Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LELAKI berambut perak itu masih gesit dan energetik. Kolega atau orang seusianya mungkin sudah leha-leha menikmati masa pensiun, menekuni hobi, atau menimang cucu. Iskandar Alisjahbana justru sebaliknya. Kakek enam cucu yang sudah berusia lebih dari tiga perempat abad ini masih sibuk dengan setumpuk pekerjaan. Dua kali dalam sepekan ia masih mondar-mandir Bandung-Jakarta. Selebihnya ia masih rutin mengunjungi kebun sawit di Bengkulu, Sumatera, atau berbagai lokasi penelitian yang sedang digarapnya.
Ketekunan dan kerja keras Iskandar mendapat pengakuan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Agustus lalu, ia menerima Penghargaan Sarwono—diambil dari nama Bapak Ilmu Pengetahuan Indonesia dan pendiri LIPI—karena dinilai berjasa mengembangkan teknologi telekomunikasi satelit Indonesia. ”Beliau adalah pionir sistem komunikasi satelit,” ujar Umar Anggara Jenie, Kepala LIPI.
Penghargaan yang boleh dibilang terlambat 30 tahun. Proyek berdasar ide Iskandar ini sudah dicetuskan pada 1968, dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar teknik elektro di Institut Teknologi Bandung. Presiden Soeharto, pada 1976, meresmikan proyek itu dengan meluncurkan satelit Palapa.
Saat ini ia juga masih berkutat merancang pembangkit listrik di tengah laut. Proyek itu diharapkan bisa menjadi solusi alternatif untuk mengatasi krisis pasokan setrum di negeri ini. ”Konsepnya memanfaatkan arus air laut yang mengalir lewat selat-selat di Indonesia,” kata Iskandar berapi-api.
Bila berbicara mengenai teknologi untuk rakyat, Iskandar memang selalu bersemangat. Bagi pria kelahiran Jakarta, 20 Oktober 1931, ini, seorang ilmuwan pantang berdiam di menara gading dan menutup mata dari persoalan sekelilingnya. Mereka harus aktif mengembangkan ilmunya untuk membantu mengatasi masalah rakyat.
Iskandar mengawali pendidikannya di Jurusan Teknik Elektro ITB dan lulus pada 1954. Anak nomor dua dari sembilan anak budayawan Sutan Takdir Alisjahbana ini beruntung bisa meneruskan sekolah di Technische Hochschule Muenchen, Jerman Barat. Pada 1956, ia merampungkan diploma ingenieur. Empat tahun kemudian, ia pulang ke Indonesia setelah meraih gelar doktor bidang elektro di Technische Hochschule Darmamandst, Jerman Barat. ”Dia langsung mengajar di ITB,” kata Soelaiman Nasserie, 72 tahun, mahasiswa Iskandar yang belakangan menjadi koleganya.
Nama Iskandar bergema di dunia akademik. Dia termasuk generasi pertama doktor teknik elektro lulusan Jerman di Indonesia. Sebagai dosen, dia disegani mahasiswanya di Jurusan Teknik Elektro ITB.
Syahdan, pada 1963, pemerintah sibuk membangun stasiun relay di berbagai daerah untuk menyiarkan pertandingan Asian Games dari Jakarta. Anehnya, Bandung tak masuk daftar. Tanpa banyak cakap, Iskandar mengajak dosen, mahasiswa ITB, dan aparat daerah membangun sendiri stasiun relay di Bandung. ”Jika pemerintah tak mau membangun, kami juga bisa membangun sendiri,” katanya.
Stasiun relay itu berlokasi di Gunung Tangkuban Perahu. Semua peralatan dirakit sendiri dari barang bekas yang dibeli di pasar elektronika Cikapundung, Bandung, dan Glodok, Jakarta. Hasilnya di luar dugaan. Tak hanya sebuah stasiun bumi yang sukses didirikan, tapi juga sebuah studio televisi pendidikan.
Menyusul pendirian stasiun relay itu, Iskandar menggagas pelatihan kewirausahaan. Pelatihan dilakukan sejumlah dosen ITB, plus beberapa dosen tamu. Selain dibekali teori, para mahasiswa diberi corporate science. Caranya dengan membangun perusahaan baru di kampus ITB di bidang teknologi. Industri pertama itu adalah PT Radio Frequency Communication (RFC) yang memproduksi alat-alat telekomunikasi satelit. ”Kita membangun stasiun bumi,” ujarnya.
Saham perusahaan itu dimiliki dosen, mahasiswa, serta alumni ITB yang melakukan riset di bidang telekomunikasi satelit. Produksinya bernilai puluhan juta dolar Amerika setiap tahun dan menjadi contoh perusahaan terbuka bagi setiap warga ITB waktu itu. Sayangnya, pada 1977, perusahaan itu ambruk akibat persaingan tak sehat dari perusahaan anak-anak Soeharto.
Dari stasiun penerima siaran, mereka mulai merancang pembuatan satelit yang menjangkau jarak 36 ribu kilometer. ”Pertimbangannya, dengan satelit, kita bisa mengembangkan pola komunikasi lebih murah yang menghubungkan daerah-daerah kepulauan di Indonesia,” kata Iskandar.
Untuk mengembangkan proyek itu, Iskandar mondar-mandir Indonesia-Amerika. Ia mendatangi salah satu perusahaan telekomunikasi di Negeri Abang Sam dan menjajaki peluang bisnis dengan kepemilikan 50 : 50. Namun usaha Iskandar menimbulkan pro dan kontra. Menteri Perindustrian saat itu marah besar karena menganggap proyek semacam itu merupakan wewenang pemerintah, dalam hal ini Dinas Pos, Telepon, dan Telegraf sebagai perusahaan negara.
Izin mendirikan perusahaan itu dibeslah. Tapi Iskandar tak menyerah. Dia menelepon Asisten Intelijen Panglima ABRI Letnan Jenderal L.B. Moerdani. ”Kebetulan saya mengenal dia,” ujarnya.
Kepada Benny, Iskandar menjelaskan masa depan telekomunikasi satelit dan menawarkannya dipakai untuk keperluan negara, termasuk tentara. Apalagi saat itu tentara kesulitan dalam berkomunikasi. ”Jika pakai satelit, bisa kita manfaatkan semuanya, dari telepon sampai televisi,” Iskandar menirukan ucapannya kepada Benny Moerdani waktu itu.
Gayung bersambut. Benny tak hanya melobi para pejabat Telkom, tapi juga memberikan tambahan modal. Pada 1968, proyek satelit komunikasi itu pun menggelinding. Selanjutnya, pada 1976, satelit domestik itu diresmikan kegunaannya oleh Presiden Soeharto dengan nama Sistem Komunikasi Satelit Domestik (SKSD) Palapa.
Dengan peluncuran satelit itu, Indonesia menjadi negara ketiga di dunia, setelah Kanada dan AS, yang memanfaatkan satelit untuk sistem komunikasi domestik. Kendati dulu masih primitif, kini SKSD yang dicetuskan Iskandar telah dikembangkan jadi lebih hebat dan menjadi tulang punggung transmisi, sambungan langsung jarak jauh, sambungan langsung internasional, Internet, dan komunikasi militer. Juga untuk siaran TV, radio telekomunikasi, dan akses Internet bisnis V-sat.
Sebagai dosen, di masanya, Iskandar terbilang cukup progresif. Menurut Nasserie, koleganya itu orang yang berpandangan strategis, jauh ke depan. Ia juga dikenal berani dan keras dalam mengemukakan gagasan.
Salah satu pikiran strategis Iskandar saat itu adalah pola pengembangan kewirausahaan di kalangan insinyur. Visi itu menciptakan perubahan yang terasa sampai kini. Tak terhitung bekas mahasiswa Iskandar yang sekarang menjadi pengusaha sukses, misalnya Siswono Yudohusodo, yang juga mantan menteri, dan bos Medco Group, Arifin Panigoro.
Kegigihan Iskandar dalam mengembangkan semangat kewirausahaan di lingkungan ITB tak berbeda jauh dengan visinya dalam pemanfaatan teknologi. Keduanya sama-sama didasari prinsip: mahasiswa dan peneliti jangan menjadi penghuni menara gading. Apalagi banyak mahasiswa perguruan tinggi yang lebih berkutat pada teori dan mengejar gelar saja. ”Pola merobohkan menara gading itu yang saya kembangkan saat memimpin ITB tahun 1976,” katanya.
Iskandar terobsesi membangun ITB seperti Universitas Stanford atau Massachusetts Institute of Technology di Amerika Serikat dengan taman industrinya di Silicon Valley. Dua perguruan tinggi itu dikenal sangat dekat dengan dunia industri yang didirikan para lulusannya. Hubungan antara dosen dan lulusannya pun sangat kuat. ”Banyak perusahaan di Amerika didirikan dan dipimpin lulusan Stanford,” ujarnya.
Semasa menjadi rektor, ia pun menggenjot kerja sama dengan banyak lembaga donor dan mendatangkan ahli wirausaha dari Amerika. Iskandar juga mengirim banyak dosen untuk belajar ke sana dan menggelar kerja sama dengan universitas itu. Di kampus ITB, ia menyinergikan mata kuliah akademis dengan corporate science. Para mahasiswanya diminta membangun inkubator bisnis di kampus yang mampu membina perusahaan pemula dan membangun industri dalam negeri.
Sebagai rektor, Iskandar dikenal dekat dengan mahasiswanya. Sikapnya terbuka, bebas, dan egaliter. Boleh jadi karena itu di era 1978, ketika mahasiswa ITB dikenal keras dan pemberani. Beberapa di antaranya menjadi aktivis yang berani menantang Soeharto, seperti Heri Akhmadi—yang belakangan menjadi politikus dan anggota DPR.
Bisa ditebak, situasi politik menjadi panas dan menyulitkan posisi Iskandar. Soeharto berulang kali mengirim Menteri Negara Riset dan Teknologi B.J. Habibie untuk meminta karibnya ini turun dari posisinya sebagai rektor. Iskandar dianggap melindungi mahasiswanya yang sering berdemo anti-Soeharto.
Puncak ketegangan antara mahasiswa ITB dan rezim Soeharto terjadi pada 1979. Saat itu kampus ITB diduduki tentara. Iskandar dibebaskan dari jabatan rektor sebelum masa tugasnya berakhir. Dini hari sebelum acara timbang terima, rumahnya diberondong peluru orang tak dikenal.
Semua tekanan itu tak membuat Iskandar takut dan jera. Ia memilih terus menekuni dunia ilmiah sekaligus bisnis. Jauh dari hiruk-pikuk represi politik Orde Baru ke kampus-kampus, Iskandar tak berhenti mengkaji sejumlah teknologi yang penggunaannya kini sedang dikembangkan di Indonesia, misalnya teknologi nano, superkonduktivitas suhu, dan fusi dingin.
Teknologi nano yang kini banyak ditelaah di Indonesia, misalnya, telah dikupasnya sejak 1980-an. Saat itu, ia sudah mengingatkan bagaimana perlunya membuat pabrik yang bersih, lingkungan yang efisien, dan bisa bekerja 24 jam tanpa henti.
Begitu pula dengan bioteknologi. Beberapa tahun terakhir, kakek enam cucu ini tak henti mengingatkan bahwa industri bioteknologi punya prospek bagus di Indonesia dan bisa bersaing di tingkat global. Apalagi Indonesia memiliki sumber daya genetik yang melimpah. Pengembangan industri ini diharapkan bisa menjadi alternatif untuk mengatasi kondisi Indonesia yang lagi sulit.
Tentu saja, Iskandar tak meninggalkan dunia satelit yang telah membesarkan namanya. Bersama Adi Rachman Adiwoso, pada 1991, ia mendirikan Pasifik Satelit Nusantara, perusahaan telekomunikasi yang menjangkau rakyat di pelosok negeri. Di perusahaan itu sampai sekarang dia masih tercatat sebagai komisaris.
Widiarsi Agustina,Rana Akbari Fitriawan, Erick Priberkah Hardi (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo