Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Musikus Keenan Nasution membuatkan rumah baru bagi karya-karyanya yang terkumpul dalam album Di Batas Angan-angan. Kali ini rumahnya lebih luks: vinyl (piringan hitam) audiophile 180 gram. Bandingkan dengan rilisan perdana pada 1978: kaset kecil mungil. "Sudah lama terpikir untuk merilis ulang album itu," kata Keenan saat ditemui di rumahnya.
Paket rilis ulang Di Batas Angan-angan juga berisi satu cakram padat, satu buku perjalanan bermusik Keenan, dan satu poster konser Negriku Cintaku. Sebagian lagu dirombak Keenan dengan memasukkan tambahan-tambahan instrumen yang rekamannya dicicil sejak lima tahun lalu.
Saat dirilis pertama kali, Di Batas Angan-angan dicetak 70 ribu kopi. Dibikin gaya indie karena semuanya dicetak sendiri. Ketimbang mengandalkan label besar seperti Musica, Keenan memilih menggaet label kecil bernama Duba Records. Sejak saat itu, Di Batas Angan-angan belum pernah direkam ulang.
Keenan lahir dengan nama lengkap Rada Krisnan Nasution. Bakat bermusik turun dari ayahnya, Saidi Hasyim, yang suka bermain biola dan menggemari musik klasik. Di rumah ayahnya di Jalan Pegangsaan Barat Nomor 12, setiap hari diputar musik klasik. Kelak, rumah itu menjadi tongkrongan anak-anak kesayangan pop Indonesia 1970-an. Di sanalah nama seperti Chrisye, Jockie Suryoprayogo, Guruh Sukarno Putra, Erros Djarot, Abadi Soesman, dan Roni Harahap kerap berkumpul dan membuat musik. Mereka dijuluki "Geng Pegangsaan".
Tahun 1970-an adalah era ketika rock, psikedelik, dan musik progresif sedang jaya-jayanya. Anak-anak Geng Pegangsaan banyak melahap musik Barat seperti itu. Dan pengaruhnya terasa pada musik yang mereka bikin. Sebelum membuat album solo, Keenan terlibat dalam pembuatan setidaknya dua album penting. Ia menjadi penabuh drum dan vokalis dalam Guruh Gipsy—bersama Guruh, Chrisye, Roni, Oding Nasution, dan Abadi Soesman. Guruh Gipsy bereksperimen menggabungkan musik Indonesia dengan gamelan Bali. Gaung album itu bahkan terdengar hingga kini. Album asli Guruh Gipsy dihargai tinggi karena banyak dicari kolektor kaset dan pelat.
Yang kedua adalah album Badai Pasti Berlalu, yang menuai puja-puji serupa Indonesia Mahardika Guruh Gipsy. Bedanya, jangkauan album Badai lebih luas karena bermain di ranah pop. Kali ini rekan bermusik Keenan adalah Jockie Suryoprayogo, Erros Djarot, Berlian Hutauruk, Chrisye, Debby Nasution, dan Fariz R.M. Badai adalah album pop yang bernasib mujur karena begitu laku, sampai-sampai muncul konflik antara pemain dan label. Setahun setelah rilis, diperkirakan 50 ribu kopi ludes. Lagu seperti Merpati Putih, Serasa, Semusim, dan Badai Pasti Berlalu begitu digandrungi khalayak.
Kedua album itu pada gilirannya mempengaruhi Keenan ketika membuat Di Batas Angan-angan. "Yang ini harus lain dari yang sudah-sudah," katanya. Maka hanya sebagian kawan dari album-album terdahulu yang diajak berkarya. Keenan tak ingin membuat lagu yang didominasi piano, maka Guruh dan Jockie tak diajak. Ia memilih ngulik-ngulik sendiri piano dan belajar membuat lagu menggunakan instrumen yang pada saat itu tak sepenuhnya ia kuasai.
Mereka yang terlibat dalam album ini adalah Debby dan Oding Nasution, Harry Minggoes, Roni Harahap, Junaedi Salat, dan Addie M.S.—waktu itu paling junior, tapi kemampuannya bermain piano mempesona. Adapun kawannya seperti Erros Djarot, Guruh, dan Fariz, yang bermusik bersama pada Badai Band dan Guruh Gipsy, ikut sebatas sebagai penyumbang lagu. Cakrawala Senja, misalnya, adalah lagu bikinan Fariz. Dan Jamrud Khatulistiwa merupakan lagu ciptaan Guruh.
Satu lagu yang dikarang Keenan sambil memencet-mencet tuts piano adalah Adikku, lagu riang gembira yang dibikin dengan entakan berbeda di tiap bagiannya. Nomor dengan aransemen termegah dan terumit adalah Cakrawala Senja. "Dengar saja bagaimana Addie M.S. bermain piano. Bisa lari ke mana-mana nadanya," ujar Keenan.
Semua lirik dalam Di Batas Angan-angan ditulis Keenan bersama kawannya, Rudi Pekerti. Temanya banyak berbicara tentang pengalaman cinta. Tapi, kata Keenan, ada makna-makna tersembunyi di balik syair-syair yang mereka bikin. Ambil contoh Nuansa Bening, lagu hit yang nadanya membekas di ingatan pendengar hingga kini. Pada masa itu, menurut Keenan, belum ada yang memakai kata "nuansa". "Kami karang-karang kata sendiri," ujarnya.
Ananda Badudu
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo