Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NURAENI Hendra Gunawan, 68 tahun, berkeras bahwa lukisan yang ada di buku Hendra Gunawan Sang Pelukis Rakyat adalah asli lukisan suaminya. Anggota keluarga Hendra Gunawan berkumpul saat wartawan Tempo Seno Joko Suyono dan Anwar Siswadi menyambangi rumah Nuraeni di Gang Amung Nomor 12-A, Leuwipanjang, Bandung. Rumah di Gang Amung ini adalah rumah lama. Selepas keluar dari penjara Kebon Waru pada 1978, Hendra (saat itu 60 tahun) sempat tinggal di rumah ini. Hendra kemudian mengajak Nuraeni pindah ke Bali, sampai ia wafat.
Malam itu, ada anak Nuraeni: Nurhendra Gilang Bagja, 43 tahun, yang akrab dipanggil Dadang. Juga Rosa Vistara, 60 tahun, putra kedua Hendra Gunawan dari Karmini (almarhum), istri pertama Hendra. Nuraeni bercerita bagaimana cara mengumpulkan materi lukisan di buku itu. Juga bagaimana penghidupannya memberi sertifikat lukisan Hendra, menurut dia, banyak ditelikung oleh galeri, kolektor, atau pemain-pemain lukisan dari Jakarta. Saat wawancara, Dadang dan Rosa membantu memberikan penjelasan.
Total lukisan di buku 239 buah. Dari mana saja Anda mendapatkannya?
Kebanyakan saya dapatkan dari orang-orang yang mengecekkan lukisan Hendra ke saya. Lukisan itu ada yang hendak dijual, ada yang hendak dimasukkan ke lelang. Mereka dari Bandung, Jakarta, dari mana-mana. Kira-kira lebih dari 15 orang. Kalau ditanya satu per satu, saya lupa. Untuk pembuatan buku ini, kami menghubungi mereka, menanyakan apakah lukisannya mau ditampilkan di buku atau tidak. Mereka umumnya tidak mau disebut namanya.
Rata-rata mereka membawa langsung, mengirimkan foto, atau mengirim lewat e-mail?
Ada yang mengirim foto ukuran sekitar 10R lewat pos, ada yang mengirim lewat e-mail, ada yang membawa langsung ke rumah. (Tak ada satu pun lukisan itu yang ada di rumah Nuraeni sekarang.) Ada yang meminta kami mengecek langsung ke tempat mereka. Misalnya, kami pernah diminta datang ke rumah seorang kolektor di Bukit Sentul. Kami juga pernah diminta mengecek ke sebuah galeri dan museum di Singapura.
Berapa persen yang Anda lihat langsung?
Setengahnya.
Anda yakin bisa memastikan hanya lewat foto?
Buat saya sih sama saja. Dari foto saja saya kira saya bisa memastikan. Walaupun warnanya berubah, kan, saya hafal gayanya. Apalagi kami sekeluarga selalu berembuk. Saya selalu menghubungi Rosa Vistara untuk berdiskusi.
Dari semua itu, pernah ada yang Anda ragukan?
Ada. Kalau kami enggak cocok, ya sudah, tidak dimasukkan ke buku.
Cirinya apa untuk membedakan asli-palsu?
Cirinya apa itu rahasia saya. Pernah saya jelaskan ke setiap orang bagaimana ciri-ciri dan kode-kode lukisan Bapak. Tangannya begini, gerakannya begini, matanya begini. Ternyata itu dimanfaatkan oleh mereka yang tak bertanggung jawab. Sekarang saya bungkam. Saya tahu mana yang asli dan bukan. Silakan saja orang mau omong apa.
Bagaimana awal bertemu dengan Agung Tobing?
Pada 2007, Pak Agung datang ke sini (rumah Nuraeni). Pak Agung ke sini dengan Pak Jono, sopir Pak Affandi. Berdua saja. Ia ingin mencari lukisan Bapak (Hendra Gunawan). Saya bilang ke dia, sudah, jangan cari lukisan Bapak, karena sudah tersebar di mana-mana. Kalau mau mensponsori pameran, lukisan saya saja. Akhirnya, tahun 2007, saya disponsori pameran tunggal di Taman Budaya Yogyakarta. Saya pamerkan seratusan lukisan saya. Setelah itu, sejak 2008, kami beberapa kali ketemu. Lalu muncul ide buku itu. Tapi prosesnya lama sekali, karena kan kami mengumpulkannya bertahun-tahun dan menyeleksinya lebih dulu.
Berapa lukisan milik Agung Tobing yang ada di dalam buku?
Mungkin sekitar sepuluh.
Kebanyakan lukisan angka tahunnya 1965-1978. Itu periode di penjara, kan?
Betul.
Bagaimana Anda yakin semua asli?
Saya tahu ciri-cirinya. Saya mendampingi Bapak di penjara, juga saat keluar sampai beliau wafat. Pada waktu Bapak dan saya di penjara, Ibu Karmini dan Kang Wawan (Tresna Suryawan) sering membesuk Bapak. Bapak selalu menitipkan gulungan-gulungan lukisan kepada mereka, untuk mereka jual, demi kebutuhan makan keluarga. Saya sendiri keluar dari penjara pada 1972. Saat membesuk Bapak, saya juga selalu pulang membawa gulungan-gulungan lukisan. Saya kemudian menjual lukisan itu dari pintu ke pintu.
Dijual ke mana saja?
Di penjara, Bapak banyak pesanan. Saya bawa lukisan ke pemesannya. Juga sering saya tawarkan ke toko-toko di Bandung, seperti toko foto, toko kecap, dan pabrik minyak goreng. Pabrik kecap di daerah Bojongloa, contohnya, sering membeli lukisan dari saya. Pabrik itu memiliki banyak lukisan Bapak, sampai ratusan. Pabrik itu sudah tutup sekarang.
Di penjara, Pak Hendra sangat produktif?
Ya, di penjara, Bapak melukis terus. Itu karena waktunya tidak terganggu organisasi. Sebagian ada yang betul-betul kualitasnya masterpiece, sebagian hanya untuk keperluan dapur. Orang yang diam-diam banyak membeli yang kualitas masterpiece misalnya dr Lukas Mangindaan, dokter di penjara Kebon Waru. Dia orang yang baik hati sekali. Sering dr Lukas Mangindaan membelikan dan membawakan kanvas. Di penjara, Bapak tidak kekurangan kanvas.
Untuk yang dapuran, Bapak melukis dengan cepat, enggak pakai skets dulu. Bapak bisa menjejerkan lima kanvas, dilukis barengan. Apalagi yang potret. Setengah jam selesai. Yang lukisan kecil-kecil sehari bisa lima lukisan. Yang kecil-kecil begini juga banyak Bapak kasihkan kepada sipir, teman-teman yang ke luar penjara, dan hadiah perkawinan kenalannya. Itu rahasianya mengapa lukisan dari penjara ada yang pakai inisial KW (Kebon Waru) dan ada yang tidak. Yang ada inisial KW itu lukisan yang dibuat betul-betul berkualitas, sementara yang dibuat cepat-cepat tidak diberi inisial KW.
Ciri-ciri utama lukisan di penjara?
Penjara adalah periode ketika Hendra memakai warna cerah-cerah. Hendra terpengaruh warna demikian dari saya. Itu diakuinya sendiri. Tatkala pameran di Jakarta, 1978, ditanya wartawan, Pak Hendra bilang, "Kalau soal warna, saya berguru ke istri saya. Nuraeni itu kaya warnanya, terang, cerah."
Hampir semua kolektor lukisan Hendra dan kritikus menganggap lukisan di buku ini palsu....
Yang mengerikan itu yang asli dibilang palsu. Banyak lukisan Hendra Gunawan yang datang dari kami, keluarganya sendiri, dibilang palsu. Pernah saya bawa lukisan ke Jakarta. Lukisan itu dibeli seorang kolektor untuk dimasukin lelang. Uang muka sudah jadi. Tapi, sesampai di Jakarta, kolektor itu urung beli. Kolektor itu bilang, ada konsultannya yang mengatakan lukisan yang saya bawa palsu. Uang muka yang sudah diberikan hendak diambil. Tapi saya tolak. Hangus, kata saya. Saya minta dipertemukan dengan konsultannya itu. Tapi ia tak mau. Saya pulang. Namun, di tengah jalan, anehnya, saya dihubungi konsultan tersebut. Lukisan itu ditawar oleh konsultan yang tadinya bilang palsu. Lho, katanya palsu, kenapa ditawar? Akhirnya, saya jual saja karena butuh uang.
Pernah juga, pada 1983, setelah Bapak meninggal, saya mendapat informasi dari dr Lukas bahwa di sebuah galeri di Jakarta ada 17 lukisan besar Hendra Gunawan dipamerkan. Saya datangin galeri itu. Lukisan itu semua ukurannya empat meteran. Saya bilang ini bukan lukisan Hendra. Saya tidak mengaku sebagai Nuraeni. Dia ngotot. Dia bilang 17 tahun mengenal Hendra. Sedangkan saya sama sekali tak pernah lihat orang ini, apalagi pernah datang ke rumah.
Anda mengeluarkan sertifikat?
Ya.
Berapa Anda memberi harga sertifikat lukisan Hendra?
Murah, Rp 25-40 juta. Asli enggak asli, harus bayar dulu. Tapi saya juga sering menemukan sertifikat palsu atas nama saya. Tanda tangan saya dipalsukan di sertifikat. Sertifikatnya juga lain dari yang saya keluarkan.
Sekarang masih menjual lukisan Hendra?
Usaha saya banyak dipatahkan oleh pemain-pemain lukisan. Saya dipotong agar tak bisa bertemu langsung dengan calon pembeli. Bahkan ada yang mengembuskan saya sendirilah yang membuat lukisan-lukisan palsu Hendra. Pernah datang seorang utusan kolektor ke rumah saya. Mereka hendak membeli hak paten Hendra Gunawan dari saya. Mereka meminta saya menyerahkan kekuasaan segala hal-ihwal penjualan-pembelian lukisan Hendra kepada mereka. Saya tidak berhak lagi mewakili atau mengatasnamakan Hendra. Dia sampai bawa klausul-klausul perjanjian. Jelas saya tolak. Ini harga diri. Dibayar berapa pun, saya tak mau. Masak, keluarga Hendra bisa dibeli!
Berapa lukisan Hendra yang Anda punyai sekarang?
Cuma satu, he-he. Tapi kalau sketsa banyak.
Sekarang masih banyak orang ke sini meminta sertifikat?
Sekarang sudah jarang. Soalnya, saya dijelekkan para pemain lukisan. Saya dikatakan rabun. Saya dikatakan sakit-sakitan. Bahkan saya pernah dikatakan sudah meninggal. Jadi yang mau cek lukisan tidak bisa ketemu dengan saya. Bayangin, sampai saya dan keluarga tak bisa hidup layak. Coba kalau dari dulu saya bisa mengeluarkan sertifikat, saya sudah kaya. Tidak tinggal di gang kampung kumuh begini. Saya tidak sanggup melawan para pemain lukisan itu. Saya sakit hati sekali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo