Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TUBUHNYA yang tinggi besar tidak menghalangi kelenturannya. Lelaki 58 tahun itu sanggup meliuk-liuk pelan ataupun cepat penuh tenaga mengikuti alunan syair yang dilantunkan dua penembang. Saat nyanyian berderap makin kerap, badannya pun meliuk cepat, makin cepat, makin cepat, lalu berhenti tiba-tiba. Sejenak sunyi. Sejurus kemudian, sembari mengembangkan kedua tangannya, ia berlari kecil mengitari panggung. Lantas, plak, tangannya mendarat di dada, dan sebaris salam buat penonton meluncur dari mulutnya. Atraksi berakhir, disusul letupan sorak dan teriakan penonton.
Dialah Syeh Lah Geunta, maestro tari seudati yang masih tersisa di Nanggroe Aceh Darussalam. Kendati dia sudah sepuh, liukan tubuhnya masih dikagumi orang Aceh. Apalagi atraksi yang dipamerkan dalam Pekan Kebudayaan Aceh IV di Taman Sri Ratu Safiatuddin, Banda Aceh, akhir Agustus lalu itu terbilang langka. Orang sudah lama tidak bisa menikmati keindahan tari seudati karena konflik yang terus membekap Serambi Mekah.
Menurut Maskirbi, seorang seniman Aceh, kelebihan Syeh Lah Geunta terletak pada gerakannya yang sangat dinamis dan inovatif. Ia menjadi pemimpin tarian seudati terdepan di seluruh Aceh. Apalagi setelah Syeh Nek Rasyid wafat, Syeh Ampon Mae tak aktif lagi, dan Syeh Lah Bangguna mulai sakit-sakitan. Praktis hanya Syeh Lah Geunta yang masih bisa diandalkan. "Banyak yang menyebut, Syeh Lah Geunta adalah garda terakhir seudati," ujar Maskirbi.
Bernama asli Abdullah Abdurrahman, Syeh Lah Geunta lahir di Kampung Geulanggang Teungoh, Bireuen, Aceh Utara, pada 23 Agustus 1946. Sejak duduk di kelas tiga sekolah rakyat alias SD, ia telah tergila-gila tari seudati. Abdullah kecil rela berjalan kaki atau mengayuh sepeda bututnya berpuluh-puluh kilometer dari kampungnya demi menonton pentas tari tradisional Aceh ini. Dan sebagai penonton fanatik, ia senantiasa memilih tempat paling depan, berdiri di bibir panggung, menyaksikan para penari beraksi dengan kekaguman membuncah.
Setelah dewasa, Abdullah makin paham bahwa urut-urutan pertunjukan seudati itu amat khas. Dimulai dengan saleum (salam) sebagai pembuka, lalu ada hiburan dalam sajian saman dan lagu, disusul likok (gaya), ada bagian kritik dalam kisah, dan juga ada tari penutup. Semuanya memiliki likok sendiri.
Tari seudati juga begitu sederhana. Tanpa musik, tanpa gamelan. Hanya ada syair dan pantun. Musiknya bersumber pada gerakan tubuh dan syair penarinya sendiri. Dilakukan oleh sepuluh penari, termasuk dua aneuk syahi (penembang) dan seorang syeh (pemimpin), gaya dan gerakan seudati juga sungguh menarik. Gerakannya lentur. "Penampilan penarinya selalu gagah-gagah," kata Syeh Lah Geunta ketika ditemui Tempo beberapa waktu lalu. Ia sendiri juga masih tampak gagah, dengan tinggi 182 sentimeter dan berat 75 kilogram.
Kelenturan sekaligus keperkasaan yang memancar dari tari seudati itulah yang membuat Lah Geunta kepincut mendalaminya sejak kecil, saat ia masih menyandang nama Abdullah. Bersama teman-teman sekampungnya, dia belajar seudati secara otodidak. Mereka berlatih di sebidang lahan kosong di antara pohon kelapa, yang memang banyak tumbuh di kampungnya sebagai daerah pesisir itu, hanya diterangi api unggun, bahkan terkadang hanya di bawah terang rembulan. Abdullah dan kawan-kawan menggelar latihan selepas isya hingga menjelang tengah malam. "Kami berlatih hampir setiap malam, kecuali ada pertunjukan seudati," ujarnya mengenang.
Kegiatan ekstra Abdullah dan teman-temannya sempat membuat geram ayahnya, Abdurrahman. Ia didamprat dan dilarang berlatih seudati. Padahal ayahnya saat itu adalah ketua kelompok seudati di kampungnya. Abdurrahman khawatir kegemaran anaknya itu akan membuat sekolahnya terbengkalai. Maklum, sang ayah mendapat laporan dari guru sekolah anaknya bahwa rapor buah hatinya itu banyak merahnya.
Larangan ayahnya tak membuat ciut nyali Abdullah. Ia tetap berkeras melanjutkan latihan. Abdullah dan teman-temannya berpindah-pindah tempat latihan agar tak diketahui ayahnya. Kegigihannya berseudati meluluhkan hati sang ayah. Dia akhirnya diizinkan berlatih seudati bersama kawan-kawannya. Mereka juga mulai mendapat respons dari orang-orang di kampungnya. Banyak yang menyediakan tempat latihan di halaman rumahnya, sekaligus menyiapkan minuman dan lampu petromaks.
Penampilan Abdullah juga memikat guru-gurunya di sekolah. Atas dukungan kepala sekolahnya, ia lalu membentuk kelompok seudati dan ditunjuk sebagai syeh alias pemimpinnya. Kelompok Abdullah menjadi satu-satunya kelompok seudati anak-anak di Bireuen waktu itu, yang kemudian masyhur dengan julukan Syeh Lah Aneukmit alias Syeh Lah Anak-anak.
Suatu hari pada 1963, kelompok Syeh Lah Aneukmit diundang berpentas di depan Gubernur Aceh saat itu, Ali Hasymi, yang mengadakan kunjungan kerja ke Kota Bireuen. Mereka berpentas di Hotel Murni, sebuah hotel yang cukup mewah di sana. Hasymi, gubernur yang juga sastrawan itu, terpukau melihat penampilan Syeh Lah Aneukmit, sampai-sampai sang Gubernur meminta Abdullah dan teman-temannya tampil lagi dan kemudian menganugerahkan gelar Syeh Lah Geunta bagi Abdullah. "Sebetulnya Pak Gubernur menawarkan dua gelar, Syeh Lah Kumala dan Syeh Lah Geunta. Saya memilih yang kedua," Abdullah menjelaskan. Geunta atau genta dalam bahasa Indonesia bisa berarti gaung, bisa juga lonceng.
Sejak saat itu, pemuda Abdullah yang telah bergelar Syeh Lah Geunta makin mengasah talentanya. Bakat keseniannya makin lama makin menyatu dengan dirinya. Tawaran demi tawaran berpentas pun membanjirinya. Ketip jarinya, liukan tubuhnya nan lentur, dan pantun-pantun spontanitasnya mewarnai berbagai pentas: perayaan perkawinan, sunatan, atau malam kesenian rakyat.
Tak hanya di Kota Bireuen, Syeh Lah Geunta berkeliling menyuguhkan tari seudati dari Aceh Timur hingga Aceh Barat. Ini membuat namanya cepat tersohor di seluruh Aceh. Namun, saking sibuknya berpentas, ia sudah tak lagi menghiraukan sekolahnya. "Saya hanya bersekolah sampai kelas dua SMP," ujar Lah Geunta, yang kini telah dikaruniai enam anak, buah cintanya dengan Safiah, istrinya.
Hanya, ketika memasuki usia 19 tahun, ia mulai bosan dengan pola gerak, irama, dan syair-syair seudati lama yang telah baku. Syeh Lah Geunta lalu berupaya menemukan pola gerak baru lewat kontemplasi dan pengamatan atas alam di sekitarnya. Alam menjadi guru sejatinya dalam mengembangkan gaya dan pola gerak tari seudatinya.
Lewat deretan pohon kelapa yang banyak tumbuh di kampungnya, Lah Geunta menemukan keindahan gerak. Ketika tiupan angin kencang menimpa, ada perubahan gerak yang dinamis, seakan pohon kelapa mau tumbang dalam gerakan liukan ke kiri, kanan, maju, mundur. Pada saat bersamaan, gerakan daun kelapa berputar-putar, dan sesekali ujung daun dari dua pohon kelapa hampir bertemu. Gerakan dinamis pohon dan daun kelapa itu merupakan gerakan bertempo cepat, tapi tetap lentur. Begitu pula tari seudati. Bagi Syeh Lah Geunta, seudati tak melulu keras, kaku, dinamis. Di dalam seudati ada kelembutan; tubuh penarinya lentur tapi tetap kukuh seperti daun dan batang pohon kelapa.
Dia juga mengadopsi gerakan gelombang laut ke dalam pola gerak tari seudatinya. Di benaknya, gelombang laut itu memiliki gerakan lembut, mengentak-entak, dan cepat. Meski terkesan monoton, gerakannya sangat dinamis. Sangat indah. "Gerakan alam itu kaya dengan keindahan, dan alam memberi inspirasi bagi ciptaan gerakan seudati saya," ujar lelaki yang punya hobi bermain sepak bola ini. Semua inspirasi itu membuat tari seudati yang dilenggangkan Syeh Lah Geunta selalu hidup dan mempesona sampai sekarang.
Pengamat sekaligus seniman tari seudati, Nurdin Daud, mengakui Syeh Lah Geunta memiliki kelebihan dibandingkan dengan syeh lainnya. Ia memiliki gerakan yang lebih dinamis, bunyi dadanya lebih keras, dan tubuh atletisnya lebih lentur. Staminanya juga luar biasa. Ia masih mampu menari hingga dini hari. Menurut Daud, penampilannya juga mampu mensugesti penonton walau penontonnya bukan berasal dari Aceh. "Para penonton sangat terpukau dengan gerakannya, bunyi tepukan dadanya, dan ketip jarinya," kata dosen Institut Kesenian Jakarta ini.
Dengan sederet kelebihannya, Syeh Lah Geunta mampu menembus pentas kesenian nasional dan internasional. Pria yang hanya jebolan sekolah menengah pertama itu kerap tampil di Jakarta dan pernah beberapa kali berpentas di mancanegara. Sebut saja Malaysia, Hong Kong, Jepang, Spanyol, dan Amerika. Dari sana ia meraih beberapa penghargaan. Satu di antaranya The Bessies Award, yang diperolehnya ketika tampil dalam New York Dance and Performance Award 1991 di Amerika Serikat.
Sepulang dari Amerika, Syeh Lah Geunta kian terpacu untuk mengembangkan tari seudati. Ia merasa punya tanggung jawab moral meneruskan seudati kepada generasi di bawahnya. Namun ada sederet kendala, antara lain faktor keamanan. Sejak konflik berkecamuk di Serambi Mekah, pentas seudati merosot drastis. Biasanya setiap pekan selalu ada pertunjukan seudati di kota-kota kecamatan.
Selama konflik membara, kampung-kampung di Aceh yang dulu masyarakatnya kerap dihibur seudati, tersenyum dan tertawa bersama seudati, sontak tenggelam dalam diam. Syeh Lah Geunta sering menangis dan mengurung diri di dalam kamar. Ia merasa tak berdaya untuk meneruskan tekadnya mengembangkan seudati hingga ke kampung-kampung. "Boleh dikatakan, selama konflik, kegiatan seudati benar-benar tiarap," katanya.
Kini, saat pertikaian di Aceh mulai reda, semangatnya untuk menghidupkan seudati kembali kambuh. Syeh Lah Geunta tak mau seudati terkubur sebelum ia sempat mewariskannya kepada anak-anak Aceh. Hanya, pria yang hampir seluruh hidupnya dipersembahkan untuk seudati ini dihantui segumpal kegelisahan. Di usianya yang tak muda lagi, dan staminanya mulai melemah, sang maestro khawatir tak mampu lagi berseudati dengan baik.
Nurdin Kalim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo