Ilalang.

* * * *

Pada usia cukup sepuh, gerak tangan Zawawi masih lincah. Kurang dari satu jam, kanvas putih polos di hadapannya berubah menjadi sebuah lukisan pemandangan alam. Selesai satu lukisan, dia beralih ke kanvas lain berisi lukisan setengah badan Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia Sukarno. Dalam lukisan yang didominasi warna putih dan abu-abu itu, sosok Sukarno digambarkan sedang melakukan hormat bendera dengan kopiah hitamnya yang khas.

Selain menulis dan membaca puisi, melukis merupakan rutinitas penyair yang dijuluki "Celurit Emas" ini saat berada di rumahnya. Sama dengan menulis, melukis adalah hobi Zawawi sejak kanak-kanak. Namun dunia melukis baru ditekuninya pada 2010. Sosok KH Mustofa Bisri alias Gus Mus, pengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah, berperan penting dalam karier melukis Zawawi. "Tahun 2010, Gus Mus mengajak saya ikut pameran di Surabaya. Sejak itu, saya terus melukis sampai sekarang," katanya.

Sebagian besar obyek lukisan Zawawi adalah sosok seorang tokoh. Di antaranya 50 lukisan tokoh penting organisasi Nahdlatul Ulama, dari KH Hasyim Asy'ari hingga KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Puluhan lukisan itu kini terpajang menghiasi Museum Nahdlatul Ulama di Surabaya.

Saat melukis, Zawawi punya seragam khusus, yakni kaus oblong putih dan sarung kotak-kotak cokelat. Sarung itu layaknya kanvas: selain bergambar corak aslinya, sarung tersebut dipenuhi cipratan-cipratan cat air. Karena tak punya ruangan khusus melukis, Zawawi sering melukis di teras rumah tradisional Maduranya. Di salah satu sudut teras, ceceran cat air memenuhi lantai yang berkeramik putih.

* * * *

Selain menulis dan melukis, di kampungnya, Zawawi adalah seorang kiai. Dia mendapat warisan sebuah madrasah diniyah dari mertuanya (almarhum). Madrasah itu terletak di belakang rumah Zawawi, lengkap dengan masjid besar di halamannya. Saat berada di desanya, ia sering mendapat undangan ceramah agama. "Akhir pekan awal Juli ini, saya diundang ceramah di gedung Bank Indonesia, Jakarta," katanya.

Boleh dibilang, dunia dakwah bukan barang baru bagi Zawawi. Lulus dari sekolah rakyat, dia masuk pesantren. Dia menghabiskan masa mudanya menjadi tenaga pengajar ilmu agama. Puncaknya, dia menjadi dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (sekarang bernama IDIA) di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, Kabupaten Sumenep, sampai 1999. "Sekarang saya menjadi anggota dewan pengasuh Pesantren Ilmu Giri, Bantul, Jogjakarta," ujarnya.

Karena banyak undangan ceramah dan baca puisi, tidak mudah menemui penyair yang satu ini. Dalam sebulan, 20 hari dihabiskan Zawawi ke luar kota, dari Surabaya, Jakarta, Padang, hingga Aceh. Zawawi juga menjadi trainer "Living Value Education" di Yayasan Paramadina, Jakarta. "Kalau Ramadan, lebih banyak undangan ceramah." Begitulah. Meski hari-harinya cukup padat, hingga kini Zawawi masih terus berpuisi. Dia tidak punya angan-angan yang muluk-muluk. Impiannya sederhana, seperti denyut kehidupan di kampung halamannya. "Saya hanya ingin berkarya hingga akhir hayat," tuturnya.

Musthofa Bisri (Madura)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus