Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jihad Terlarang: Cerita dari Bawah Tanah Penulis: Mataharitimoer (Eddy Prayitno) Penyunting: Salahuddin Gz Tebal: 364 hal. Penerbit: Kayla Pustaka, Agustus 2007
IA memperkenalkan diri sebagai Royan, seorang bocah dari zaman yang belum lama tanggal dari ingatan. Ayahnya kuli panggul di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Sang ibu menjadi kuli cuci dan setrika di rumah tetangga.
Pada sepotong Rabu, 12 September 1984, hidup Royan berubah selamanya. Hari itu sang ayah ”… menghadiri pe-ngajian akbar yang diakhiri dengan pembantaian dengan senjata otomatis militer.… Peristiwa itu menelan nyawa sekitar 400 muslim, termasuk ayahku.”
Royan belum genap 14 tahun saat tragedi terjadi, dan sejak itu ia tak punya kesempatan untuk menuntaskan pelajaran SMP. Ia anak tunggal, yang dengan cepat terlupakan oleh masyarakat sekitar yang sudah tergencet pelbagai beban hidup. Tanpa kerabat di sebuah lingkungan keras seperti Tanjung Priok, Royan menggantungkan hidupnya di jalanan dengan sepotong petuah yang diwarisinya dari sang ayah: jangan pernah mengemis. Satu lagi perasaan yang kini dirawatnya dengan takzim: dendam terhadap tentara.
Empat tahun didera kehidupan jalanan, Royan secara kebetulan bertemu Supar. Dia seorang kernet Metro Mini yang juga Ketua Remaja Masjid Kubah Langit. Sekali lagi hidup Royan berubah tak kalah drastis selama 10 tahun berikutnya. Royan menjadi anggota harakah (pengajian) sebuah kelompok yang ingin menumbangkan Orde Baru dan mendirikan sebuah negara Islam.
Royan adalah alter ego Eddy Prayitno, 36 tahun, blogger yang kerap disapa MT (Matahari Timoer) oleh para peselancar dunia maya dan mantan aktivis gerakan Negara Islam Indonesia (NII). Dengan memaparkan lebih dulu Tragedi Tanjung Priok, MT seakan ingin menyampaikan kepada pembaca betapa logisnya pilihan seorang remaja yang mengalami trauma akibat ulah tentara, dengan keinginan untuk menghancurkan satu rezim yang dikenal piawai mengendalikan tentara.
Pengalaman Royan di kelompok itu adalah daftar panjang kekecewaan. Meski ”kariernya” terus menanjak sehingga ia dipercaya memimpin langsung shaf (grup) yang terdiri dari 12 orang, menjalani tour of duty ke berbagai tempat dan berceramah di pelbagai kota untuk menjelaskan pentingnya ”jihad”, Royan menyaksikan beragam kontradiksi antara ucapan dan kelakuan para seniornya.
Para senior pantang didebat. Praktek pernikahan antaranggota sangat diskriminatif (untuk anggota kelas bawah harus dipilihkan oleh para ustadz). Gerakan itu ia dapati terpecah dalam dua kelompok yang saling menjelek-jelekkan. Puncak kekecewaan Royan: Imam Tertinggi memberinya sebuah amplop putih penuh uang untuk tutup mulut atas sebuah laku durjana yang ia terima. Terhina oleh tindakan sang Imam, Royan melemparkan amplop itu dan berteriak, ”Tidak! Yang aku butuhkan adalah keberanian kalian untuk meluruskan pergerakan yang semakin melengkung ini.”
Ketika akhirnya Orde Baru betul-betul runtuh, Royan sudah tak lagi berada dalam gerakan. Ia menyaksikan tak satu pun dari anasir yang bekerja sama dalam meruntuhkan Orde Baru berasal dari pergerakan underground yang diikutinya dulu. Semua penumbang Soeharto adalah outsider, yang disebut para petinggi kelompoknya dulu sebagai ”kafir” dan ”tak mempunyai orientasi hidup”.
Sebagai sebuah memoar, Jihad Terlarang memberi perspektif yang hidup tentang apa yang terjadi pada sebuah ”gerakan bawah tanah” dari organisasi Islam garis keras. Namun, sebagai sebuah novel, Jihad terlalu miskin ekspresi. Limpahan deskripsi yang dituliskan MT terlalu umum, meloncat-loncat dari satu peristiwa ke peristiwa lain sebelum pembaca terserap lebih dulu ke dalam suasana yang diceritakannya. Ini berbeda dibandingkan, umpamanya, kemampuan Muhidin M. Dahlan dalam menulis Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Seorang Pelacur. Ini sebuah novel yang juga menyingkap dunia ”bawah tanah”, sebuah kelompok Islam lewat sudut pandang seorang tokoh wanita Nidah Kirana, yang juga kecewa dan keluar dari pergerakan.
Karena itu, komentar aktivis NII, Alchaidar, di sampul belakang buku Jihad Terlarang yang mengatakan, ”Baru kali ini ada sebuah buku yang memaparkan kehidupan seorang manusia yang sangat tersembunyi,” adalah keliru. Tema menarik itu, sayangnya, tidak melahirkan buku yang kaya curahan jiwa. Pembaca tidak merasakan denyut kemarahan Royan yang menggelegak.
Akmal Nasery Basral
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo