Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Sang Komandan, Hemingway, Bung Karno, dan Lain-lain

Mereka tidak lagi menyembunyikan catatan kesehatan sang pemimpin. Mungkin baru sekarang ini, ketika sang pemimpin menginjak usia 80 tahun, masyarakat Kuba melihat: dia manusia biasa.

Dia, Fidel Castro, kita dengar kabarnya dari hari ke hari. Janggutnya bisa memutih-perak, wajah­nya bisa memucat, ususnya bisa kena infek­si, dan kepemimpinannya bisa berakhir. Kepemimpinan yang dibenci, juga sangat dicinta sebagian orang. Castro telanjur menjadi simbol, ikon kaum revolusioner yang melahir­kan banyak inspirasi, dan mimpi. Ma­jalah ini tak berbicara tentang itu. Kita mencoba me­nyodorkan gambar­an lain. Persahabatannya­ de­ngan penulis Ernest Hemingway, per­te­muannya dengan Bung Karno, Gus Dur, dan lain-lain.

4 September 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

”Tak ada manusia berdiri sendiri seperti pulau terasing; setiap orang adalah kepingan kecil dari benua, bagian dari bingkai besar. Kalau segenggam tanah larut terbenam ombak laut, Eropa pun begitu, serupa bila sebongkah tanah luruh; sama halnya kalau rumah sahabatmu terbenam, rumahmu juga. Setiap kematian merongrongku, karena aku adalah kemanusiaan; karenanya tak perlu mencari tahu untuk siapa lonceng berbunyi; itu berbunyi untuk kau.” —Puisi John Donne (1624), penggalan dari episode ”Meditation XVII”

Anak juragan tebu dari di wilayah Biran, pantai utara Provinsi Oriente, Kuba, itu meng­genggam dua buah buku. Ia hendak mem­per­lihatkannya kepada Mirta Dias Balart, is­trinya, yang tengah menginap di sebuah hotel di New York. Mereka, pada Oktober 1948 itu, te­ngah berbulan madu. Buku pertama adalah Das Ka­pital karya Karl Marx. Buku kedua novel For Whom the Bell Tolls karya Ernest Hemingway.

Mirta seketika cemas begitu melihat buku pertama. Bukan apa-apa, Fidel Alejandro Castro Ruz, 22 tahun, suaminya, belum lama pulang dari Republik Dominika, membantu gerakan penggulingan diktator Jenerelisimo Rafael Trujillo. Ia gagal. Dan se­ka­rang, Presiden Federasi Mahasiswa Universitas Havana yang menjadi teman tidurnya itu bersiap melahap Marxisme dari tulisan langsung sang peng­anjurnya. Sebuah bulan madu yang menyedihkan.

Tapi, tidak. Castro sama sekali belum terpikat oleh Marxisme atau sosialisme seperti yang selalu ia de­ngungkan dalam pidato-pidatonya yang membakar, seperti ungkapannya sejak tiga tahun setelah Revolusi 1 Januari 1959: ”Sosialisme atau mati!” Castro saat itu justru mengecam kawan-kawannya yang Marxis dan komunis yang ia sebut ”pemalas dan banci”.

Castro lebih terpesona oleh buku kedua. Ya, For Whom the Bell Tolls adalah sebuah inspirasi bagi Castro. Buku yang judulnya diambil dari puisi John Donne yang ditulis pada 1624 inilah yang kelak membunyikan ”lonceng” kesadarannya untuk mengubah sejarah Kuba.

”Aku sangat mengagumi Hemingway,” ucap Castro kepada Oliver Stone dalam film dokumenter Comandante (2003).

Rasa takjubnya pada peraih Nobel Sastra 1954 itu ia ungkapkan kepada Stone dalam wawancara di ­ruang kerja Castro di Palacio de La Revolucion di Havana, Kuba, Februari 2002. Sutradara Amerika Serikat itu selama 30 jam—yang diringkas menjadi film 99 menit—bertanya segala hal, mulai dari kasus Re­vo­lusi 1959, hubungan dekatnya dengan Uni Soviet, peristiwa Teluk Babi, penolakannya terhadap ka­­pitalisme, hingga kasus Elian Gonzales dan per­te­manannya dengan Hemingway. Di samping persahabatannya dengan Che Guevara.

Sang Komandan memajang patung perunggu He­mingway di rak buku sederhana di belakang meja kerjanya itu. Di deretan itu ada pula patung kepala Napoleon Bonaparte dan Jose Marti, pahlawan Kuba. Tak jauh dari ruang itu, Castro juga memasang foto kiriman Hemingway saat sang pengarang tengah memancing ikan marlin. ”Papa,” ia menunjuk ke foto Hemingway yang tengah tersenyum. Papa adalah nama akrab pengarang The Old Man and the Sea (1953) dan For Whom the Bell Tolls (1940) itu.

Dari salah satu karya terbaik Papa itulah, seperti diungkapkan sastrawan Peru Arturo Corcuera, Castro kemudian menggambar cita-cita. Keputusannya untuk ber­gerilya dari Gunung Sierra Maestra bersama Che pada 1956-1958, saat melawan diktator Jenderal Fulgencia Batista, misalnya, mengingatkan pada Robert Jordan, tokoh dalam For Whom the Bell Tolls. Jordan adalah guru muda di Amerika Serikat yang memilih masuk ke hutan untuk memperkuat gerilyawan antifasis selama perang sipil di Spanyol.

Di garis depan, Jordan berkawan dengan gerilyawan Pablo. Ia bertemu dan jatuh cinta dengan Maria (mirip Castro dengan Celia Sanchez), seorang pe­rempuan yang kehidupannya terampas akibat perang. Jordan mendapat tugas untuk meledakkan jembatan dalam rangkaian serangan ke Kota Segovia. Ia tahu, ia akan mati bila jembatan itu meledak. Demikian pula Pablo, yang kemudian menjadi enggan menunaikan tugas. Semua tokoh utama kemudian merenung tentang kematian.

”Takdir, juga kematianku, hanya untuk Kuba,” ujar Castro kepada Stone. ”Kejayaan sama sekali tak berarti apa-apa bagiku.”

Castro mengingat, dengan hanya 12 orang yang tersisa—setelah 80 orang anak muda revolusioner di­tembaki pasukan Batista saat kapal mereka dari Mek­siko baru saja mendarat di pantai utara Kuba—me­reka membangun basis perlawanan di Sierra Maes­tra. Ia bersama Che dan adiknya, Raul Castro, menghimpun pengikut. Mereka secara bertahap berhasil me­nguasai kota-kota di Kuba sampai akhirnya Batista me­nye­rah pada hari pertama tahun 1959.

Ini prestasi besar Castro. Hanya dengan kekuatan 800 gerilyawan, ia berhasil menumbangkan Batista yang punya 30 ribu tentara. Herbert Matthews, penulis biografi Fidel Castro, menyebut kemenangan Castro sebagai ’’kepahlawanan yang tak bisa ditandingi belahan dunia Barat’’.

Castro mulai diperhitungkan ketika ditahan karena menentang rezim militer Batista. Dalam pleidoi­nya yang terkenal pada 1955, Castro menutup pembela­annya dengan kalimat ”La historia me absolvera (sejarah akan membebaskan aku)’’. Ia kemudian dikirim ke Pulau Pines, dipenjara. Sejak itu, ia pun menjadi ikon perlawanan Kuba.

Kemampuan Castro berpidato dikembangkannya sejak aktif dalam pergerakan mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Havana. Ayahnya, seorang tuan tanah imigran Spanyol yang menguasai 23 ribu are perkebunan tebu, tak mau menyekolahkan kedelapan anaknya dan memaksa mereka bekerja di perkebunan tebu. Tapi Castro ngotot dan akhirnya masuk kolese Jesuit. Di situ ia belajar bahasa Spanyol, sejarah, dan pertanian. Setahun kemudian Castro masuk Universitas Havana dan memimpin Federasi Pelajar Universitas yang militan. ”Sejak usia enam tahun aku sudah menentukan hidupku sendiri,” ujar Castro.

Tamat dari fakultas hukum, Castro be­kerja sebagai pengacara yang membela masyarakat miskin. Karena aksi­nya itu, pemimpin Partai Ortodoks Kuba mencalonkan Castro sebagai anggota parle­men dalam pemilihan umum 1952. Sa­yang, tiga bulan sebelum pemilihan umum, Batis­ta mengkudeta Presiden Carlos Prio So­carras dan membatalkan pemilihan umum. Cita-cita Castro sebagai anggota parlemen pun kandas.

Ia mengajukan petisi yang menyatakan pemerintahan Batista melanggar konstitusi. Petisi ditolak. Castro pun menghimpun para pemuda dan melancarkan serangan terhadap barak militer di Santiago pada 26 Juli 1953. Hampir setengah dari 165 pemuda yang ikut bagian dalam serangan itu tewas, Castro dan Raul masuk penjara. Lewat amnesti 1955, Castro dibebaskan.

Ia mengungsi ke Meksiko dan bertemu dengan Ernesto Che Guevara, seorang dokter penganut Marxisme yang lari dari Argentina karena menghindari wajib militer. Che, yang kemudian menjadi penasihat politik Castro, inilah yang mendorongnya ke jalan revolusi untuk menumbangkan Batista.

Dalam rezim Kuba yang baru, Castro hanya memegang posisi panglima angkatan bersenjata. Ia menunjuk hakim Manuel Urrutia sebagai presiden dan Jose Miro Cardona, seorang profesor hukum, sebagai perdana menteri. Che mendapat kursi Presiden Bank Nasional Kuba.

Saat itu Castro masih berorientasi pada ideologi liberalisme Barat. Pemerintah Amerika Serikat pun memberikan pengakuan resmi, dua minggu setelah revolusi. Sebagai balasan atas pengakuan itu, Castro mengunjungi Amerika Serikat. Namun, hubungan baik itu tak berlangsung lama. Konon karena Che terus mencekoki Castro dengan idealisme Marxisme. Salah satu jalan menerapkan Marxisme itu adalah nasionalisasi perusahaan dan hak milik asing serta peningkatan hubungan dengan Uni Soviet.

Castro cepat mengambil alih semua hak milik Amerika Serikat. Pada 1960, Kuba dan Uni So­viet menandatangani perjanjian perdagangan minyak dan gula yang membuat Amerika Serikat mengu­rangi secara drastis pembelian gula dari Kuba. Dua bulan kemudian Amerika Serikat memutuskan hubungan diplomatik dengan Kuba.

Sejak saat itu Castro pun jadi salah satu target pemerintah Amerika Serikat. Invasi Teluk Babi, April 1960, yang didalangi CIA, bertujuan menggu­lingkan Castro sekaligus mengamankan Amerika Latin dan Tengah dari pengaruh komunisme. Serang­an ini gagal. Castro kian populer di dalam negeri. Ia mulai mencanangkan adaptasi ideologi Marxisme-Leninisme dengan semangat Kuba. Castro menyebutnya Fidelisme.

Dalam prakteknya, di Kuba ada sebuah Komite Pertahanan Revolusi yang mengawasi orang-orang yang menentang kepemimpinan Castro. Semua media massa dikuasai pemerintah, dan partai oposisi dilarang. Sumber-sumber Barat yang mengungkapkan pendapatnya dalam film dokumenter Fidel, the American Experience karya Adriana Bosch (2005) menyebut ada puluhan ribu tahanan politik yang meringkuk di penjara akibat pengawasan Komite Pertahanan Revolusi itu. Para peng­­ungsi pun mengalir ke ­Miami, Florida, AS.

Sukses di Kuba, Che kemudian mengekspor Marxisme ke negara-negara Dunia Ketiga di Afrika dan Amerika Latin. Che pergi ke Afrika Selatan dan kemudian pindah ke Bolivia untuk memimpin gerakan geril­yawan. Pemerintah Bolivia, di­bantu CIA, menembak mati Che pada 1967.

Film dokumenter Comandante, Fidel, the American Experience dan Fidel, The Untold Story karya Estela Bravo (2001), juga film fiksi Fidel! karya David Attwood (2002), banyak menceritakan episode persa­habatan Castro-Che, juga kisah pengunduran diri Che dari kabinet Castro. Stone dalam narasinya secara tak langsung menyindir bahwa kekuasaan Castro yang kian absolutlah yang menyebabkan Che kembali bergerilya ke hutan. Castro menolak sinya­lemen itu. ”Sa­yalah yang me­ngirim Che ke Afrika Selatan. Ia orang yang tak sabaran. Ia selalu ingin terjun bergerilya setiap melihat kolonialisme bercokol di satu negara. Saya tak dapat men­cegahnya,” ujar Castro.

Tangan pemimpin Kuba kelahiran 13 Agustus 1926 itu pun bergetar. Matanya menerawang ke masa yang jauh. ”Ada dua hal dalam hidup saya yang mem­buat saya amat sedih: kematian ibu saya dan kematian Che,” ucapnya.

Tentang Hemingway, ada banyak cerita. Castro mengajak Stone ke monumen Hemingway dan me­nik­ma­ti minuman mojitos kesukaan Papa, yang selalu­ ia nikmati di Kafe La Bodeguita del Medio di Old Ha­vana. Minuman ini, juga meja tempat pengarang ke­la­hiran Illinois, AS, itu biasa duduk berlama-lama di ka­fe ini, kini menjadi salah satu daya tarik pariwisa­ta­ yang dijual Kuba. Castro pun membuat turnamen He­mingway, sebuah ajang tahunan lomba memancing­.

Tak cuma itu, Castro juga merenovasi rumah bergaya country milik Hemingway di Finca Vigia, 12 mil dari Havana. Di rumah berjubin kuning inilah Papa bermukim sejak 1939 hingga 1961. Papa me­nulis For Whom the Bell Tolls dan The Old Man and the Sea di rumah ini. Castro merenovasi Finca Vigia p­ersis se­perti aslinya dan menyelamatkan 2.000 surat Hemingway, 3.000 foto, 9.000 buku yang telah diberi catatan di pinggir halaman, dan perahu ”Pilar” kesayangan sastrawan yang meninggal pada 1961 itu. Perahu ini memberikan gagasan Papa saat melahirkan The Old Man and the Sea.

Ironisnya, kendati memuja Hemingway, Castro ha­nya sempat bertemu dengan Papa dua kali. Pertama, ketika Hemingway memberikan ucapan selamat atas keberhasilan Revolusi 1959; dan kedua, saat bersama-sama memancing ikan marlin pada 1960. Menjelang berangkat ke Amerika, lantar­an dihing­gapi depresi hebat se­belum akhir­nya bunuh diri pada usia 63 tahun, Papa justru mengkritik Castro yang ke­lewat dominan dalam peme­rintahan.

Arturo Corcuera menunjuk salah satu sisi menarik Castro: kendati ia dikritik be­be­­rapa pengarang dunia, ia te­tap menjalin persahabatan de­ngan mereka. Ia antara lain juga berkawan dengan Gab­riel Garcia Marquez dan Pablo Neruda. Marquez bahkan meminta Castro membaca bukunya, The Chronicle of a Death, terlebih dulu sebelum dicetak penerbit. Castro diminta memberikan catatan di sana-sini. Se­baliknya, Marquez dalam Fidel, My Early Years membubuhkan kata-kata, ”Orang ini idealis paling besar pada zaman ini.”

Meski tak bisa menulis puisi, kata Corcuera yang juga bersahabat dengan Castro, ”Ia menawarkan Kuba sebagai tanah air bagi para penyair. Kuba adalah puisi sejati bagi Castro.”

Yos Rizal Suriaji, Kurie Suditomo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus